Teks dan Kolase oleh Sultan Amanda Raja
“Jangan mati, hiduplah kaum pembawa kebenaran.”
Kuasa kembali mempertontonkan pertunjukannya, sebab para pencinta uang dan kekayaan ialah mereka yang menganjurkan kebencian dan anti kemanusiaan.
Penindasan, pembungkaman serta pembunuhan terngiang pada jalan-jalan kebenaran, mengapa? Sebab suara, argumentasi, syair, puisi dan orasi yang mengembara ingin masuk ke dalam gerbang kegelapan namun ditikam dengan pedang berkali-kali.
Mereka hanya tertawa lantas keadilan dan kemanusiaan hanya utopia yang terus berterbangan mengikuti arus lautan yang ganas. Kata mereka biarkanlah dia mati, tidak perlu taat dengan kemanusiaan sebab ruang meminta maaf selalu terbuka untuk kami.
Gemuruh suara revolusi semakin lirih kala menyerang, sebab trotoar jalan bertaburan darah dan air mata para pembawa juang atas kebenaran.
Kerap kali mereka berkata padaku, “Kami tentu mendengar suara-suaramu,sebab kami ditugaskan untuk itu, kami digaji untuk mendengar itu.” Kata kami, “Ohh…. Tidak. Ide kami hanya diberi ruang diskusi dengan senjata. Buku-buku yang kami baca taklah berarti dengan para pemburu pangkat yang tak mengenal arti kemanusiaan.” Lalu mereka berkata lagi, “Aku juga reformasi, tapi bukan begini caranya.” Kami meratap bingung lalu berkata, “Kau tak mengenal cara-cara kami, sebab dialektika hanya omong kosong bagimu. Tubuh kami hanya kau anggap tempat memuaskan hasrat membabibutamu.”
Kini tarian pedang masih terus berlangsung, prahara masuk mengelilingi negeri ini serta terbis menimbun suara-suara yang tak tersampaikan. Sebab mata kekuasaan tidak tembus pandang pada penderitaan dan penindasan. Namun hanya terhalang gedung-gedung tinggi yang megah dan menggiurkan. Telinga mereka tidak dapat mendengarkan tangisan serta teriakan kemanusiaan, sebab telah tertutupi oleh panggilan kekayaan. Ada berapa banyak penderitaan yang harus terjadi sehingga kekuasaan dapat melihat? Dan ada berapa banyak air mata yang bejatuhan sehingga kekuasaan dapat mendengar?
Kini negeri ini melucuti dirinya sendiri, namun tetap saja muka mereka bebal atas kemaluan. Mereka menganggap perjuanganmu pasti akan berlalu, sebab kemaluan akan terbayarkan dengan menikmati sunrise di pagi hari, menari-nari diatas uang yang berhasil mereka rampas dari kami.
Dengarlah saudara-saudara perjuanganku, jika kalian keluar racun, mereka akan mencoba membunuhmu dan membungkammu, mengeluarkan paksa air matamu dan mengotak-atik paru-parumu. Namun kau harus keluar sebab revolusi tidak bersembunyi di tempat tidur. Biarkanlah kalian tertidas dan mati dalam melawan atas ketidakadilan. Namun jangan biarkan suara-suaramu tidak menyerang menusuk akal dan hati mereka karena itulah yang diajarkan oleh kami bahwa tidak ada manusia yang dilahirkan jahat.
Saudaraku, kami tahu kalian telah mencapai puncak kesadaranmu hingga kau merelakan hidupmu kepada banyak manusia yang kehilangan hak-hak dalam berkehidupannya serta membawa kebajikan pada kemanusiaan. Namun percayalah benih perjuanganmu akan mencakar dan merobek tirani peradaban yang sarat akan kebencian.
Terakhir…perjuangkan apa yang kalian anggap benar, railah kemerdekaan dalam dirimu sebab kematian lebih lemah dari kebenaran dan kebenaran akan terus mengakar pada benih-benih yang engkau tebar di mata dan telinga yang masih suci.
Bertahanlah dengan berpikir dalam gelap, dan berjuanglah ketika mereka menyerang dalam diam.
Oleh: Putri Aliqa Umayyah Ilustrasi: Pinterest Di sebuah rumah yang sederhana, terdapat seorang wanita yang…
Oleh: Muh. Cahyo Dherian Ilustrasi: Widya Juniaty Dikeramaian yang memekakkan telinga, terdapat seorang anak yang…
Tulisan : Muhammad Alfaridzi Foto : Muhammad Alfaridzi Kegiatan Basic Public Relations (PR) Class yang digelar di…
Penulis: Jessy Marty R. Loardi Editor: Satriulandari Foto : KIFO KOSMIK Basic PR Class kembali diadakan…
Penulis: Kayla Aulia Djibran Editor: Satriulandari Foto : KIFO KOSMIK Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Kosmik) melalui…
Oleh: Radian Dwi Imam Ar'rafi Ilustrasi: Summer Bloom Manhua Sejak hari pertama kita bertemu, kamu…