Foto: Zaris Riza
Di sebuah masjid yang sepi, aku menyaksikan peristiwa kecil. Seorang bocah laki-laki berusia sekitar 7 tahun sedang menangis tersedu-sedu dengan raut wajah penuh kebingungan. Aku mencoba mendekatinya dan bertanya dengan lembut, “Dik, ada apa? Kenapa menangis?”
Bocah itu pun mengangkat wajahnya yang berurai air mata. “Se-sepeda saya hi-hilang.” Jawabnya.
“Oh, sepedamu hilang? Memangnya dimana kamu parkirkan sepedamu?” Tanyaku lagi.
Dengan suara terputus-putus, dia menceritakan bahwa sepedanya ia tinggalkan di sekitar halaman masjid untuk pergi salat, namun ketika keluar selesai salat, sepedanya sudah tidak ada lagi. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak berani pulang sebelum menemukan sepedanya tersebut karena takut akan hukuman dari sang Ayah.
Aku sedikit dibuat terkejut dengan kejadian ini. Bagaimana tidak, masjid yang terletak di komplek perumahan yang dihuni oleh orang-orang berada, kok bisa-bisanya terjadi kasus pencurian?
Daripada hanya menyayangkan kejadian tersebut, aku putuskan untuk membantu mencari sepedanya yang hilang. Aku menjongkokkan diri dan menepuk pundaknya, “Ya sudah jangan menangis lagi, mari kita cari sepedamu bersama-sama”.
Kami berdua berkeliling sekitar komplek, menanyakan kepada orang-orang yang ada di sekitar, dan mencari petunjuk keberadaan sepeda tersebut. Namun, tidak kunjung ada titik terang.
Langit mulai berubah warna menjadi jingga. Burung-burung mulai kembali ke sarangnya. Aku pun mengajak bocah itu berjalan pulang ke tempat tinggalku terlebih dahulu.
Sesampainya di rumah, bocah itu tiba-tiba berteriak, “Wah, itu dia sepedaku!”
“Oh, itukah sepedamu? Alhamdulillah sudah ketemu.” Ucapku kepada bocah itu.
“Iya, terima kasih banyak sudah membantu mencarikannya!” Ujarnya sambil tersenyum riang.
Dengan rasa lega, bocah itu pun mengayuh sepedanya untuk pulang ke kediamannya.
Oleh: Muhammad Alfaridzi