Penulis: Irfan Ashar Pratama
Foto: Irfan Ashar Pratama
Mari tetap bersuka cita atas keberhasilan PSM Makassar yang baru saja meraih gelar juara Piala Indonesia. Penantian panjang tanpa gelar domestik akhirnya dibayar tuntas oleh tim Juku Eja. Semoga euforia juara tetap menjadi penyemangatmu dalam mengarungi laga-laga dan kompetisi selanjutnya. Ewako!
Sejatinya, sepakbola memiliki kaitan yang sangat erat dengan berbagai aspek kehidupan. Jika ingin melihat lebih luas, sepakbola tidak hanya permainan 11 melawan 11 dan tendang-tendangan bola selama 90 menit saja. Sepakbola adalah salah satu jenis olahraga yang erat kaitannya dengan aspek budaya, sosial, dan ekonomi.
PSM Makassar contohnya, klub yang mengedepankan semangat “Siri’ na pacce” yang mengedepankan sikap malu yang dikontekskan dengan semangat juang di atas lapangan, berusaha agar terhindar dari kekalahan pada saat berlaga beberapa tahun belakangan sedang naik daun di kancah persepakbolaan Indonesia. Diksi “Ewako” yang berarti berani menjadi pemantik semangat konsistensi PSM Makassar dalam mengarungi kompetisi. PSM kemudian semakin menguatkan statusnya sebagai salah satu tim dengan label favorit juara. Hal tersebut jelas berdampak pada animo masyarakat yang menjadi semakin antusias untuk terus mendukung PSM di setiap laganya. Fenomena tersebut merupakan balutan aspek budaya yang mempengaruhi gerakan dan semangat sosial yang sangat jelas terlihat.
Khusus untuk laga final kemarin, kejadian penundaan laga pada leg kedua juga menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan. Pembicaraan mengenai regulasi dan keputusan yang dikeluarkan oleh pihak PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia), kasus pelemparan bus yang menimpa pihak Persija Jakarta, bahkan proses pengamanan yang dilakukan oleh pihak kepolisian menjadi topik yang didiskusikan oleh kebanyakan orang.
Begitu juga dengan antusias yang ditunjukkan oleh suporter kedua tim, terutama suporter PSM Makassar. Rasa kecewa yang dirasakan akibat laga tunda ternyata tidak menyurutkan semangat para suporter untuk terus mendukung tim kebanggaannya. Stadion tampak tidak sepi usai penundaan laga kala itu. Stadion tetap sesak dan nyanyian serta yel-yel tetap tak surut. Penundaan laga bahkan menjadi diskursus bagi kebanyakan orang. Mereka kemudian membicarakan kondisi tersebut di warung kopi, tempat makan di pinggir jalan, bahkan kampus. Banyak membicarakan dan merasakan hal yang sama. Jelas, karena memori kolektif kebanyakan orang kemudian kembali tersatukan pasca momentum juara 19 tahun yang lalu.
Media sosial juga turut bersuara. Petisi online melalui change.org yang meminta dan memaksa sekretaris jendral PSSI untuk lengser dari posisinya telah ditanda tangani oleh sekitar 8.000 orang sehari setelah kejadian tersebut. Bahkan hingga hari ini telah ditanda tangani oleh lebih dari 15.000 orang. Jauh sebelum itu, propaganda berbau pembalasan atas kekalahan di leg pertama semakin gencar tersuarakan dengan tagline “Balas di Makassar!”. Begitu juga dengan ruas-ruas jalan kota Makassar, terdapat berbagai macam spanduk bertuliskan “Saatnya PSM Juara”. Tulisan-tulisan tersebut dibentangkan pada jembatan penyeberangan jalan, fly over, bahkan di antara pepohonan di pinggir jalan. Tentu saja, spanduk-spanduk tersebut merupakan upaya pembangkit antusias yang dilakukan oleh segelintir orang. Orang-orang yang memasangnya bermaksud untuk meningkatkan euforia juara yang telah menunggu di depan mata.
Beberapa contoh kasus tersebut merupakan collective action dan connective action. Gerakan yang dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat kemudian berdampak pada kelompok masyarakat yang lebih luas. Fenomena tersebut merupakan salah satu bentuk dukungan terhadap semangat yang sama, idealisme dan paham yang sama, walau setiap orang yang terlibat bahkan tidak saling mengenali antara satu dengan yang lain.
Dalam aspek ekonomi, kita tidak dapat memungkiri bahwa industri sepakbola juga telah menjurus pada persepakbolaan Indonesia. Kebanyakan klub di Indonesia telah berusaha mengatur perekonomiannya secara mandiri, begitu pula dengan PSM Makassar.
Penjualan jersey tim, merchandise, sponsorship, bahkan tiket untuk menonton langsung di stadion merupakan upaya-upaya manajemen untuk menghidupi klub. Harga jersey original yang bersikar Rp.250.000 – Rp.800.000 tidak lagi menjadi kendala bagi suporter fanatik yang mengejar atribut untuk mendukung tim kebanggaannya. Toko penjualan yang dibuka secara umum di stadion dan salah satu pusat perbelanjaan di kota Makassar tampak tidak sepi pengunjung. Apalagi, momentumnya sangat pas dan bertepatan dengan laga puncak.
Begitu juga dengan tiket. Harga tiket yang dipatok oleh panitia pelaksana bukanlah harga yang biasa dirilis pada laga-laga sebelumnya. Karena laga kemarin merupakan laga final, harga tiket pun bertambah. Naiknya harga tersebut bukan lagi menjadi alasan bagi kebanyakan masyarakat Kota Makassar. Pada jadwal awal leg kedua, tiket telah habis dalam waktu kurang dari 1 jam setelah dirilis dan diperjualkan untuk umum. Sungguh menandakan bahwa animo masyarakat sedang berada pada puncak-puncaknya.
Bayangkan betapa besar dampak yang dapat diberikan oleh olahraga ini. Tidak salah jika sepakbola sering dinyatakan sebagai olahraga pemersatu bangsa dan masyarakat. Namun, tantangannya kemudian adalah bagaimana kita memposisikan diri ketika diperhadapkan dengan intrik-intrik yang terjadi. Begitu juga dengan para pelaku sepakbola, sepakbola idealnya jauh dari kepentingan pribadi. Sepakbola merupakan kepemilikan bersama, sepakbola adalah olahraga sekaligus hiburan.
Sejatinya, ketika kita mendapatkan dampak positif dan menguntungkan bagi diri sendiri, maka rasa bahagia dan senanglah yang akan kita ekspresikan. Namun jika dampak negatif yang kemudian kita rasakan, maka sikap sensitif dan reaktiflah yang juga akan kita ekspresikan. Saya rasa, pertandingan final kemarin memberi banyak pengalaman dan pelajaran bagi kedua pihak, mungkin juga dengan pihak yang lain. Semoga ke depannya, masing-masing yang larut dalam euforia dapat dengan bijak menanggapi hal-hal terjadi.
Sekali lagi, terima kasih Persija Jakarta dan selamat untuk PSM Makassar.