Categories: Opini

Instastory dan Sebuah Upaya Mengkritik Diri Sendiri

Teks dan Kolase oleh Jawahirus Saniah

Memasuki masa libur semester ganjil, tidak banyak yang saya lakukan selain mendekap di rumah—sambil nonton maraton serial, membaca buku kalau lagi rajin, atau menulis jika sedang diilhami ide. Tapi di kebanyakan waktu tersebut, yang saya lakukan adalah olahraga jempol—melihat instastory dan menyambangi satu akun ke akun lain. Scroll, swipe, scroll, swipe.

Saya jadi tahu kalau si A sedang senang karena baru saja menghadiri reuni, kemudian si B sedang kesal karena tim sepakbola favoritnya kalah di kandang sendiri, lalu si C sedang sedih di antara kebimbangan nasib hubungannya yang entah mau dibawa ke mana atau digantung di mana. Saya jadi tahu apa yang sebenarnya tidak ingin dan tidak perlu saya tahu, sehingga rasanya seperti ingin muntah oleh terlalu banyaknya informasi.

Rasa-rasanya pula saat ini sudah sangat jarang saya menjadi romantis pada orang lain seperti menanyai kabar sedang apa dan lagi di mana. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak lagi perlu karena telah tersedia jawabannya bahkan sebelum pertanyaan dilontarkan.

Hingga pada akhirnya saya pikir tidak dapat lagi dikatakan jika media sosial adalah dunia yang maya, sebab segala yang “nyata” telah dibawa masuk ke dalamnya. Perbedaannya hanya sebatas pada apa yang kita alami interaksinya secara langsung dan ada yang melalui jejaring daring atau digital. Melampaui batas ruang dan waktu, hiperealitas istilahnya.

Hiperealitas adalah ketidakmampuan kesadaran manusia untuk membedakan kenyataan dan fantasi sehingga kebenaran, keaslian, kepalsuan, fakta, atau kebohongan sangat sulit untuk dibedakan.

Jean Baudrillad, mengungkapkan istilah Simulasi dan Simulacra dalam menjelaskan konsep dari Hiperealitas. Menurut Baudrillad, simulasi adalah keadaan dimana representasi atau gambaran dari sebuah objek menjadi lebih penting daripada objek itu sendiri, sedangkan simulacra adalah sebuah duplikasi yang sebenarnya tidak pernah ada sehingga perbedaan antara duplikasi dan fakta menjadi kabur. (https://medium.com/@rhoomcha/hiperealitas-dan-dunia-maya)

Lalu tiba-tiba muncul di benak untuk melakukan riset iseng-isengan mengenai media sosial (khususnya instastory), melalui metode eksperimental saya ingin ikut merasakan sensasi menjadi “nyata” di dunia maya. Sebagai remaja yang dari beberapa hasil psikotes divonis memiliki kepribadian ‘introvert’ (INTJ), menjawab pertanyaan bertubi-tubi adalah hal yang jelas membuat tidak nyaman. Rasanya seperti sedang dikuliti, dikupas sedikit demi sedikit, ditanyai ini dan itu. Terlebih karena saya lebih banyak menyimpan hal untuk diri sendiri, yang pada akhirnya hanya akan berujung dalam catatan atau (jika sedang beruntung) seorang teman diskusi.

Saya mencoba membuka pernyataan (yang sebenarnya juga perintah) berupa:

“Tulis apa saja, akan saya balas dengan kutipan puisi, buku, film, atau lirik lagu,”

Sangat jelas di awal jika citra yang ingin saya bangun adalah menunjukkan seorang yang suka dengan puisi, buku, lagu, dan film. Seperti konsep Baudrillad, simulasi adalah keadaan dimana representasi atau gambaran dari sebuah objek menjadi lebih penting daripada objek itu sendiri. Saya mencoba memberi gambaran kepada pembaca pesan bahwa saya adalah seperti apa yang ingin saya tunjukkan, bukan saya sebagaimana saya adanya. Fase pertama sebelum terjebak hiperealitas.

Hasilnya adalah saya mendapat lima puluh lima respon. Dari respon yang saya terima, dua puluh diantaranya meminta untuk dideskripsikan menurut sudut pandang saya. Tujuh belas lainnya mengajukan topik yang mengarah ke romansa, berputar-putar di persoalan cinta dan rindu. Sementara sisanya memberi tanggapan yang hanya sekedar candaan.

