Teks oleh Assa Jauza
Foto oleh Kifo Kosmik/Farah Atika Dewi A.
Paradigma baru media “Audience change to user” membuat lapak informasi dapat dihasilkan oleh sumber dengan kredibilitas yang beragam. Di era digitalisasi ini, informasi bukan lagi berbicara dari institusi kepada khalayak, tetapi juga dari personal kepada khalayak.
Saat ini, konstruksi informasi diyakini banyak diimplementasikan oleh institusi media masa dengan tujuan tersendiri. Konstruksi informasi tidak lagi berputar di halaman institusi saja, namun siapapun memiliki kapabilitas untuk melakukannya. Terlepas dari adanya pemahaman teori framing yang dimiliki atau tidak. Keinginan untuk viral, sekadar iseng, ataupun mencari keuntungan bisa saja ikut mengiringi proses konstruksi informasi seseorang. Maka dari itu, pada era ini tantangan terbesar media yang didasari fenomena tersebut adalah hoaks.
Hoaks yang semakin menjadi, membuat pengguna media membuat metode-metode terntentu dalam mengantisipasi hal ini. Salah satunya adalah munculnya ungkapan “No Pict = Hoax” yang merupakan sebuah tuntutan foto sebagai pembuktian informasi yang tercantum di platform yang digunakan. Lalu bagaimana dengan radio yang hanya mengandalkan audio tanpa visual? Tentunya metode ini tidak bisa kita gunakan. Ataukah dalam dunia radio, hoaks tidak pernah terjadi?
Pada 14 Janurari 2016 silam, peristiwa bom Sarinah sempat menggemparkan negara ini. Pemberitaan di media membludak membahas tentang peristiwa tersebut, baik di stasiun TV maupun di penyiaran radio. Sayangnya, pada saat itu akurasi berita yang keliru banyak disiarkan oleh beberapa stasiun TV dan Radio. Salah satunya Radio Elshinta, yang didapati menyiarkan berita bahwa bom terjadi di beberapa tempat selain di kawasan Sarinah, Thamrin, yang pada faktanya, tidak benar sama sekali. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menilai Radio Elshinta telah melakukan pelanggaran prinsip jurnalistik yang telah diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3&SPS). Akibat dari hal tersebut, Radio Elshinta menerima sanksi administratif berupa teguran secara tertulis yang dikirim langsung oleh pihak KPI kepada stasiun radio tersebut.
Dari kasus di atas dapat kita lihat bahwa dalam media audio pun, ancaman hoaks masih tetap rawan. Meski saat ini jarang terdengar kasus seperti serupa, namun sebagai penikmat media, waspada dan skeptis harus dijadikan insting sebagai upaya preventif dalam mendeteksi hoaks. Lalu metode-metode apa yang harus dilakukan agar terhindar dari hoaks ini?
Biasanya dalam siaran radio, seorang narasumber memperkenalkan dan diperkenalkan oleh si penyiar. Pengenalan tersebut dapat kita jadikan sebagai fase verifikasi identitas yang pertama. Dalam radio, pengenalan suara dapat dimanfaatkan secara efektif karena seseorang cenderung mudah mengingat karakter suara. Pengenalan suara dapat menjadi sebuah metode yang efisien dalam mencegah hoaks.
Misalnya, untuk mengklarifikasi suatu peristiwa, stasiun radio memanggil saksi langsung untuk dijadikan narasumber. Verifikasi dari kebenaran informasi dan identitas narasumber dapat diketahui dengan jelas melalui wawancara pemberitaan media TV maupun lainnya yang menampilkan si narasumber secara fisik keseluruhan.
Melalui media lain, perbandingan konten informasi benar atau tidaknya dapat dilakukan. Pasalnya pemberitaan suatu peristiwa tidak hanya dilakukan oleh satu media saja tetapi juga di berbagai media. Disinilah kemampuan analisa kita dalam mencari korelasi, kecocokan, dan sinkronisasi antara berita yang satu dengan berita lainnya dapat dijadikan sebagai metode verifikasi konten. Jadi dalam proses verifikasi informasi tetap dibutuhkan pemberitaan dari media lain sebagai opsi pendukung dan pembanding.
Metode di atas juga berlaku surut untuk podcast. Proyek podcast kadang dilakukan secara mandiri maupun bersama narasumber. Yang harus kita cermati adalah konten informasi yang ada di dalamnya. Verifikasi dari akurasi informasi podcast dapat dilakukan dengan cara komparasi konten antara satu dan podcast lainnya. Contohnya, dalam Spotify jika kita mencari podcast dalam kategori tertentu, sumber yang muncul akan sangat banyak. Sumber-sumber tersebut dapat kita jadikan sebagai sebuah sarana komparasi yang akan mewadahi analisis kita terhadap akurasi dari konten podcast yang didengar.
Memperbanyak literasi dan analisis berpatok pada cover both side adalah langkah-langkah kecil yang perlu kita lakukan ketika mendengarkan radio maupun media lainnya. Tidak kaku pada satu sumber, tetapi gencar mencari sumber lainnya adalah hal-hal yang harus kita biasakan sebagai pengguna media untuk membentengi diri dari informasi hoaks. Menurut saya, inisiasi sosialisasi literasi media juga perlu dilakukan sebagai langkah besar karena pengetahuan masyarakat yang kurang mengenai literasi media adalah salah satu faktor mengapa hoaks masih mewabah di lingkungan sosial kita.
Oleh: Putri Aliqa Umayyah Ilustrasi: Pinterest Di sebuah rumah yang sederhana, terdapat seorang wanita yang…
Oleh: Muh. Cahyo Dherian Ilustrasi: Widya Juniaty Dikeramaian yang memekakkan telinga, terdapat seorang anak yang…
Tulisan : Muhammad Alfaridzi Foto : Muhammad Alfaridzi Kegiatan Basic Public Relations (PR) Class yang digelar di…
Penulis: Jessy Marty R. Loardi Editor: Satriulandari Foto : KIFO KOSMIK Basic PR Class kembali diadakan…
Penulis: Kayla Aulia Djibran Editor: Satriulandari Foto : KIFO KOSMIK Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Kosmik) melalui…