Teks oleh Ukhwani Ramadani
Isu mengenai kesetaraan gender menjadi bahan perbincangan masyarakat atau kaum intelektual dewasa ini. Adanya bentuk-bentuk ketidak-adilan dalam ranah sosial masyarakat Indonesia kembali membangkitkan semangat juang untuk dapat memerdekan diri sebagai warga Negara yang memiliki hak yang sama. Meningkatnya jumlah kekerasan terhadap perempuan menjadi landasan utama kaum feminis mulai bergerak dan kembali menuntut kesetaraan serta menghilangkan sistem patriarki yang semakin tertanam.
Berdasarkan Catatan Tahunan 2017, Komnas Perempuan menjelaskan bahwa selama tahun 2016 terjadi 259.150 kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Kita juga dapat melihat realitas sosial bahwa perempuan selalu menjadi sarang intimidatif bagi kepuasan penguasa yang tidak bertanggung jawab. Selain itu perempuan saat ini hampir tak pernah lepas dan terjebak dalam upaya ekploitasi di media massa, baik itu pertelevisian maupun media sosial. Sangat ironis ketika perempuan dijadikan sebagai objek untuk membuat tayangan trelevisi menjadi menarik. Televisi tidak lagi mengedepankan aspek moral dan rasio tapi lebih kepada materi demi mendapatkan keuntungan yang besar. Realitas ini tentu semakin membuat para pejuang keadilan gender menancapkan taringnya.
Harapan kaum feminis di Indonesia ternyata sejalan dengan salah satu dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) pada pertemuan yang dihadiri oleh perwakilan dari 19 negara anggota PBB yakni mencapai kesetaraan gender serta memberdayakan seluruh perempuan dan anak perempuan. Hal ini tentu menjadi batu loncatan bagi kaum feminis untuk dapat merealisasikan tujuan yang ingin dicapainya.
Harapan dan semangat juang yang dilakukan melalui gerakan feminism ini sebenarnya telah diupayakan oleh perempuan Indonesia sejak tahun 1900an, yakni oleh Raden Ajeng Kartini yang terkenal dengan kesusastraannya dalam karya “Habis gelap terbitlah terang (1911).” Raden Ajeng Kartini yang notabenenya adalah seorang putri dari priyayi yang dilahirkan dalam lingkungan feodal membuatnya menjadi seorang perempuan yang berani dan kritis. Hal itulah yang menjadi sebab perjuangannya dalam pemenuhan hak-hak sebagai perempuan.
Konsep Emansipasi yang diperkenalkan oleh Kartini adalah upayanya dalam mempertahan karakter bangsa, yakni dengan mendeklarasikan bahwa setiap individu baik perempuan maupun laki-laki mempunyai hak yang sama untuk menjadi manusia yang berpendidikan demi meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang ada di Indonesia. Tidakkah dalam pembukaan UUD 1945 telah dipaparkan salah satu cita-cita bangsa Indonesia yakni mencerdaskan kehidupan bangsa?
Kita juga harusnya dapat memahami bahwa perempuan adalah madrasah utama bagi generasi yang akan memimpin Indonesia kedepannya. Oleh karena itu, perempuan harus memiliki semangat menempuh pendidikan seperti yang dilakukan oleh Kartini demi membangun peradaban dengan generasi yang berakhlak mulia, berbudaya, dan berpengetahuan.
Berdasarkan Jurnal Citra Mustikawati dengan studi Hermeneutikanya menjelaskan tentang upaya Kartini dalam memperjuangkan haknya untuk berpendidikan, walaupun tidak sepenuhnya bahwa kartini adalah satu dari kaum feminis yang memperjuangkan kesetaraan, sebab dalam konsep emansipasi yang dibawanya hanya untuk memperjuangkan kebebasan dalam berpendidikan untuk dapat menjadi wanita yang berani, mandiri, hingga mampu membentuk generasi yang berbudi pekerti luhur dan berpengetahuan. Sebab, secara historis pun Kartini mengungkapkan bahwa sebelum kata emansipasi menjadi viral di masyarakat, ia sudah melangkahkan keberanian memperjuangkan hak-haknya.
