Tulisan oleh : Sultan Amanda Raja | Ilustrasi oleh : Comgastra
“Music the great communicator” sebuah kutipan dari lagu Can’t Stop Karya Red Hot Chili Peppers. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa musik menjadi salah satu medium penyampaian pesan yang memiliki pengaruh signifikan bagi manusia, refleksi atas fenomena sosial, kegelisahan dan pergulatan eksistensial manusia yang diterjemahkan dalam lirik lagu dan instrumen musik yang beragam.
Ragam pendekatan dalam penyajian lagu juga dapat menghasilkan pemaknaan tersendiri dengan permainan vokal, penggunaan gaya bahasa dan instrumen musik yang mengiringinya, misalnya pada pemilihan melodi serta notasi musik. Unsur-unsur tersebut menjadi ruang sang pencipta dalam menyampaikan gagasan-gagasannya. Gagasan yang dimaknai sebagai ekspresi seseorang atas pengalaman langsung yang dialaminya.
Menempatkan musik dalam konteks gagasan atas pengalaman, artinya musik dapat dilihat sebagai representasi atau cerminan kehidupan manusia, yang disesuaikan pada konteks waktu dan peristiwa tertentu, misalnya pada zaman Yunani kuno musik dijadikan sebagai media penyampai pesan-pesan ritual untuk memuja sang pencipta juga penggambaran tatanan harmoni yang mengatur alam semesta. Dalam konteks lain, misalnya pada abad informasi hari ini, hadirlah beberapa musik yang merefleksikan fenomena hoaks dan obesitas informasi.
Dewasa ini, musik menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, ada yang memaknainya sebagai sarana hiburan, rekreasi, terapi, juga melihatnya sebagai sebuah argumentasi. Ragam karakter pun hadir dalam menikmati musik, ada yang menikmati hanya pada instrumen musiknya, ada yang tertarik hanya pada liriknya, dan juga ada yang menikmatinya secara keseluruhan. Namun pertanyaanya, apakah kita benar-benar memahami musik yang sering kita dengarkan? Ataukah kita hanya sekedar menikmatinya?
Kali ini kita akan coba merefleksikan sebuah lagu karya Radiohead “Fake Plastic Trees”,
“Fake Plastic Trees” merupakan lagu yang dipopulerkan grup musik rock alternatif asal Britania Raya, Radiohead. Salah satu lagu dalam album “The Bends” tersebut dirilis pada 1995 sebagai single ketiga dari album studio kedua. Album “The Bends” sendiri diproduseri oleh John Leckie di Studio Emi London.
“Fake Plastic Trees” karya Radiohead menjadi salah satu lagu yang sarat akan makna, seturut pesan dari lagu lawas yang relevan hingga hari ini. Lagu yang menyinggung persoalan eksistensial manusia dari beberapa potret kehidupan kita di keseharian, penggambaran dunia yang diselimuti dan sesak akan kepalsuan.
Memaknai Lirik Lagu “Fake Plastic Trees”
A green plastic watering can
Kaleng plastik penyiram yang berwarna hijau
For a fake Chinese rubber plant
Untuk tanaman karet cina tiruan
In the fake plastic earth
Di bumi plastik palsu
Penggambaran proses penghidupan tumbuhan melalui penyiraman sebagai sumber kehidupan, sebuah metafora yang diinterpretasikan sebagai proses tumbuh dan berkembang seorang manusia yang disemai penuh dengan asupan kepalsuan pengandaian atas kejadian yang palsu melalui simbolisasi “kaleng plastik penyiram”.
That she bought from a rubber man
Yang dia beli dari seorang pria karet
In a town full of rubber plans
Di sebuah kota yang penuh dengan tumbuhan karet
To get rid of itself
Untuk singkirkan dirinya
Lirik ini merupakan penggambaran seorang wanita yang menerima representasi palsu dari seorang pria yang juga tumbuh dengan representasi palsu. Representasi palsu yang pria itu dapatkan adalah hasil konstruksi pandangan dunia palsu yang tidak ia sadari. Sehingga menjauhkannya dari makna sebenarnya yang disimbolisasikan dengan “untuk singkirkan dirinya”.
