Oleh: Putriana/ Ilustrasi: Indonesia Kaya
Bagi umat Islam, Nabi Muhammad saw, merupakan panutan dalam menjalani kehidupan. Tidak mengherankan jika hari kelahiran Nabi Muhammad saw. menjadi momen yang ditunggu-tunggu setiap tahunnya. Bahkan peringatan yang jatuh pada 12 Rabiul Awal tiap tahunnya ini menjadi momen yang sangat berharga dalam rangka membangkitkan semangat Islam sebagaimana pada zaman kepemimpinan Rasulullah.
Peringatan hari lahir Nabi Muhammad ini juga menjadi bentuk kecintaan luar biasa terhadap sosoknya yang agung nan mulia, sosok yang namanya selalu disandingkan dengan asma Allah SWT. Dengan begitu, peringatan yang yang biasa kita kenal dengan istilah ‘Maulid Nabi’ dan lebih singkatnya kita sebut ‘Maulid’ ini semarak dirayakan di seluruh belahan dunia, utamanya di Indonesia.
Pasalnya Indonesia merupakan negara yang menyandang gelar sebagai pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Ditambah lagi dengan ragam adat istiadat yang dimiliki, Indonesia berhasil menghadirkan semangat ke-Islaman yang diharmonisasi dengan nilai-nilai serta kearifan lokal masing-masing daerah.
Semangat kebangkitan Islam menyatu dan melekat dengan kekayaan lokal yang senantiasa memukau pandangan kita. Kehadirannya yang merepresentasikan makna dari serangkaian acara peringatan itu selalu menyentuh alam berpikir kita akan momen yang sarat akan makna ini. Satu diantara keragaman acara peringatan tersebut adalah Maudu Lompoa.
Maudu Lompoa merupakan serangkaian acara peringatan hari lahir Nabi Muhammad saw. yang dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Takalar, yang berjarak sekitar empat puluh lima kilometer dari Tanah Daeng, Makassar. Takalar yang biasa kita kenal Butta Panrannuangku atau tanah yang membawa kebahagiaan, tanah yang eksotik dengan budayanya termasuk Maudu Lompoa.
Syaikh Jalaluddin Pengusung Maudu Lompoa
Ada banyak sumber yang menjelaskan sejarah perkembangan Maudu Lompoa di tengah-tengah masyarakat Takalar. Salah-satunya adalah Karaeng Sila, pemuka adat di Desa Cikoang. Menurutnya, Maudu Lompoa pertama kali dikenalkan oleh seorang petuah dari Aceh, Syaikh Jalaluddin. Syaikh Jalaluddin berlayar hingga ke Desa Cikoang kemudian menikahi seorang anak Raja Gowa yang ia temui di Banjar bernama Daeng I Acara Tamami.
Syaikh Jalaluddin lalu memutuskan menetap di kampung halaman istrinya bersama dengan ketiga anaknya. Setiap harinya, ia mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat setempat. Ia juga menanamkan jiwa-jiwa yang bersyukur pada diri masyarakat Cikoang dengan membaca Al-Qur’an dilengkapi sajian-sajian dalam rangka mempererat tali persaudaraan.
Karaeng Opu, salah seorang pemuka adat yang lain menambahkan, pada hari kelahiran Nabi Muhammad saw. Syaikh Jalaluddin bersama masyarakat setempat berbondong-bondong mengumpulkan satu gantang beras, satu ekor ayam, satu buah kelapa, dan satu butir telur untuk pelaksanaan tradisi. Prosesi acaranya pun diusung dengan meriah sehingga tidak heran jika warga yang merantau menyempatkan pulang kampung untuk ikut serta memeriahkan Maudu Lompoa.
Adapun acara inti dari Maudu Lompoa ditandai dengan berkumpulnya warga di bawah pohon asam di Desa Cikoang lengkap dengan sajian kaddo minyak (ketan), dengan lauk ayam goreng. Selanjutnya akan dilakukan pembacaan Kitab Barzanji dan pembacaan ayat suci Al- Qur’an. Berkat perayaan ini hari kelahiran Nabi Muhammad Saw. setiap tahunnya menjadi momen kebangkitan jiwa Islam bagi masyarakat Cikoang.
Beberapa saat kemudian Syaikh Jalaluddin kembali berlayar meninggalkan Cikoang. Meski begitu, Maudu Lompoa tetap rutin dilakukan oleh masyarakat setiap tahunnya. Hingga saat ini, Maudu Lompoa selalu menjadi momen yang ditunggu-tunggu warga Cikoang dan masih terjaga tanpa mengalami pergeseran akibat zaman yang semakin modern.
Makna Ritual Maudu Lompoa
Prosesi Maudu Lompoa dipenuhi dengan ritual dan atribut yang sarat akan makna. Setiap bagian dari prosesi tersebut mewakili banyak nilai yang melekat dalam nafas peradaban di Desa Cikoang. Bagi warga Cikoang, Maudu Lompoa tidak hanya diartikan sebagai kebudayaan, tapi lebih daripada itu Maudu Lompoa dimaksudkan sebagai ritual bernyawa yang merepresentasikan empat nilai utama dalam Islam.
Empat nilai itu yakni Syariat (nilai ajaran agama islam), Tarikat (nilai persatuan), Hakikat (nilai batin yang diterima akal pikiran), dan Makrifat (nilai ilmu yang didapat dari kehendak Tuhan). Maudu Lompoa ini berlangsung sekitar dua bulan lamanya dan dilakukan secara berangsur-angsur, dimulai dari Mandi Safar. Mandi Safar ini diyakini menjadi prosesi mensucikan diri sebelum memasuki bulan kelahiran nabi.
Setelah itu, para wanita yang suci dari hadas membersihkan gabah dan memisahkan beras dan kulitnya, sebelum akhir ditumbuk halus menjadi tepung bahan kue sajian. Tidak hanya itu, mereka juga akan membuat minyak kelapa untuk digunakan menggoreng ayam saat acara inti nanti. Peringatan Maudu Lompoa juga dilengkapi dengan berbagai sajian yang mewakili makna tertentu.
Sajian-sajian tersebut antara lain, ayam, telur, bakul, julung-julung (perahu), sombala (kain hiasan berwarna-warni), serta bacaan zikir dan wirid yakni ratib. Menurut Karaeng Sila, ayam diartikan pengingat waktu salat dan mewakili nilai tarikat. Satu buah kelapa yang kaya manfaat mewakili nilai hakikat, telur mengartikan kehidupan yang tidak terduga dan mewakili nilai makrifat.
Adapun bakul dari anyaman diartikan sebagai batah tubuh dan mewakili nilai persatuan, julung-julung diartikan sebagai hidup yang tidak selalu lurus. Sombala berwarna warni mengartikan seluruh masyarakat tanpa memandang strata sosial, dan pembacaan ratib yang dimaksudkan untuk menghormati para nabi.
Tiap inci dalam prosesi Maudu Lompoa ini juga mencirikan karakteristik masyarakat Cikoang. Masyarakat Cikoang yang menjunjung tinggi nilai gotong royong, tenggang rasa, ulet, cerdas, dan sangat mengedepankan nilai-nilai persatuan. Nilai-nilai kearifan lokal masih sangat tertanam dalam diri setiap masyarakat Cikoang. Maudu Lompoa merupakan warisan yang sangat berharga yang wajib kita lestarikan dan banggakan.
Sumber: Skripsi Nur Yani Alifat berjudul Makna Penghargaan dalam Ritual Maudu Lompoa di Desa Cikoang, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar.