Teks oleh Nurul Izzah
Ilustrasi oleh Comgastra
Memulai tulisan tentang Indonesia, sudah terlalu sering kita baca tulisan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman. Terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, maka wajar sajalah dimana-mana terjadi perbedaan. Toh, bangsa kita memang kaya akan keanekaragaman.
Namun sayang, banyak yang tidak siap menerima perbedaan. Padahal, berteman adalah urusan penerimaan, bermasyarakat adalah urusan penerimaan, berbangsa adalah urusan penerimaan. Entah penerimaan untuk perbedaan sifat, penerimaan untuk perbedaan pendapat, penerimaan untuk perbedaan pilihan. Kenapa kita cenderung menuntut hal yang sama pada diri kita juga mesti ada pada orang lain? Makanya ajakan akan toleransi digaungkan dan tersebar dimana-mana. Indonesia kita, menang sangat kaya akan perbedaan bukan? Santailah.
Perbedaannya apa saja? Banyak. Mulai dari drama politik hingga persoalan yang sebenarnya tidak terlalu menarik.
Dari ranah politik misalnya, muncul perbedaan dari kubu #2019gantipresiden dengan kubu #2019tetapJokowi. Media nyaris penuh dengan polusi berita tentang ‘mahar’ Sandiaga Uno, intrik pemilihan Joko Widodo dengan plot twist-nya yang menggandeng Kyai Ma’ruf Amin alih-alih Mahfud MD. Untuk perbedaan ini sangat lumrah terjadi. Toh Indonesia negara demokrasi.
Kemudian masuk ke ranah yang sebenarnya tidak terlalu menarik, namun sering jadi perdebatan yang pelik. Potongan lirik lagu Aulion ft. SkinnyIndonesian24 & Vinnie di ON OFF FESTIVAL 2018 ini bisa jadi contoh, betapa sering kita berisik untuk hal-hal yang ‘cetek’.
Begini lirik lagunya. Makan pake tangan, makan pake sendok. Naik ojek online, naik ojek pangkalan. Nyebutnya “‘snapgram”, nyebutnya “instastory”. Belanja di alfamart atau indomart. Berkarya karena passion, berkarya karna duit. Feeds nya rapi banget, gak peduli sm feeds. Suka tripple kill (mobile legend) atau winner chicken dinner (pubg). Nonton bioskop atau nonton movie dot com.
Kumpulan perbedaan kebiasaan, perbedaan pandangan, perbedaan tradisi tak jarang jadi bahan pertikaian satu sama lain. Bahkan sempat terjadi perdebatan antara anak yang menamakan dirinya anak “Instagram” dan anak “Twitter”. Sibuk membandingkan mana yang lebih baik, mana yang lebih benar. Mungkin ada yang cuma ikut-ikutan, tapi sering kali ada yang jadi perdebatan panjang.
Karena banyaknya perbedaan, lalu muncullah perdebatan. Masalahnya banyak dari kita sekarang yang cenderung senang dengan kebiasaan menghujat satu sama lain di media sosial. Lebih keren dengan istilah “Cyberbulling”. Mengejek, menghina, mengintimidasi, mempermalukan pihak lain. Pelakunya pun sulit dilacak, karena rata-rata menggunakan akun palsu.
Tulisan ini bukan ingin membahas lebih dalam mengenai cyberbulling. Namun ingin mengajak untuk melihat sesuatu dari segi positifnya saja. Ada pepatah yang mengatakan bahwa ‘Nila setitik, rusak susu sebelanga’, kita selalu diingatkan bahwa satu tindakan buruk itu bisa merusak segalanya. Namun ada seorang kawan sering mengatakan, sejahat-jahatnya kita, pasti ada sisi banyaknya juga. Ayolah saling mengerti, biar langgeng. Belajar menerima perbedaan, belajar memaafkan, belajar mencintai. Karena cinta mengalahkan kebencian. Karena cinta dapat mempersatukan kita, Indonesia.
Jika cinta dapat ditebar kemana-mana kita akan sampai pada titik pengertian dan penerimaan. “Oh, dia emang kayak gitu anaknya”. Menerima, memaklumi setiap perbedaan, bukannya menghujat dan merasa diri paling benar. Kita adalah bangsa besar, banyak perubahan yang terjadi disekeliling jika melihat sesuatu dari sisi baiknya. Saling menebarkan kebaikan dan mengajak yang lain untuk ikut berpartisipasi.
Banyak sekali kebiasaan-kebiasan baik yang lebih patut untuk disebar. Misalnya kita yang beramai-ramai belajar bahasa isyarat untuk teman-teman tuli, mengkampanyekan hal-hal positif seperti gerakan tumpuk #tumpukditengah, #nostrawmovement, kampanye mendukung pemimpin idaman. Kan enak kalau semua yang dilihat adalah hal baik, bukan?
Jangan mudah membenci, jangan mudah iri, namun mudahkanlah mencintai. Saling mencintai untuk mempersatukan Indonesia, diusianya yang sudah tak muda lagi, tujuh puluh tiga. Merdeka!