It wears her out, it wears her out
Itu membuatnya lelah
It wears her out, it wears her out
Itu membuatnya lelah
Penggambaran atas kuatnya dominasi dari representasi dan konsensus palsu yang dibangun. Pada akhirnya membuat seorang wanita lelah dengan standar palsu yang harus mereka penuhi.
She lives with a broken man
Dia hidup dengan seorang pria hancur
A cracked polystyrene man
Seorang pria busa yang sudah retak
Who just crumbles and burns
Yang baru saja hancur dan terbakar
He used to do surgery
Dulu lelaki itu sering mengoperasi
On the girls in the eighties
Gadis-gadis berusia delapan belasan
But gravity always wins
Tapi gravitasi selalu menang
Sebuah penggambaran seorang wanita yang hidup bersama dengan pria. Pria tersebut hidup dengan pandangannya yang palsu. Namun, setelah ia sadar dan mengetahui akan dunia yang dia jalani adalah jalan kepalsuan, ia merasa terpuruk dan penuh rasa bersalah karena dia memaknai seorang wanita dari fisiknya saja bukan dari hatinya, perlakuannya sebagai wujud dari cintanya seorang wanita, namun begitulah dunia orang-orang tidak dapat lepas dari fisik yang nampak (pandangan mapan), hal tersebut disimbolisasikan dengan “gravitasi selalu menang”.
She looks like the real thing
Dia tampak seperti sungguhan
She tastes like the real thing
Dia tampak seperti sungguhan
My fake plastic love
Cinta plastik palsuku
Penggambaran bahwa tampak fisik bukan representasi dari kecintaanmu terhadap seseorang. Meskipun kau menganggap cinta itu tampak seperti sungguhan, tetapi itu tidak menjamin isi hati.
But I can’t help the feeling
Tapi tak bisa kutahan perasaan ini
I could blow through the ceiling
Aku bisa menderita
If I just turn and run
Jika aku berbalik dan lari
Penggambaran pergulatan eksistensial dari seseorang yang tidak dapat menafikan bentuk fisik seorang manusia yang ia sukai, juga penggambaran betapa sulitnya manusia untuk lepas dari pemaknaan awal yang ia terima dari proses tumbuh dan berkembanganya di asup dengan representasi palsu yang dianggap fakta.
And if I could be who you wanted
Dan andai aku bisa menjadi orang yang kau inginkan
If I could be who you wanted
Andai aku bisa menjadi orang yang kau inginkan
All the time, all the time
Selamanya, selamanya
Penggambaran lirik ini adalah sebuah kritik terhadap fenomena sosial yang menuntut pasangannya untuk memenuhi standar kecantikan/ketampanan seseorang, padahal pada dasarnya standar tersebut juga hasil konstruksi (representasi palsu). Sehingga, orang-orang berlomba atas standar tersebut dengan membeli produk kecantikan, melakukan operasi plastik. Sadar atau tidak sadar, istilah insecure malah menjerumuskan orang pada suasana tersebut yang resah dan merasa terkucilkan ketika tidak memenuhi standar kecantikan dan ketampanan. Pada akhirnya kita melupakan melihat hati pasangan yang jauh lebih tulus dan nonmateril.
Refleksi dari lagu “Fake Plastic Trees”
Lagu ini mencoba menarik ingatan jauh kebelakang untuk menyadari sesuatu hal yang membentuk pengetahuan manusia. Saat seseorang berusia muda pada tahap imitasi, ia tidak memiliki perangkat berpikir yang cukup kritis untuk memilah-milah apa yang ia dengarkan, apa yang ia lihat dan apa yang ia rasakan. Ia cenderung menerima segala sesuatunya dan menganggapnya sebagai sebuah kebenaran, namun setelah ia melalui proses belajar akan banyak hal, setelahnya manusia baru akan mulai meredefinisi atas pengetahuan yang selama ini dia ketahui.
