Teks oleh M Rafly Purnama
Foto oleh Kifo Kosmik/Ayu Andira
Hari Sumpah Pemuda yang jatuh pada tanggal 28 oktober 1928 adalah hasil kerja keras pemuda dalam mewujudkan persatuan. Salah satu pemicu dari pembentukan persatuan pemuda ini adalah lahirnya organisasi yang menampung orang-orang dengan kerasahan yang sama. Seperti Budi Oetomo, Tri Koro Dharmo atau Jong Java, dan masih banyak lagi. Organisasi ini menjadi wadah untuk pemuda yang resah akan penjajahan yang terjadi.
Persatuan yang diraih pemuda saat itu sangatlah sulit sebab rasa ego kedaerahan masih melekat dengan kental. Namun para pemuda yang terhimpun dari beberapan organisasi tersebut lantas menurunkan ego kedaerahannya untuk mempersatukan perjuangan. Kongrespun diadakan sebanyak dua kali dan barulah kongres yang kedua melahirkan sumpah pemuda itu sendiri.
Perjuangan dalam mencapai Hari Sumpah Pemuda ini juga berperan dalam meraih kemerdekaan negara. Peran pemuda lantas nampak secara riil untuk kemerdekaan saat para pemuda menculik Bung Karno dan Bung Hatta. Para golongan muda mendesak secara cepat proklamasi kemerdekaan. Penculikan itu didasarkan pada argumentasi para pemuda yang memanfaatkan keadaan saat melemahnya penjajahan. Namun argumentasi ini bertolak belakang dengan golongan tua yang beranggapan bahwa Indonesia belum siap merdeka, belum ada ideologi, dan konstitusinya. Akhirnya para pemuda bergerak cepat dengan mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk memproklamirkan kemerdekaan.
Pergerakan pemuda terus aktif tidak hanya saat pra kemerdekaan dan kemerdekaan saja. Kita bisa melihat kebelakang bagaimana sejarah menuliskan dengan rapi catatan pergerakan dan perjuangan pemuda untuk memberangus ketidakadilan. Seperti yang terjadi pasca kemerdekaan atau zaman orde lama. Lagi-lagi peran pemuda – yakni mahasiswa pada saat itu – berhasil mengendus ketidakadilan yang terjadi. Seperti banyaknya tindakan Korupsi Kolusi dan Nepotimes (KKN) yang dimainkan oleh anggota kabinet. Masih banyak program pemerintah yang tidak berjalan lancar dan berujung pada kerugian untuk rakyat. Selain itu, negara belum berhasil menguasai Irian Barat, dan pemerintah masih menggunakan politik diplomasi yang menekankan perundingan dengan para penjajah daripada harus mengangkat senjata. Dari pengendusan ketidakadilan yang dihirup oleh hidung para pemuda inilah maka terjadi revolusi yang menumbangkan rezim orde lama.
Munculnya orde baru kemudian membawa begitu banyak harapan dan cita-cita terhadap keadilan untuk rakyat. Namun setelah 32 tahun berjalan, orde baru masih sama saja. Ketidakadilanpun bangun dari tidurnya. Mulai dari keotoriteran pemimpin dan masih banyak kritikan-kritikan atas ketidakadilan lainnya. Menanggapi hal tersebut, pemuda tidak hanya tinggal diam.
Perjuangan pergerakan pemuda kemudian masih berlanjut hingga zaman reformasi. Para pemuda saat ini tidak hanya tinggal diam melihat kebijakan pemerintah yang dinilai partikularisme, yaitu adanya kepentingan golongan tertentu yang diutamakan dari kepentingan umum. Sebab hal ini tentu akan merugikan rakyat. Merekapun dengan serentak menggelar aksi demonstrasi di beberapa titik wilayah. Hal ini adalah bentuk persatuan pemuda yang peduli akan negara. Namun aksi para pemuda ini dijawab dengan tindakan yang bersifat represif. Para pemuda yang membawa jutaan argumentasi justru dijawab dengan sentimen. Harusnya pemerintah membuka telinga akan hal ini dan meyakini bahwa keadaan politik itu tidak bersifat statis tapi dinamis. Sedang elemen penggerak kedinamisan politik adalah para pemuda itu sendiri.
Melakukan kilas balik terhadap pergerakan pemuda sejak dirumuskan dan diikrarkannya sumpah pada 28 Oktober 1928 menunjukkan wujud eksistensi dari sumpah pemuda itu sendiri. Semua yang memiliki substansi agar para mahasiswa mempersatukan perjuangannya untuk menindak segala bentuk penjajahan. Teranglah sudah bahwasanya eksistensi sumpah pemuda itu masih terus hidup sampai sekarang. Para pemuda masih peduli dengan keadilan yang harus ditegakkan. Mereka terus memperjuangkan segala bentuk emansipasi dalam menjunjung kemerdekaan.