Kemudian mulailah kubalas satu persatu, dengan kutipan buku, larik-larik puisi, cuplikan film dan sepenggal lagu. Lama-kelamaan mulai terasa nyaman, mendapat atensi dari orang banyak berarti membuka peluang untuk makin membangun citra diri. Kubuat diriku seolah-olah sedang rindu, lalu seolah sedang jatuh cinta, sebentar menjadi asik dengan sedikit gurauan. Hingga kubiarkan menjadi fana antara manakah diriku yang sebenarnya dan yang mana sebatas “hasrat eksistensiku”. Simulacra, sebuah duplikasi yang sebenarnya tidak pernah ada sehingga perbedaan antara duplikasi dan fakta menjadi kabur. Tapi peduli siapa, orang di depan layar mana tahu apa yang terjadi.

Siapa yang tak ingin eksistensinya diakui oleh orang lain? Semua orang pasti mau dan bahkan berusaha untuk mewujudkannya, dalam ruang lingkup media sosial, mendapat perhatian dan menumbuhkan citra dapat dikategorikan dengan ke-eksistensian diri (Nasrulloh, 2016).

Namun siklus yang terus terulang di setiap jawaban memberi kepuasaan intrinsik, sehingga meskipun secara sengaja saya melakukan eksperimen, tetap saja efek yang timbul menyentuh ranah “ketidaksadaran” yang bisa menjelma kompulsi dalam bermedia. Merasa cemas jika sehari saja tidak “memamerkan diri”. Jangan sampai mengekspos diri sendiri menjadi sesuatu yang berlebihan dan adiktif.

Juga seperti yang saya sebutkan di awal, sepertiga dari seluruh respon meminta untuk dijelaskan dirinya, sebagian lagi mencoba untuk digambarkan kondisi yang ia alami, dari respon itu sang penanya ingin menunjukkan dirinya. Sering juga saya bertanya di kolom question akun orang lain mengenai pendapatnya tentang diri saya kemudian dibiarkan untuk dibaca banyak orang. Ternyata selama ini saya masih merasa butuh pengakuan dari orang lain. Sebegitu tidak percaya dirinya kah saya hingga perlu pengakuan orang lain untuk merasa utuh?

Saya mengenal banyak teman yang pendiam tetapi begitu berisik di media sosial, atau sebaliknya sangat ceria sehari-hari tapi cenderung murung dalam unggahannya. Mungkin itu adalah bentuk defensif (perlindungan diri) atau topeng yang memang sengaja dipasang demi sebuah citra dan eksistensi. Apapun itu, sebagai saran untuk diri sendiri, selepas ini saya akan berusaha menjadi orang yang romantis. Saya akan berusaha menjadi orang yang berani menatap wajah orang lain secara langsung dibanding hanya melalui layar ponsel.

Bagaimana dengan kalian?

Kosmik

Recent Posts

Light Behind The Loss

Oleh: Putri Aliqa Umayyah Ilustrasi: Pinterest Di sebuah rumah yang sederhana, terdapat seorang wanita yang…

1 week ago

Meraba Jati Diri dalam Proses Mencari Rumah

Oleh: Muh. Cahyo Dherian Ilustrasi: Widya Juniaty Dikeramaian yang memekakkan telinga, terdapat seorang anak yang…

3 weeks ago

Case Cracker Hadirkan Pengalaman Praktis PR di Basic Public Relations Class

Tulisan : Muhammad Alfaridzi Foto : Muhammad Alfaridzi Kegiatan Basic Public Relations (PR) Class yang digelar di…

3 weeks ago

Praktik PR yang Perlu Diketahui dalam Dunia Pekerjaan

Penulis: Jessy Marty R. Loardi Editor: Satriulandari Foto : KIFO KOSMIK Basic PR Class kembali diadakan…

3 weeks ago

Basic PR Class Bahas Aspek Penting yang Perlu Diperhatikan Seorang Public Speaker

Penulis: Kayla Aulia Djibran Editor: Satriulandari Foto : KIFO KOSMIK Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Kosmik) melalui…

3 weeks ago

Singa yang Ditunggu Kehadirannya

Oleh: Radian Dwi Imam Ar'rafi Ilustrasi: Summer Bloom Manhua Sejak hari pertama kita bertemu, kamu…

3 weeks ago