Beberapa waktu yang lalu akun twitter dan instagram BEM UI mengunggah untaian konten yang cukup menggigit.
“Jokowi kerap kali mengobral janji manisnya, tetapi realitanya sering kali juga tak selaras. Katanya begini, faktanya begitu. Mulai dari rindu didemo, revisi UU ITE, penguatan KPK, dan rentetan janji lainnya. Semua mengindikasikan bahwa perkataan yang dilontarkan tidak lebih dari sekadar bentuk “lip service” semata. Berhenti membual, rakyat sudah mual!”
(1) Twitter
Statement kontroversial? Cek! Berasal dari instansi ternama? Cek! Relevan dengan kondisi saat ini? Cek! Maka, secara tidak mengejutkan cuitan yang dilampirkan bersama ilustrasi kolase serta tangkapan layar teks yang mendukung argumentasi tersebut, mendapatkan banyak atensi di dunia maya yang memicu momen silat lidah antar masyarakat versus politisi dan jajaran buzzernya.
Sorak dukungan datang dari masyarakat yang suaranya terwakilkan. Mendukung penuh protes BEM UI berikut dengan dukungan solidaritas bagi ketua BEM UI, yang sempat mendapatkan ancaman dan peretasan.
Bukan pertarungan kalau tak ada lawan, ada pula entitas yang berusaha meredam sorak dukungan dengan membuat isu tandingan, meremehkan kualitas para mahasiswa BEM UI yang sayangnya, isu tandingan ini disponsori oleh yang ‘katanya’ juga dosen UI.
Di tengah persilatan lidah yang kian memanas, hanya the almighty presiden Jokowi sebagai politisi nomor wahid di republik ini, sekaligus sebagai tokoh yang diberi gelar The King of Lip Service yang dapat memberikan klimaks atas segala pergelutan yang sedang berlangsung.
Tentu saja, setelah ini Jokowi akan memberikan kejelasan atas segala rentetan kritik yang dilontarkan. Tak hanya dari BEM UI tapi seluruh lontaran kritik dari pihak lain dengan jawaban yang memuaskan, dan meminta maaf atas segala kegaduhan yang telah timbul sejak ia dilantik di periode kedua masa jabatannya demi kemaslahatan bersama.
Tibalah saatnya tanggapan presiden kebangaan kita semua mengemuka di jagat maya. Berlatar koridor Istana Merdeka, Jokowi berjalan ke arah mic dan ditanya tanggapannya soal kritikan BEM UI dan dengan vokal khasnya ia menjawab:
“Iya, itu kan sudah sejak lama ya. Dulu ada yang bilang saya ini klemar-klemer, ada yang bilang juga saya itu plonga-plongo, kemudian ganti lagi ada yang bilang saya ini otoriter, kemudian ada juga yang ngomong saya ini ‘bebek lumpuh’, dan baru-baru ini ada yang ngomong saya ini ‘Bapak Bipang’, dan terakhir ada yang yang menyampaikan mengenai ‘The King of Lip Service’.
Ya saya kira ini bentuk ekspresi mahasiswa dan ini negara demokrasi. Jadi, kritik itu boleh-boleh saja dan universitas tidak perlu menghalangi mahasiswa untuk berekspresi. Tapi juga ingat, kita ini memiliki budaya tata krama, memiliki budaya kesopansantunan. Ya saya kira biasa saja, mungkin mereka sedang belajar mengekspresikan pendapat. Tapi yang saat ini penting, ya kita semuanya memang bersama-sama fokus untuk penanganan pandemi Covid-19.”
Presiden Joko Widodo Menanggapi Kritikan yang Disampaikan oleh BEM UI – YouTube
Secara bahasa Red herring sendiri merupakan jenis olahan makanan berupa ikan kiper yang diasapi hingga seluruh sisanya berubah merah. Istilah red herring digunakan pertama kali oleh tokoh politik Inggris, William Cobbett pada tahun 1807. William menceritakan kisah waktu ia mengasapi ikan kiper hingga menimbulkan bau yang sangat menyengat, untuk mengelabui anjing jenis hound agar tidak mengejar kelinci peliharaannya.
Istilah red herring kemudian digunakan dalam berbagai literatur karya fiksi. Salah satu karya novel terpopuler yaitu, The Study in Scarlet yang ditulis oleh Arthur Conan Dyle pada tahun 1887.
The Study in Scarlet merupakan novel yang memunculkan sosok detektif Sherlock Holmes dan Dr.Watson untuk pertama kali. Novel tersebut bercerita tentang tokoh antagonis yang mengelabui kedua detektif untuk mencegah terungkapnya kasus pembunuhan. Pemeran antagonis tersebut menempatkan distraksi di posisi yang strategis agar sang detektif menghasilkan kesimpulan yang keliru. Trik ini kemudian dinamakan sebagai “The Art of Red Herring”.
Berasal dari literasi tekstual, trik red herring ini kemudian diadaptasi dalam berbagai praktik retorika. Sebuah trik untuk mengelabui lawan bicara atau publik dengan memberikan distraksi tentang hal yang berlainan dengan esensi pembicaraan di awal, agar lawan bicara atau publik tidak masuk ke ranah yang tidak diinginkan.
Dalam filsafat, red herring dikategorikan sebagai suatu kecacatan nalar (logical fallacy), berbeda dengan fallacy strawman yang mengubah arah argumen lawan, red herring merupakan sebuah trik yang memberikan premis baru sebagai umpan untuk mengecoh perhatian lawan. Dalam praktiknya, red herring dapat berhasil sebab umpan premis yang dihadirkan seringkali masuk akal dan sulit untuk terbantahkan.
