Oleh: Muh. Cahyo Dherian
Ilustrasi: Widya Juniaty
Dikeramaian yang memekakkan telinga, terdapat seorang anak yang merasa terasing ditengah keramaian yang riuh itu. Langkah-langkahnya terdengar samar di antara suara gemuruh kota yang tak pernah berhenti. Anak itu merenung, tentang perjalanan panjangnya untuk menemukan tempat yang dapat ia panggil sebagai rumah.
Dengan beban kesepian yang membebani bahunya, anak itu merangkak melalui rintangan dan keputusasaan, mencari cahaya kehangatan yang dapat menerangi jalannya. Setiap hembusan angin malam membawa bisikan-bisikan kerinduan akan kebersamaan, juga kehadiran yang dapat menerangi kegelapan hatinya.
Dengan langkah yang ragu-ragu namun penuh tekad, anak itu melangkah maju, menembus kerumunan yang tak pernah henti. Setiap tatapan kosong yang melewatinya menambah luka dalam hati yang terasing. Namun, dibalik kebingungan dan kesepian, ada api keinginan yang tak pernah padam, keinginan untuk menemukan rumah yang sejati.
Perjalanan anak itu bukan sekadar tentang menemukan tempat berlindung, tetapi juga tentang menemukan tempat ia dapat merasa diterima dan dihargai. Dalam setiap langkahnya, ia membangun jembatan antara dirinya yang terasing dan dunia yang ramai, menuju rumah yang ia impikan, tempat ia akhirnya dapat menemukan kedamaian sejati dan merasa benar-benar ‘Di Rumah’