Pengetahuan tak dapat dikonotasikan sebagai sebuah konsep yang hanya dapat ditemui dalam ruang-ruang formal, sebab secara harfiah pengetahuan diartikan sebagai hasil dari proses penggunaan panca indera dalam melihat dan memahami realitas yang ada. Hal ini dapat menjelaskan bahwa pengetahuan bersifat tidak terbatas sebab sebagaimana pepatah mengatakan jangan pernah berhenti belajar sebab Tuhan tidak akan pernah berhenti mengajar. Perempuan harus cerdas dan terlibat aktif dalam ruang-ruang diskusi agar pemahamannya tentang realitas yang ada dapat menjadi acuan dalam proses mendidik diri menjadi seorang pendidik yang baik di masa depan nanti.
Indonesia merupakan Negara yang heterogen, hingga sikap-sikap toleransi berdasarkan budaya dan agama harus senantiasa dijunjung tinggi. Budaya yang melekat disetiap wilayah Indonesia menjadi sebuah kekhasan tersendiri. perilaku masyarakat yang memperjuangkan nilai-nilai emansipasi yang diperjuangkan kartini tentu tak pernah lepas dan memiliki keterkaitan yang kuat dengan nilai-nilai budaya yang ada di Indonesia, termasuk kota makassar.
Lalu apa yang harus mulai kita bangun hari ini?
Kita harus mulai menganggap bahwa sadar tak sekadar bergerak dalam pikiran, tapi bergerak mengisi banyaknya ruang kosong dalam pikiran (re:akal) dengan nilai-nilai moral dan pengetahuan yang berorientasi pada upaya memanusiakan manusia. Membantu menanamkan nilai perjuangan emansipasi ala kartini harus dilakukan dengan terlibat aktif dalam dunia pendidikan, tidak menjadikan ruang belajar sebagai perilaku formal tak berhikmah, dan perilaku formal yang tak beradab. Berupaya jadi kritikus yang solutif hingga tak mencaci tapi memberi. Memerdekakan diri dengan tak merasa diri adalah kebenaran yang hakiki hingga nilai emosional pun dapat terjaga fitrahnya dari jiwa-jiwa binatang yang sering kali mengambil sesuatu yang bukan haknya. Kekhawatiran akan seksisme yang terus merebak bagi wanita akan punah sejalan dengan penanaman nilai saling menghargai, empati yang tinggi, pun nilai agama yang diimplementasikan sebagaimana mestinya. Sederhananya, dalam budaya bugis makassar kita mengenal Sipakainga’, sipakale’bi, dan sipakatau sebagai bentuk cinta kita terhadap kebahagiaan sesama makhluk yang di-ada-kan oleh sang Maha.
Per-Empu-an
Cinta tak hanya sekadar rasa
Ia menjelma memberi jasa
Tersemat padanya jiwa yang kaya
Meluas hingga merasuk semesta
Katanya, kasih sayang selalu ada padanya
Lemah lembut jadi alasan penindasan nya
Gerak tubuh jadi sorot memperdaya
Akankah itu benar adanya?
Rasionya jadi persoalan tak digunakan
Sebab hati tak lepas dari pandangan
Lalu apa yang salah dari perempuan?
Jika hati sungguh dianggap kebenaran
Mulailah perempuan jadi berani
Mengisi ruang yang katanya kosong dengan menari
Penuhinya tanpa distorsi yang mengelabui
Sebab hati dan rasio jadi satu terkendali
Akhirnya, seksime tak lagi jadi hasrat pribadi
Emansipasi pun semakin terealisasi
Harkat martabat per-Empu-an lahir kembali
Dan cinta merebak mekar bersemi
Oleh: Putri Aliqa Umayyah Ilustrasi: Pinterest Di sebuah rumah yang sederhana, terdapat seorang wanita yang…
Oleh: Muh. Cahyo Dherian Ilustrasi: Widya Juniaty Dikeramaian yang memekakkan telinga, terdapat seorang anak yang…
Tulisan : Muhammad Alfaridzi Foto : Muhammad Alfaridzi Kegiatan Basic Public Relations (PR) Class yang digelar di…
Penulis: Jessy Marty R. Loardi Editor: Satriulandari Foto : KIFO KOSMIK Basic PR Class kembali diadakan…
Penulis: Kayla Aulia Djibran Editor: Satriulandari Foto : KIFO KOSMIK Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Kosmik) melalui…
Oleh: Radian Dwi Imam Ar'rafi Ilustrasi: Summer Bloom Manhua Sejak hari pertama kita bertemu, kamu…