Teks oleh Amalia Fildzah Adhani
Sejak memproklamasikan diri sebagai negara merdeka, Indonesia telah mengalami segelintir permasalahan yang menyangkut integrasi. Toleransi dan keutuhan bangsa seolah menjadi hal mewah yang tak juga menemui titik terang. Gerakan separatis untuk memisahkan diri hingga aksi radikalisme atas nama agama silih berganti mewarnai tanah air.
Masyarakat seakan lupa terhadap satu falsafah hidup yang menyatukan mereka dan sejak bertahun-tahun lalu diperjuangkan para pahlawan. Sayangnya seiring perkembangan zaman, ideologi tersebut hanya terpajang bak formalitas.
Di tengah ancaman dari dalam negeri, perkembangan zaman di era modern dan globalisasi memberikan satu fakta baru bahwa arus informasi yang telah berubah menjadi many to many mengantarkan perputaran kepada banyak kemungkinan. Paham dan ideologi kapitalisme, liberalisme, pragmatisme, hedonisme masuk tanpa saringan ke dalam sendi-sendi kehidupan. Disadari atau tidak, mereka bisa saja menduduki satu dua aspek dalam setiap aktivitas dan keseharian kita.
Tidak perlu jauh-jauh, masih segar dalam ingatan pada Februari lalu bagaimana seorang biksu di Tanggerang dipaksa meninggalkan desa tempat tinggalnya karena kegiatan keagamaan yang ia lakukan diangap meresahkan warga yang memiliki keyakinan berbeda. Belum lagi serentetan aksi teror yang melanda negeri akhir-akhir ini sedikit banyaknya merupakan pergerakan kelompok-kelompok fundamentalis yang diam-diam sedang menginisiasi sebuah negara berlandaskan paham mayoritas.
Padahal sejak diresmikan tanggal 1 Juni 1945, Pancasila telah dirumuskan sedemikian rupa, digali dan diadaptasi dari kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakatnya. Ia lahir dari konsensus, bukan ciptaan pemerintah atau paksaan oknum-oknum tertentu.
Pancasila sejatinya hadir untuk menyatukan kemajemukan bangsa, perbedaan-perbedaan kompleks tak terhindarkan dalam kehidupan. Ia hadir untuk membantu negara menapaki satu zaman menuju zaman berikutnya. Mewakili seluruh nilai-nilai dasar seperti religiositas hingga persoalan yang menyangkut Hak Asasi Manusia.
Sebagai penggagas Pancasila, Soekarno sendiri pernah mengatakan, Pancasila baru akan menjadi realitas dengan “perjuangan, perjuangan dan sekali lagi perjuangan.” Perjuangan itu akan berlanjut terus dalam Indonesia merdeka sebagai sebuah bangsa (Soenardi, 1978).
Perjuangan yang menjadi tanggungjawab moral jiwa-jiwa yang mengaku Indonesia.