Ren dan Junzi, Memahami Makna Kehidupan dalam Konfusianisme

0
2584

Teks oleh: M. Rafly Purnama

Foto oleh: Kifo Kosmik/Lisdayanti

Konfusius atau sapaan akrabnya Master Kong adalah tokoh sejarah budaya Cina yang menarik untuk dipahami secara mendalam. Pemikirannya yang begitu luar biasa sangat berpengaruh terhadap sistem kehidupan masyarakat pada zamannya. Guru sekaligus filsuf yang gemar dengan budaya tradisional Cina ini mengembangkan sebuah filosofi yang menekankan kasih sayang dan rasa hormat di semua lapisan masyarakat. Ia juga turut memajukan pendidikan dengan berpendapat pentingnya hal tersebut sebagai wadah untuk mengembangkan dan menumbuhkan moralitas pada setiap diri manusia.

Sebagaimana manusia yang selalu berusaha mencari makna, alangkah baiknya memahami dan mengambil sesuatu yang positif dari tokoh berpengaruh ini. Salah satu pemikirannya yang dapat diteladani adalah ren dan junzi. Kredibilitas akan pemikiran ren dan junzi itu tertuang dalam sebuah teks terkenal The Analects.

Konsep ren dalam ajaran Konfusius menjelaskan ren (忍) yaitu cinta kasih secara luas. Salah satu sikap orang berbudi yang diyakini Konfusius dan pengikutnya ini digambarkan sebagai perhatian mendalam dan tulus demi kesejahteraan orang lain. Atau dapat juga diistilahkan memiliki kebajikan. Baginya kualitas akan rasa kemanusiaan dan kasih sayang bukan hanya dalam bermasyarakat saja tetapi kualitas akan kebahagiaan individu juga.

Konfusius meyakini, untuk mencapai konsep kebajikan maka tidak ada lagi sesuatu yang diletakkan di atas ren. Pernyataan yang sangat filosofis ini bermakna siapapun yang ingin mempunyai kebajikan maka diri sendiri bukanlah sebagai fokus perhatiannya saja. Lebih dari itu, dia harus memberi dan mencurahkan segalanya pada sesama manusia.

Lantas timbul pertanyaan mengapa kita harus pentingkan orang lain ketimbang diri kita yang masih mempunyai masalah? Mengapa kita harus memberi? Memberi segalanya ke orang lain? Mengorbankan diri kita untuk orang lain?

Pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan muncul apabila kita mengetahui ren secara sempurna. Akan ada pemisahan konsep antara memberi perhatian dan ketulusan demi orang lain dan mengorbankan secara cuma-cuma akan diri kita kepada orang lain. Kata “memberi” dijelaskan sebagai sebuah ekspresi atau ungkapan akan potensi tertinggi dalam diri. Artinya apabila ada sebuah potensi yang dimiliki maka itu harus dicurahkan bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga harus dimanfaatkan sebagai kesejahteraan orang lain. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kualitas akan kebahagiaan diri.

Menurut Konfusius, untuk menerapkan ren pada diri kita maka salah satu cara paling efektif dan penting yaitu belajar li dengan hati-hati. Li (礼) yang secara harfiah adalah kesusilaan dapat dimaknai sebagai suatu tata cara atau kesopanan. Li diterapkan pada tindakan sosial sehari-hari, misalnya melayani orang yang lebih tua dengan kesopanan dan menganggap hal tersebut sebagai tata cara atau bentuk sikap yang penting. Apakah seorang anak yang lebih muda hanya menawarkan jasa mereka terhadap pekerjaan yang sudah seharusnya dilakukan dapat dikatakan sebuah kebaktian kepada orang yang lebih tua? Apabila seorang anak membiarkan orang tua mereka makan dan minum hanya ketika ada makanan dan minuman saja dapat dikatan sebuah kebaktian kepada orang yang lebih tua? Ataukah semua ini dilakukan hanya sekadar memenuhi kewajiban saja?

Dari semua itu, ada hal yang jauh lebih penting, yaitu melakukannya karena tindakan cinta. Bukan hanya sebagai kewajiban. Jadi li di sini berarti sebuah tindakan tulus yang diberikan tanpa keterikatan akan kewajiban saja. Konfusius mengatakan semakin sering orang melatih diri untuk mendapatkan kualitas ini (li) maka semakin banyak (rasa welas asih) yang hadir dalam moral seseorang untuk mencapai ren dalam kehidupannya.

Selanjutnya adalah junzi. Konsep junzi merupakan tingkatan moral dan spritual tertinggi yang bisa dicapai manusia. Atau dengan kata lain menjadi manusia unggul. Dalam teks The Analects, konsep ini digambarkan seperti halnya seorang pria sejati menggunakan keadilan sebagai dasar tindakannya. Menggunakan keadilan itu sesuai tata cara, menguraikannya dengan kesederhanaan, dan melalui keyakinan yang baik. Seorang pria sejati bangga terhadap dirinya sendiri namun tidak bersifat narsis, berprinsip namun tidak kaku dan juga tidak mengenal rasa takut. Konfusius memberitahu kepada muridnya bahwa hal yang paling diidamkan seorang pria adalah pangkat dan kekayaan. Namun sang guru menekankan kepada muridnya bahwa integritas lebih penting daripada itu.

Seorang dengan konsep junzi mengartikan kekayaan sejati sebagai keberhasilan penanaman nilai dan karakter diri dengan mengikuti jalan moralitas dan kasih sayang. Selain itu, individu yang memiliki prinsip junzi lebih mementingkan orang lain melampaui kebutuhannya. Menurutnya apa yang ingin dicapai akan kembali pada dirinya sendiri. Itulah resep dari tumbuhnya kebaikan. Dari itu pula seorang junzi harus menjaga dirinya dari tiga hal yang berbahaya. Pertama, seorang pria sejati harus waspada dari nafsu birahi ketika masih muda karena energi dalam dirinya masih kacau. Kedua, ketika dewasa dia harus waspada dengan amarah karena energi darahnya sudah penuh. Terakhir dia harus waspada dengan keserakahan ketika tua karena energi darahnya semakin berkurang. Dari semua hal itu seorang dengan prinsip junzi harus menguasai dan mengolahnya. Dia harus menjadi teladan bagi sekitarnya dengan pengendalian, yaitu melalui pengembangan karakter sehingga mampu mencapai martabat tertentu. Dari pengembangan karakter itu dia akan menyebarkan kedamaian bukan hanya untuk sekitarnya namun juga kepada semua orang.

Referensi:

McArthur, Meher. 2019. Konfusisus Kisah Hidup dan Pemikirannya. Yogyakarta: Basabasi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here