Penulis: Vivi Asjuhamdayani | Ilustrasi: Ayu Andira
Gadis berambut ukuran sebahu itu memasuki ruangan dan mendekati seseorang yang sedang duduk menikmati segelas es jeruk. “Meggy kamu udah gila yah?” bentak gadis itu. “Ada apa?” tanya Meggy bingung. “Aku tau kamu ceroboh, tapi kali ini kamu benar-benar enggak bisa diampuni,” gadis itu hampir saja melayangkan pukulan. “Ada apa? Aku salah apa lagi?” Meggy mulai merasa kesal. “Kemarin kamu salah wawancara orang kan?” “Enggak kok, aku udah benar wawancara pemenang lomba padus itu,” Meggy membela diri. “Kamu yakin?” gadis itu menunjukkan sebuah pesan di ponselnya kepada Meggy.
Ketika membaca pesan itu, Meggy teringat apa yang telah terjadi satu minggu yang lalu. Setelah rapat redaksi, tanpa berpikir panjang, dengan bermodalkan nomor ponsel yang diberikan pemimpin redaksinya, ia langsung menghubungi calon narasumbernya melalui whatsapp. Namun bukan Meggy jika tidak ceroboh, setelah mengatur jadwal pertemuan, dia tidak lagi memikirkan hal lain termasuk memeriksa identitas narasumbernya dengan teliti. Ia hanya berfokus pada apa yang akan ditanyakan besok pada narasumbernya.
Keesokan harinya ia menuju ke taman kampus untuk wawancara. Drtt drtt.. sebuah notifikasi masuk, namun belum sempat membukanya tiba-tiba, “Permisi, Meggy yah?” seorang pria dari belakang bangku taman tiba-tiba muncul. Meggy berbalik, “Iya saya,” ucapnya itu dengan nada datar. “Ternyata benar kamu Meggy,” kata pria itu. “Maaf anda… ooo Fajar yah? Yang dari UKM paduan suara?” tanya Meggy. “Ternyata benar-benar kamu, saya minta maaf membuatmu menunggu lama, kamu kemana saja baru muncul?” pria itu sangat antusias. “Maaf tapi apa kita pernah ketemu sebelum ini?” tanya Meggy heran. “Meggy, saya Fajar Hermawan,” jawab pria itu semakin antusias. “Iya, kakak yang bersedia saya wawancara kan?” raut wajah Meggy semakin bingung. “Iya, saya yang juara dua tingkat dunia di Afrika kemarin,” pria itu menyombongkan dirinya. “Iya saya tahu kak, makanya saya mau wawancara kakak, tapi.. kakak kenal saya?” jelas Meggy dengan wajah yang masih bingung. “Belum, ini baru mau kenalan,” pria itu tersenyum lebar.
“Kamu serius mau saya wawancara orang itu?” tanya Meggy pada seseorang di telepon. “Dia kayaknya abnormal deh,” timpal Meggy lagi. “Jangan bicara sembarangan, dia itu yang paling keren dan banyak penggemarnya diantara semua anak padus,” jawab orang itu. “Dia baru datang tiba-tiba gayanya sok akrab begitu, terus dia senyum-senyum sendiri lagi, kamu enggak salah kasih orang kan?” Meggy mulai risau. “Enggaklah dia yang anak padus, Fajar Hermawan, ganteng, lumayan keren juga. Udah! aku masih banyak kerjaan, kututup yah, Assalamualaikum,” orang itu menutup telepon. “Walaikum salam, apa hubungannya coba tampangnya sama isi kepalanya, ganteng? Apanya! Emang rusak matanya dasar pemred resek, untung kamu temanku,” gumam Meggy.
“Maaf yah kak, tadi pemimpin redaksi saya menelpon,” Meggy memberi alasan pada pria yang mengaku Fajar itu. “Enggak masalah, oh iya bisa kita mulai? Saya ada latihan setelah ini.” Meggy terdiam. “Meggy, bisa dimulai?” pria itu bertanya lagi namun Meggy masih diam. “Meggy,” pria itu menggerakkan tangannya di depan wajah Meggy. “Astaga, maaf kak kenapa?” Meggy kaget. “Bisa dimulai?” tanya pria itu sekali lagi. “Iya kak kita mulai.”
“Terima kasih kak atas waktunya, semoga kita bisa kerja sama lagi,” ucap Meggy sambil bersalaman dengan pria itu. “Sama-sama, sering-sering yah seperti ini,” pria itu menunjukkan sebuah dompet dan ponsel. “Itu seperti dompet sama HP saya,” Meggy meraba kantong celananya dan memeriksa tasnya. “Terima kasih,” ucap pria itu lalu berlari. “Hei.. tunggu dompetku, HP ku,” teriak Meggy lalu berlari mengejar pria itu. “Sial,” teriak Meggy ketika melihat pria itu sudah di atas motor.