Dari politisi, oleh politisi, untuk politisi itulah praktik red herring. Argumen reaksi Jokowi dapat kita bedah menjadi tiga bagian distraksi.
Pada bagian pertama, Jokowi menanggapi perihal istilah yang telah disematkan. Alih-alih menanggapi atau menepis kritikan “The King of Lip Service” dengan klarifikasi yang jelas, ia malah menghadirkan berbagai contoh istilah lain yang telah disematkan untuk dirinya. Jokowi berdalih, istilah tersebut sudah biasa baginya, sehingga patut untuk dirinya berkecil hati dan menerima.
Padahal, istilah “The King of Lip Service” bukanlah ungkapan kosong, melainkan akumulasi dan kesimpulan akhir dari berbagai kritikan oleh BEM UI berdasarkan kajian yang akademis dan telah dirilis di Dokumentasi Kajian BEM Se-UI – BEM UI.
Maka dari itu, istilah tersebut memiliki dasar akademis kuat yang telah melalui proses kajian oleh BEM UI. Karena itu, masyarakat khususnya pihak BEM UI berhak menerima respon yang jelas terhadap kritikan yang telah dilontarkan.
Dalam tanggapan bagian pertamanya, Jokowi menggunakan trik red herring dengan tujuan memicu publik untuk berempati pada Jokowi. Akibatnya, kritikan masyarakat yang menggunakan perantara istilah-istilah tersebut berubah menjadi sanjungan dan rasa kasihan oleh masyarakat.
Kejadian serupa pernah terjadi oleh mantan presiden SBY, kala itu SBY dihina oleh Taufik Kiemas dengan julukan ‘Jendral Kanak-kanak’, yang dengan hinaannya ini menaikkan elektabilitas SBY untuk naik jadi presiden selama dua periode. Cukup familiar bukan?
Kemudian, dalam tanggapannya bagian kedua Jokowi menghadirkan kembali distraksi untuk mengelabui publik. Kali ini ia menyinggung masalah etika demokrasi dalam menyampaikan kritik.
Mengenai distraksi kedua, etika berdemokrasi merupakan konsepsi yang begitu abstrak khususnya di Indonesia. Mulai dari pasal yang karet yang problematik hingga penegakan hukum yang selektif, membuat etika berdemokrasi tidak memiliki landasan yang kokoh.
Karena abstraksi etika demokrasi inilah yang membuat topik etika berdemokrasi merupakanm peluang strategis untuk mengalihkan pembicaraan. Dari yang awalnya menagih janji jokowi berbelok ke arah pembahasan etika dan moral dalam demokrasi yang juga sama-sama bermasalah.
Dalam distraksi ketiga, Jokowi memanfaatkan isu pandemi Covid-19. Ini merupakan distraksi yang begitu kokoh untuk dibantahkan. Situasi pandemi sangat genting dan tentu saja memerlukan perhatian ekstra. Akan tetapi, antara isu kesehatan, politik, sosial, ekonomi, keadilan, dan isu-isu lainnya, antara satu sama lain saling berkaitan dan tidak saling mengaburkan.
Seluruh isu yang ada merupakan isu yang sama-sama berkaitan tentang kemaslahatan masyarakat, maka dari itu sama pentingnya untuk diselesaikan. Lagipula pemerintah sudah memiliki fasilitas birokrasi yang komplit (walau berbelit), dan memiliki mekanismenya masing-masing dalam segala kebijakan politis yang diambil.
Sehingga, penanggulangan isu yang terjadi secara bersamaan adalah hal yang mudah jika para pemegang kekuasaan menghendaki dan berpihak pada suara rakyat. Lucunya lagi, justru dalam situasi pandemi inilah pemerintah banyak berulah yang melahirkan berbagai isu yang memicu kemarahan masyarakat (UU Ciptaker, Minerba, KPK, dan lain-lain).
Dalam distraksi yang ketiga, Jokowi menggunakan trik red herring dengan tujuan untuk mengalihkan pembicaraan mengenai kritikan spesifik untuk dirinya, yaitu menagih omongan Jokowi ke pembahasan isu yang sudah umum untuk dibicarakan. Lagi-lagi Jokowi berkamuflase menjadi sosok politisi yang lugu dan polos.
Ketiga bait argumen tersebut tak lain merupakan praktik retorika yang berusaha mengelabui publik untuk tidak membahas hal-hal yang berkaitan mengenai kebobrokan kekuasaan yang telah ada di depan mata.
Red herring seolah sudah menjadi tradisi retorika para politisi yang secara turun temurun telah dipraktikkan. Dari uraian di atas, kita telah mampu mengidentifikasi praktik ini dalam kontestasi politik maupun dalam keseharian.
Namun yang pasti, praktik red herring bisa saja digunakan oleh politisi dengan tidak sengaja karena kebodohan atau dilakukan dengan sengaja karena kelicikan. Jika dikaitkan oleh kisah William Cobbett yang mengelabui anjing untuk menyelamatkan kelincinya, maka kitalah anjing yang dikelabui demi menyelamatkan ‘kelinci’ kekuasaan.
Oleh : Satriulandari Foto : Dokumentasi Pribadi Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fisip Unhas raih juara tiga…
Oleh: Putri Aliqa Umayyah Ilustrasi: Pinterest Di sebuah rumah yang sederhana, terdapat seorang wanita yang…
Oleh: Muh. Cahyo Dherian Ilustrasi: Widya Juniaty Dikeramaian yang memekakkan telinga, terdapat seorang anak yang…
Tulisan : Muhammad Alfaridzi Foto : Muhammad Alfaridzi Kegiatan Basic Public Relations (PR) Class yang digelar di…
Penulis: Jessy Marty R. Loardi Editor: Satriulandari Foto : KIFO KOSMIK Basic PR Class kembali diadakan…