Penulis: Annisah Desti Reskiah, Nurin Nashfati, Marva Syarif Maulana Gobel, Nurul Izzah, Agus Rafiul Anwar, Lisdayanti | Ilustrasi: Uni Kurniawati
Fenomena Pasca-Kebenaran
Pasca-kebenaran menjadi terjemahan secara harfiah dari kata post-truth yang dalam Kamus Oxford diartikan sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik di banding emosi dan keyakinan personal. Fenomena global ini dapat terjadi di mana dan kapan saja. “Post-truth itu kan fenomena global, contoh nyata post-truth itu ketika Donald Trump terpilih,” terang Direktur Ruang Antara, Ayu Adriani. Terpilihnya Donald Trump turut mencuatkan penggunaan istilah ini pada Tahun 2016. “Kata ini menjadi Word of the Year pada 2016 dalam Kamus Oxford,” tambahnya.
Sejalan dengan itu, McIntyre (2018) menjelaskan bahwa fenomena yang mencuat pada Tahun 2016 dalam konteks konstestasi politik ini sebenarnya banyak berkembang dan dimediasi oleh teknologi informasi sehingga mengalami perluasan hingga saat ini.
Apabila dilihat dari kacamata seorang Dosen Ilmu Komunikasi, Dr. Muliadi Mau, S.sos., M.Si. Pasca-kebenaran dianggap sebagai sesuatu yang sifatnya melampaui kebenaran itu sendiri. Ia mengatakan bahwa faktor kemajuan teknologi di bidang komunikasi yang membuat fakta itu bisa menjadi sedemikian rupa sehingga melampaui apa yang sesungguhnya.
Jurnalisme di Era Pasca-Kebenaran
Fenomena pasca-kebenaran menjadi suatu peringatan terutama di bidang jurnalisme. Hal ini karena orang-orang yang bekecimpung di dunia jurnalisme bergerak di bidang mencari, mengumpulakan dan menyebarkan fakta yang di dalam intinya adalah aspek kebenaran itu sendiri. “Ketika ada fenomena truth, boleh jadi jika dunia jurnalisme tidak mengantisipasinya, maka dunia jurnalisme bisa menyebarkan fakta yang berpost-truth. Dan jika itu terjadi, maka jurnalis harus bekerja ekstra. Kalau mereka hanya cukup menghadapi hal-hal yang sifatnya umum, kini harus menghadapi realitas baru bernama post truth. Apalagi jika orang sudah tidak dapat membedakan mana kebenaran yang sesungguhnya,” ucap Muliadi Mau.
Di era pasca-kebenaran, batas antara kebenaran dan kebohongan menjadi semakin kabur. Menyampaikan sebuah ketidak benaran menjadi sebuah kebiasaan. Di era ini, kebenaran jurnalistik mulai di ambil oleh berita bohong atau hoax. Hal ini dibenarkan Muliadi Mau. Ia mengatakan bahwa jika post-truth sudah melampaui kebenaran yang sesungguhnya, maka bisa menghasilkan hoaks.
Lahirnya platform media baru (new media) juga turut berperan dalam merebakkan hoaks. Media baru menjadikan khalayak daring (netizen) tidak hanya memerankan posisi konsumen tapi juga produsen. Dengan demikian semakin banyak alternatif informasi yang dapat diakses di internet. Luberan informasi ini sayangnya dapat berupa misinformasi, disinformasi,ataupun malinformasi. Masyarakat yang tidak memiliki kecakapan dalam memilah informasi kemudian dapat dengan mudah mempercayai informasi yang palsu (fake news) atau informasi yang keliru (false news).
United Nations (UN) dalam Press Freedom Day menyatakan bahwa di era pasca-kebenaran dengan “berita palsu” yang sedang berkembang secara masif, di mana akun tabilitas media dan kredibilitas semakin dipertanyakan, maka jurnalisme yang bebas, independent, dan profesional tidak pernah lebih penting lagi dari hal apapun.
Hal tersebut dinilai menjadi sebuah tantangan bagi seorang jurnalis, Nurdin Amir. Ia berpendapat bahwa di era teknologi informasi yang lebih mudah diakses melalui media apalagi media social membuat jurnalis mendapatkan tugas berat. “Fungsi kita sebenarnya adalah karena banyak sekali informasi yang beredar di media sosial ataupun media – media partisan, ataupun media – media internal.”
Banyaknya informasi yang beredar di media sosial turut diperparah dengan kemajuan teknologi informasi. Pratama (2018) menjelaskan, “Dengan mediasi dan kekuatan teknologi informasi, khususnya media sosial, pasca-kebenaran teraksentuasi lebih nyata dan keras. Jika seseorang tidak suka atau tidak menyetujui suatu posisi dalam isu tertentu, maka dengan lari ke internet dan media sosial ia akan menemukan melimpahnya opini yang sesuai dengan preferensi yang dimilikinya.”
