Teks oleh Sukma A
Gambar oleh balikpapan.prokal.co
Sutradara : Mouly Surya
Produser : Rama Adi, Fauzan Zidni
Pemeran : Marsha Timothy, Egi Fedly, Dea Panendra
Skenario : Mouly Surya, Rama Adi, Garin Nugroho
Durasi : 1 jam 32 menit
Tanggal Rilis : 16 November 2017
Film Marlina dari Mouly Surya ini mengangkat tentang feminisme yang ada di Sumba. Film ini memperlihatkan perlawanan dari seorang perempuan bernama Marlina yang tak mau disemena-menakan oleh para lelaki. Suatu hari di sebuah padang sabana Sumba, Indonesia, sekawanan tujuh perampok mendatangi rumah seorang janda bernama Marlina (Marsha Timothy). Mereka mengancam nyawa, harta, dan juga kehormatan Marlina di hadapan suaminya yang sudah berbentuk mumi duduk di pojok ruangan. Keesokan harinya dalam sebuah perjalanan demi mencari keadilan dan penebusan, Marlina membawa kepala dari bos perampok, Markus (Egi Fedly), yang ia penggal tadi malam. Marlina kemudian bertemu Novi (Dea Panendra), yang menunggu kelahiran bayinya, dan Franz (Yoga Pratama), yang menginginkan kepala Markus kembali. Markus yang tak berkepala juga berjalan menguntit Marlina.
Yang unik dari film ini adalah tidak seperti film biasanya, film ini menegaskan bahwa ada 4 babak yang langsung diperkenalkan kepada para penonton. Babak pertama menceritakan tentang konflik dasar dari film ini dimana Marlina membunuh 5 orang sekaligus dalam satu waktu. Babak kedua tentang perjalanan Marlina menuju kantor polisi. Babak ketiga tentang pengakuan atas apa yang terjadi padanya. Babak keempat adalah babak dua orang sahabat dari orang yang terbunuh ingin kembali menguasai Marlina.
Film ini direkomendasikan bagi kalian para pecinta sinematografi yang mencintai gambar lanskap, film ini mempunyai kualitas gambar yang tajam dan angle yang keren dalam memamerkan keindahan alam Sumba. Marsha Timothy yang berperan menjadi Marlina diharuskan menggunakan logat Sumba yang jika kita tonton, kita seolah-olah ada dalam daerah Sumba tersebut. Musik yang dijadikan backsound juga musik khas Sumba jadi mendukung background dari film ini, walaupun musiknya sangat minim.
Dari sisi penyutradaraannya, film ini bisa dikategorikan film pop karena mudah dicerna oleh penonton. Banyak babak-babak dalam film tersebut dikemas dengan baik. Seperti, pada awal cerita Markus melihat kuburan Topan, anak Marlina yang dilanjutkan dengan dialog antara Markus dan Marlina soal hutang untuk urusan kematian. Dengan cara seperti itu, penonton bisa tahu kalau Marlina memiliki hutang terhadap Markus yang sampai saat itu belum lunas. Mouly memunculkan adegan jenaka sesekali menjadi oase, walau sebenarnya turut bertugas menjadi catatan sosial tersendiri. Mouly dengan cermat memilih untuk tidak menghadirkan filmnya dalam atmosfer depresif berlebihan. Perpaduan pas antara ranah naturalistik dan hiperrealisme menjadikan pesan dalam Marlina menjadi lebih mudah dicerna tanpa harus kehilangan bobot atau dimensinya.
Yunus Pasolang, sang pengarah sinematografinya pun membungkus baik lanskap Sumba yang menurut saya memukau bagi siapapun yang melihat ditampilkan sangat baik di film ini. Hal itu menurut saya diakibatkan oleh long-take yang diukur secara pas, tidak berlebihan sehingga penonton dapat menikmati indahnya panorama Sumba tapi tak perlu lama-lama menunggu untuk adegan selanjutnya.
Film ini membuat saya membandingkan dengan film menegangkan yang lain, film ini sukses membuat penonton tegang tanpa harus menggunakan sound effect yang berlebihan. Opini saya, adegan-adegan pembunuhan yang dilakukan oleh Marlina itu juga mendukung suksesnya penonton menegang, karena seperti yang saya bilang tadi, film ini tak perlu memerlukan musik yang berlebihan. Dari film ini, saya dapat percaya bahwa banyak film-film ber-genre thriller atau horror tidak harus menggunakan musik yang menegangkan.
Akting para pemain menurut saya sangat mendukung dalam suksesnya film ini. Contohnya, Marsha aktingnya yang ekspresif dan emosional sehingga tidak terlihat membosankan. Didukung juga oleh Dea Panendra yang kental dengan logat Sumba-nya
Banyak nilai hidup yang bisa saya ambil dari film ini. Pertama nilai feminisme, nilai dasar yang ingin disampaikan dari film ini dimana Marlina berjuang atas haknya sebagai seorang perempuan tanpa kenal takut. Nilai kedua adalah kesetiakawanan dari kawannya Marlina yang bernama Novi dimana Novi ini tidak pernah egois terhadap dirinya dan rela berkorban meskipun sudah hamil. Yang sweet dari Marlina dan Novi adalah mereka tidak terlalu dekat namun pengorbanan mereka itu keren.
Masih banyak nilai yang terkandung dalam film ini, seperti kesetiaan Marlina terhadap suaminya yang telah meninggal, kepercayaan suami Novi atas Novi yang pecah dan proses hukum di Indonesia yang sangat lambat. Karena ini, saya baru sadar bahwa proses hukum di Indonesia sangat lambat apalagi untuk daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau.
The last but not the least dari saya, film ini saya sangat rekomendasikan buat kalian para pecinta film. Film ini banyak masuk dalam nominasi penghargaan dan festival film. Saran saya, bagi kalian perempuan yang ingin nonton, ajaklah saudara atau kerabat laki-lakimu agar mereka tahu kuatnya perjuangan seorang perempuan dan untuk laki-laki, ayo jangan sungkan-sungkan nonton film ini.
Oleh: Putri Aliqa Umayyah Ilustrasi: Pinterest Di sebuah rumah yang sederhana, terdapat seorang wanita yang…
Oleh: Muh. Cahyo Dherian Ilustrasi: Widya Juniaty Dikeramaian yang memekakkan telinga, terdapat seorang anak yang…
Tulisan : Muhammad Alfaridzi Foto : Muhammad Alfaridzi Kegiatan Basic Public Relations (PR) Class yang digelar di…
Penulis: Jessy Marty R. Loardi Editor: Satriulandari Foto : KIFO KOSMIK Basic PR Class kembali diadakan…
Penulis: Kayla Aulia Djibran Editor: Satriulandari Foto : KIFO KOSMIK Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Kosmik) melalui…