Meggy kembali ke taman untuk mengambil tasnya, sambil menyeka air matanya. “Meggy yah?” tanya seorang pria yang duduk di samping tas Meggy. “Kenapa? Kamu Fajar Hermawan juga? Anggota padus? Menang juga kemarin di Afrika?” bentak Meggy. Pria itu terdiam. “Kamu temannya yang tadi yah? Oh saya tahu ini trik pencuri yang baru, sok akrab tapi ternyata ada maunya, begini yah saya sudah enggak punya apa-apa. HP, dompet sudah diambil temanmu,” Meggy meninggikan nada bicaranya. “Maaf tapi saya memang Fajar, yang mau wawancara untuk koran kampus,” akhirnya pria itu membuka suara. “Tadi juga dia bilang begitu,” ucapnya lalu kemudian duduk di samping pria itu karena kelelahan setelah berlari dengan kaki dan berlari dengan mulut.
“Ini kartu mahasiswa saya,” setelah Meggy tenang, pria itu memberikan kartu kepada Meggy. “Ini kartu tanda anggota padus saya, dan ini foto-foto saya waktu di Afrika,” pria itu sampai memperlihatkan ponselnya kepada Meggy. “Saya enggak tahu masalah kamu, tapi ucapanmu tadi cukup menyakiti hati saya, saya memang Fajar dan saya datang karena menerima pesan dari kamu untuk wawancara,“ jelas pria itu. Meggy terdiam mendengar semua ucapan dari Fajar yang sebenarnya.
“Kenapa kamu bisa berpikir kalau orang itu adalah saya? Kamu enggak cari tahu?” tanya Fajar. “Dia terdengar sangat meyakinkan waktu saya tanya apakah dia Fajar, bahkan dia tahu soal juara di Afrika, dan dia juga tahu nama saya,” jawab Meggy. “Jelas dia tahu nama kamu,” Fajar menunjuk kartu identitas Meggy. “Kamu juga langsung menyebut dia Fajar, padahal dia belum memperkenalkan dirinya, dan soal dia tahu juara di Afrika? Memangnya di sini siapa yang enggak tahu itu,” jelas Fajar dengan sangat rapi. Meggy menunduk, dia sangat menyesal dan membenarkan semua ucapan Fajar.
“Mau wawancara sekarang?” tanya Fajar membuat Meggy terbangun dari lamunannya. “Memangnya kamu masih mau?” tanya Meggy karena tak percaya. “Itu kan memang tujuanku ke sini,” jawab Fajar. “Iya iya,” jawab Meggy dan mereka memulai wawancara. “Terima kasih ya sudah meluangkan waktunya, kak,” ucap Meggy dan tertahan karena tidak tahu harus memanggilnya dengan sebutan apa. “Fajar saja. Kita seangkatan,” jawab Fajar. “Kok kamu tahu?” tanya Meggy heran. “Itu,” Fajar menunjuk kartu identitas Meggy lagi dan membuat Meggy tersenyum.
“Maaf juga ya soal tadi sudah menuduh,” ucap Meggy sedikit ragu. “Enggak masalah, lain kali konfirmasi dulu, dan saya sebenarnya enggak terlambat, justru saya datang cepat,” tutur Fajar sambil sedikit tertawa. “Hah? Jelas-jelas kita janjian jam tiga dan kamu terlambat, gara-gara kamu juga saya kecopetan,” ketus Meggy. “Coba cek pesanmu!” perintah Fajar. “Ini sudah benar kok jam tiga” jawab Meggy. Fajar menunjukkan ponselnya dan menandai tulisan ’03.00 am.’ “Lain kali tulis saja li..ma be..las nol.. nol,” Fajar mengeja ucapannya lalu pergi meninggalkan Meggy. “Hei tunggu,” teriak Meggy. Fajar menghentikan langkahnya, “Kenapa lagi?” tanya Fajar. “Bisa jelasin bedanya am sama pm?” pertanyaan Meggy membuat Fajar tertawa. “Nanti kalau ketemu lagi, aku kasi tau.”
“Meggy,” gadis itu membangunkan Meggy dari lamunannya. “Aku minta maaf waktu itu enggak cek dulu identitasnya baik-baik,” Meggy mengakui kesalahannya. “Untung Cuma HP sama dompetmu yang diambil, coba kalau kamu yang diculik,” gadis itu mulai merendahkan nada bicaranya. “Jangan ngomong gitu,” protes Meggy. “Coba kamu cek emailku, disitu sudah ada biodata sama fotonya Fajar.” “Serius? Ada fotonya? Tau gitu aku enggak bakal salah mengira copet itu Fajar,” gumam Meggy. “Dasar ceroboh, udah pernah kotorin baju narasumber pake es jeruk, salah topik pertanyaan, ini lagi salah kira narasumber, besok apa lagi?” “Janji deh bakal lebih teliti,” kata Meggy sambil menaikkan 2 jarinya. “Oh iya Meg, lima belas nol nol maksudnya apa? Kata Fajar Cuma kamu yang tau,” ucapnya penasaran. Meggy tidak menjawab, ia hanya tersenyum dengan pertanyaan yang dilontarkan pemrednya itu.