Kemampuan algoritma mesin pencari dapat membuat seseorang mengakses informasi yang begitu banyak di internet menggunakan preferensinya. Kecanggihan teknologi ini dapat membentuk ruang gema (echo chamber). Ruang ini terbentuk berdasarkan algoritma mesin pencari gelembung penapis (filter bubble).
Algoritma yang bekerja dalam suatu situs web akan menebak dan mendistribusikan informasi apa yang diinginkan oleh sang pengguna berdasarkan riwayat pencarian, lokasi pengguna, interaksi di media sosial, maupun kebiasaan klik di masa lalu. Dengan algoritma ini, akibatnya, pengguna akan terisolasi dan terpisah dari informasi-informasi yang berseberangan atau berbeda dari sudut pandang sang pengguna sendiri (Pariser & Kemerling, 2011).
Bijak dengan Disiplin Verifikasi dan Literasi Media
Untuk menyikapi fenomena post-truth, ada banyak cara yang dapat dilakukan. Muliadi Mau berpendapat bahwa jurnalis harus kembali ke inti dari pekerjaan jurnalis yang sebenarnya, yaitu bekerja mencari, mengumpulkan, mengelola dan menyebarluaskan fakta. “Salah satu caranya mengatasi itu ialah dengan disiplin verifikasi. Itu adalah seorang wartawan harus memverifikasi setiap fakta yang dia terima untuk mengetahui mengandung unsur kebenaran atau tidak,” tuturnya.
Dosen Ilmu Komunikasi ini juga menjelaskan bagaimana metode-metode lama dalam menghindari post-truth dapat didukung dengan bantuan teknologi dari metode-metode baru. “Bisa menggunakan bantuan teknologi. Namanya cekfakta. Tujuannya untuk menghindari hoaks,” jelasnya.
Tidak jauh berbeda, Nurdin Amir mengatakan bahwa saat ini Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) Kota Makassar mendorong liputan-liputan mendalam dan liputan berbasis data karena jurnalisme era sekarang mengedepankan klarifikasi. Supaya masyarakat lebih cerdas dalam memahami masalah yang ada. “Kemarin saya buat pelatihan juga buat jurnalis bagaimana mengolah data, jurnalisme data. Supaya teman-teman lebih banyak liputan berbasis data,” ujar pria kelahiran Pinrang ini.
Sementara itu, Ayu Adriyani mengatakan bahwa solusi dalam menangani fenomena ini adalah dengan literasi media. Di dalam literasi media, kita bisa paham untuk tidak asal membagikan sesuatu tanpa kita tahu asalnya dari mana. Dengan menyempatkan kemampuan tersebut, kita juga bisa lebih paham pentingnya disiplin verifikasi dan tidak gampang terbawa arus karena hidup di era tsunami informasi.
Pada akhirnya kita butuh untuk melatih diri supaya bisa berdaya, kalau tidak sampai ke akarnya, setidaknya kita tidak menjadi bagian dari orang-orang yang membagikan sesuatu tanpa tahu asalnya dari mana. Hal tersebut merupakan salah satu contoh kemampuan yang paling tidak harus kita punya hari ini, supaya kita tidak menjadi bagian atau perpanjangan tangan dari kepentingan-kepentingan yang tidak kita inginkan.
Semua orang memiliki kemampuan literasi media. Hanya saja yang membedakannya kemudian adalah pengetahuan dan ruang-ruang yang diciptakan untuk membangun kesadaran. Entah dari membaca atau berdiskusi untuk mengemas keingintahuan. Hal itu yang digunakan sebagai modal untuk melihat media-media atau informasi yang ingin kita konsumsi. “Jadi sebenarnya kita semua sama di segi pengetahuan dasar, dan itu yang perlu kita tingkatkan melalui membaca dan mengembangkan wacana-wacana. Ada banyak sebenarnya, tetapi paling tidak itu poin yang penting bahwa literasi media itu menjadi penting hari ini, mau media konvensial atau digital, apalagi yang digital,” pungkas Ayu.
Oleh: Putri Aliqa Umayyah Ilustrasi: Pinterest Di sebuah rumah yang sederhana, terdapat seorang wanita yang…
Oleh: Muh. Cahyo Dherian Ilustrasi: Widya Juniaty Dikeramaian yang memekakkan telinga, terdapat seorang anak yang…
Tulisan : Muhammad Alfaridzi Foto : Muhammad Alfaridzi Kegiatan Basic Public Relations (PR) Class yang digelar di…
Penulis: Jessy Marty R. Loardi Editor: Satriulandari Foto : KIFO KOSMIK Basic PR Class kembali diadakan…
Penulis: Kayla Aulia Djibran Editor: Satriulandari Foto : KIFO KOSMIK Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Kosmik) melalui…