Dalam lagu tersebut juga mencoba mengkritik soal konstruksi kecantikan. Narasi mengenai konsep cantik hanya pada ketika kulit terang, hidung mancung serta badan langsing, yang sadar atau tidak sadar pandangan tersebut menjadi sebuah kemapanan (standar kecantikan) dan sebagai sesuatu yang kita percayai sebagai sebuah pemakluman. Sehingga, para wanita berlomba-lomba untuk memenuhi standar kecantikan tersebut dengan membeli produk kecantikan hingga melakukan operasi plastik terhadap anggota tubuhnya untuk memenuhi standar-standar tersebut.
Bagi Saraswati, ideologi kecantikan nyata menempatkan perempuan modern sebagai subordinat. Hal ini tentunya berpengaruh pada maraknya ritual kecantikan yang harus dipenuhi oleh perempuan dengan menggunakan berbagai produk kecantikan, yang dilihat dari perspektif Foucauldian adalah ‘mendisiplinkan’ tubuh wanita agar berbeda secara signifikan dengan laki-laki, sekaligus mengemasnya sebagai tubuh yang “patuh”. Pemahaman ini sebagai simbolisasi atas penggambaran bahwa kecantikan dan pemaknaanya merujuk pada wujud kuasa untuk mengendalikan tubuh wanita menyesuaikan dengan pandangan sosial yang hadir ditengah kita.
Namun pernahkan kita bertanya, kenapa kita membeli prodak kecantikan tersebut? Kenapa kita rela melakukan operasi plastik? Kenapa kita perlu memenuhi standar tersebut? Siapakah yang diuntungkan atas fenomena ini? Narasi tersebut tidak terlepas dari orientasi kekuasaan yang dominan dari motif dagang yang diproduksi oleh sekelompok orang yang memiliki kepentingan sendiri.
Dalam konteks hari ini, konstruksi atas konsep kecantikan cenderung berinovasi melalui kebudayaan. Bentuk sederhana yang dapat kita lihat ialah inovasi kebudayaan melalui film-film korea yang kita nonton. Melalui aktor-aktor wanita yang diperankan memiliki kulit terang dan badan langsing serta cara berpakaian yang secara tidak sadar mempengaruhi dan membuat standar kecantikan dan gaya hidup. Atas obsesi itu para wanita berlomba menyamakan dirinya dengan aktor-aktor yang ia lihat melalui film-film tersebut.
Dalam khazanah lagu “Fake Plastic Trees” juga mengingatkan kita bahwa manusia memiliki pengetahuan, hati sebagai wujud perasaan yang sifatnya immateri sesuatu yang melampaui tampilan fisik seorang manusia. Dalam artian, seseorang dapat memaknai wujud tindakan sebagai refleksi dari kecintaan seseorang selain melihat tampilan fisik manusia yang bagi Radiohead dalam lagunya bahwa tampakan fisik bukanlah representasi dari kecintaanmu ia hanyalah “my fake plastic love”.
Oleh : Satriulandari Foto : Dokumentasi Pribadi Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fisip Unhas raih juara tiga…
Oleh: Putri Aliqa Umayyah Ilustrasi: Pinterest Di sebuah rumah yang sederhana, terdapat seorang wanita yang…
Oleh: Muh. Cahyo Dherian Ilustrasi: Widya Juniaty Dikeramaian yang memekakkan telinga, terdapat seorang anak yang…
Tulisan : Muhammad Alfaridzi Foto : Muhammad Alfaridzi Kegiatan Basic Public Relations (PR) Class yang digelar di…
Penulis: Jessy Marty R. Loardi Editor: Satriulandari Foto : KIFO KOSMIK Basic PR Class kembali diadakan…