Categories: Opini

Perempuan dalam Konflik: Antara Korban dan Agen Perdamaian

Teks oleh Zulfah Indah Hafsari

Kolase oleh Comgastra Kosmik/Andi Moh. Kemal P.

Dalam masyarakat yang menganut paham patriarki, perempuan adalah warga kelas dua yang lemah dan harus dilindungi. Konsep ini ternyata diterapkan juga dalam suatu konflik. Ketika konflik berlangsung, kaum perempuan sangat rentan mengalami kekerasan berlapis, seperti kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan penderitaan secara sosial lewat berbagai bentuk kejahatan kemanusiaan. Mansour Faqih dalam bukunya yang berjudul Analisis Gender dan Transformasi Sosial (1996) menyebut bentuk kekerasan ini dengan gender related violence, yaitu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender.

Kekerasan berbasis anggapan gender yang sebenarnya keliru ini, menunjukkan adanya ketidaksetaraan kekuatan antara perempuan dan laki-laki yang ada di dalam masyarakat, sehingga dalam banyak konflik yang terjadi banyak juga angka perempuan yang mengalami kasus pelecehan dan pemerkosaan, penyiksaan hingga pembunuhan, dan perampasan harta benda yang semata-mata dilakukan karena dia adalah perempuan.

Ketidakadilan yang dirasakan kaum perempuan tidak berhenti sampai di situ, pada situasi pasca konflik atau perang kasus-kasus yang menjerat mereka jarang sekali diberitakan media dan tidak diselesaikan secara tuntas oleh pemerintah, kepolisian, dan militer, bahkan seringkali kasus-kasus yang nyata adanya ini justru disangkal oleh banyak pihak dan para perempuan yang mengalami berbagai bentuk kekerasan dipaksa bungkam dan memilih jalur damai dengan dalih untuk menghindari konflik lain dan menjaga nama baik.

Selain itu, di dalam konflik perempuan hanya dilihat sebagai korban yang pasif, yang harus dilindungi, dan diamankan dalam tempat pengungsian bersama para anak kecil yang sama rentannya dengan mereka. Segala upaya yang berkaitan dengan penyelesaian konflik dan perwujudan perdamaian merupakan hal yang bersifat maskulin dan hanya akan dilakukan oleh laki-laki. Perlawanan dan pengamanan dianggap sebagai tugas utama laki-laki dalam situasi konflik dan tidak akan sanggup dijalankan oleh perempuan. 

Meskipun gerak mereka terbatas dan dibatasi, bukan berarti kaum perempuan sama sekali tidak menjalankan peran dalam penanganan dan resolusi konflik. Ada perempuan yang dengan berani turun langsung ke wilayah konflik, baik untuk melakukan perlawanan atau melerai kedua pihak yang bertikai. Ada juga perempuan yang memiliki kesadaran penuh bahwa seringkali dalam konflik ada pihak-pihak yang sedang berada pada sisi yang berlawanan dan saling menyalahkan. Oleh karena itu, alangkah lebih baik jika kedua pihak ini disatukan dalam meja yang sama yaitu meja perundingan.

Kesadaran ini dimiliki oleh perempuan Aceh pada saat terjadi konflik antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka. Dikutip dari Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 16 No. 3 Tahun 2014, “Pada awal tahun 2000, saat Aceh masih dalam situasi konflik, 450 orang perempuan Aceh berkumpul untuk melaksanakan musyawarah yang disebut Duek Pakat Inong Aceh (DPIA). DPIA I dilaksanakan di Anjong Mon Mata, Banda Aceh pada tanggal 19-22 Februari 2000 yang menghasilkan 22 rekomendasi. Fokus rekomendasi ditujukan untuk memastikan penyelesaian konflik Aceh dengan cara damai melalui meja perundingan.”

Pada saat itu, perundingan pun diterapkan dan diselenggarakan di Helsinski untuk menyelesaikan konflik Aceh. Namun sayangnya, perempuan-perempuan Aceh yang menginisiasi perundingan ini tidak dilibatkan sepenuhnya. Mereka hanya diwakili oleh satu orang perempuan Aceh yang perannya sangat dibatasi selama perundingan tersebut berlangsung. Perundingan yang dimasukkan dalam ruang politik dengan proses formal menjadikan peran perempuan termarginalisasi sebab masih kuatnya anggapan bahwa politik adalah kegiatan laki-laki.

Di lain sisi, perundingan ini memang bisa menghasilkan keputusan damai dan menciptakan kondisi yang kondusif di antara pihak-pihak yang sebelumnya berkonflik. Dalam proses pengambilan keputusan tersebut, pelibatan perempuan sangat terbatas dan perannya sebagai inisiator perundingan perdamaian seringkali dilupakan, sangat jarang diungkit dan dibicarakan. Imbasnya, hak-hak perempuan gagal diterjemahkan menjadi kebijakan-kebijakan yang berbasis kesetaraan gender.

Gerak-gerak perempuan tidak berhenti walaupun tidak pernah mendapatkan keadilan. Ketika konflik terselesaikan, peran mereka berlanjut dalam pemulihan kondisi pasca konflik. Pemulihan ini dikhususkan kepada sesama perempuan dan anak kecil korban konflik yang kerap kali menjadi korban yang paling menderita karena mereka tidak hanya tertekan secara mental namun juga secara fisik yang menimbulkan trauma mendalam. Pemulihan ini penting dilakukan untuk memutus rantai kekerasan yang dialami korban, sehingga yang bersangkutan dapat berdialog dengan rasa sakit, kemarahan, dendam, dan yang terpenting mengobati trauma korban sehingga korban dapat kembali secara utuh di masyarakat dan berfungsi dalam lingkungan sosialnya. 

Perjalanan panjang yang telah ditempuh kaum perempuan demi mencapai perdamaian adalah kontribusi positif yang perlu diapresiasi. Pemerintah memang mengakui adanya peran perempuan dalam resolusi konflik dan perundingan damai, namun lebih dari pada itu, pemerintah perlu mendorong peningkatan peran perempuan dan membuka akses seluas-luasnya bagi perempuan untuk terlibat langsung dalam pemerintahan dan politik, sehingga suara, pandangan, dan pendapat perempuan tentang penanganan dan resolusi konflik, terutama di dalam perundingan dan pengambilan keputusan dapat diformulasikan dalam pembuatan kebijakan-kebijakan yang pro-gender dan berbasis kemanusiaan

Baruga Kosmik

Recent Posts

Mahasiswa Komunikasi Unhas Raih Juara Tiga KTI di PENA 2024 dengan Inovasi Pencegahan Deforestasi

Oleh : Satriulandari Foto : Dokumentasi Pribadi Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fisip Unhas raih juara tiga…

2 weeks ago

Light Behind The Loss

Oleh: Putri Aliqa Umayyah Ilustrasi: Pinterest Di sebuah rumah yang sederhana, terdapat seorang wanita yang…

1 month ago

Meraba Jati Diri dalam Proses Mencari Rumah

Oleh: Muh. Cahyo Dherian Ilustrasi: Widya Juniaty Dikeramaian yang memekakkan telinga, terdapat seorang anak yang…

1 month ago

Case Cracker Hadirkan Pengalaman Praktis PR di Basic Public Relations Class

Tulisan : Muhammad Alfaridzi Foto : Muhammad Alfaridzi Kegiatan Basic Public Relations (PR) Class yang digelar di…

1 month ago

Praktik PR yang Perlu Diketahui dalam Dunia Pekerjaan

Penulis: Jessy Marty R. Loardi Editor: Satriulandari Foto : KIFO KOSMIK Basic PR Class kembali diadakan…

1 month ago