Foto oleh Kifo Kosmik
Makassar, Baruga – Sorot temaram menghiasi suasana Taman Lembaga Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin (Lema FISIP Unhas) selagi berputarnya Film Sexy Killers di hadapan 75 penonton. Film dokumenter besutan rumah produksi Watchdoc ini ditayangkan secara serentak sejak 5 April 2019 di sejumlah Kota dan di Makassar salah satunya, Senin (8/4).
Film ini diproduksi melalui Ekspedisi Indonesia Biru yang dipelopori oleh dua jurnalis, Dandhy Laksono dan Suparta Arz. Perjalanan mereka dimulai dari kantor rumah produksi Watchdoc pada 1 Januari 2015 menuju pemukiman Suku Baduy. Dari situ mereka meneruskan penjelajahan dan merekamnya ke dalam bentuk dokumenter. Sexy Killers sendiri menjadi film ke-12 sekaligus penutup dari Ekspedisi Indonesia Biru.
Fasilitator Acara Yudhi Kurniadi Syam mengatakan film Sexy Killers menyajikan data yang sangat lengkap mengenai bagaimana oligarki tambang bertanggungjawab terhadap kerusakan lingkungan, “Data tentang siapa saja pemilik perusahaan tersebut, menurut peneliti risetnya, didapatkan dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum.”
Film garapan Sutradara Dandhy Laksono ini menghadirkan realita yang begitu dilematis akan harga “murah” yang disuguhkan batu bara. “Murah” yang sesungguhnya sangatlah mahal melihat konsekuensi kerusakan yang harus dibayar. Hadirnya proyek besar seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menjadi salah satu pemicu tingginya tingkat kebutuhan produksi batu bara itu sendiri.
Saat pemutaran film selesai, Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Kosmik) sebagai panitia penyelanggara kemudian membuka sesi diskusi. Yudhi selaku fasilitator jalannya acara memantik ruang interaksi dengan menyampaikan pandangannya, “Film ini menurut saya memperlihatkan kita bahwa keterhubungan sesuatu, termasuk kerusakan, mempunyai hubungan yang sangat kompleks. Bukan hanya persoalan ‘kematian disebabkan karena musibah’ ataukah alasan-alasan yang istilahnya lompatan iman – menyalahkan Tuhan.” Ia juga menyampaikan perasaanya setelah menyaksikan film berdurasi 88 menit tersebut, “Melihat film ini, saya cukup tercengang, mendidih dan pada akhirnya sedih.”
Beberapa lingkar aktivis yang menghadiri acara juga turut menyampaikan pendapat. Fajar dari Keluarga Mahasiswa Sosiologi FISIP Unhas mengatakan, “Kalau berbicara mengenai akarnya, tentu saja itu berasal dari paradigma ekologi. Hal yang sangat dipengaruhi aktivitas industri di mana kita bergantung terhadap energi fosil. Itu juga dibahas oleh Chapra bahwa pada tahun 2300, kita akan kehilangan energi fosil karena aktivitas industri.”
Di akhir penuturannya, Fajar kembali mengajak forum untuk sama-sama membahas bagaimana menghadirkan diskursus yang bisa membangun keseimbangan, “Adakah jalan tengah yang memungkinkan hadirnya keseimbangan alam di tengah kapitalisme global saat ini?”
Menanggapi hal tersebut, salah satu peserta diskusi, Ikki, mengatakan, “Ada hal yang terlupa dalam ruang-ruang intelektual, bahwasanya aspek antara ekonomi dan ekologi tidak berlawanan tetapi ia diibaratkan dua sisi mata uang. Ada siklus hidup di mana apabila kita menilisik prinsip modernitas melalui perspektif ekologis, keterhubungan manusia, teknologi dan alam harusnya mempunyai titik temu.”
Ikki beranggapan bahwa hal ini bisa disikapi sebagai sebuah tantangan, bukan masalah. Menurutnya, peran kita dalam menciptakan diskursus dan melahirkan wacana sangatlah penting. Tidak perlu menunggu momentum khusus seperti Pemilihan Presiden untuk mengkaji kembali kebijakan-kebijakan menyoal lingkungan. “Apa yang patut kita produksi untuk menjadi wacana? Itu akan menjadi pertanyaan yang sangat besar. Sekali lagi, wacana intelektual untuk sampai ke sini itu merupakan barang elit. Watchdoc pun mengkritisi banyak hal. Kenapa misalnya perbincangan menyangkut kebelangsungan hidup itu seperti ditunda-tunda. Polanya masih sama, menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bagi kita hari ini.”
Senada dengan tanggapan Ikki mengenai tindakan sederhana yang kita lakukan dapat berdampak besar, Yayan sebagai Perwakilan Mahasiswa Pencinta Lingkungan Hidup Selaras Universitas Negeri Makassar (SINTALARAS UNM) mengatakan, “Salah satu langkah kekinian untuk mengubah paradigma adalah dengan mengadakan bedah film seperti ini. Saya yakin, apabila ke depannya banyak yang memproduksi film seperti ini, perlahan akan mengubah paradigma masyarakat entah itu skala kecil atau besar, cepat ataupun lambat.”
Diskusi ini berjalan interaktif selama kurang lebih 90 menit. Yudhi selaku fasilitator berharap kita tidak berhenti pada tataran diskursus saja, namun kemudian ada hal yang bisa ditawarkan dan hadirkan. Bentuk tersebut yang kemudian akan kembali membangun diskursus-diskursus baru.
Film Sexy Killers tak ayal dapat menjadi refleksi terhadap diri kita sendiri. Mengutip penuturan salah satu peserta diskusi, Jawahirus Saniah, disekuilibrium antara manusia dan alam dimulai dari hal yang sederhana. Seperti elementer menyoal cara menjalani keseharian dalam hidup. Selaku pertanyaan sederhana yang dapat menjadi refleksi untuk tiap-tiap individu, “Apakah setelah meninggalkan toilet, kita telah memastikan lampunya padam?” (Amalia Fildzah Adhani)
Oleh: Putri Aliqa Umayyah Ilustrasi: Pinterest Di sebuah rumah yang sederhana, terdapat seorang wanita yang…
Oleh: Muh. Cahyo Dherian Ilustrasi: Widya Juniaty Dikeramaian yang memekakkan telinga, terdapat seorang anak yang…
Tulisan : Muhammad Alfaridzi Foto : Muhammad Alfaridzi Kegiatan Basic Public Relations (PR) Class yang digelar di…
Penulis: Jessy Marty R. Loardi Editor: Satriulandari Foto : KIFO KOSMIK Basic PR Class kembali diadakan…
Penulis: Kayla Aulia Djibran Editor: Satriulandari Foto : KIFO KOSMIK Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Kosmik) melalui…