Berharap Esok Lebih Baik

0
5

Tulisan Oleh : Muhammad Alfaridzi

Ilustrasi Oleh : Pinterest

Di usia baru menginjak dua belas tahun, aku tahu tak banyak yang bisa kulakukan. Ayah sudah lama tiada, dan kini, ibu yang selama ini menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga, terpaksa mendekam di balik jeruji karena tindakan pendisiplinannya di sekolah, justru menjeratnya dalam kasus hukum.

Dengan ibu tak lagi ada di sisi, hidupku dan adikku yang masih berusia tujuh tahun menjadi terkatung-katung. Kami sempat tinggal bersama salah seorang saudara dari ibu, namun kehangatan sama sekali tak ada. Mereka mengurus kami dengan penuh perhitungan, seolah kehadiran kami tidak sepenuhnya diterima dengan ikhlas.

Suatu pagi, saat mereka pergi berbelanja, aku bersimpuh menggenggam tangan mungil adikku. “Dek, kita pergi ya. Kakak yakin, kita bisa cari tempat yang lebih baik,” bisikku padanya dengan berhadapan muka. Dia menatapku sejenak, mungkin bingung, tapi kemudian ia mengangguk pelan.

Langkah kaki kami menjauh dari rumah itu, tanpa memegang uang sepeser pun. Perutku yang belum terisi, mulai melilit lapar. Dan aku tahu, adikku pasti merasakan hal yang sama. “Dek, ikut kakak cari botol atau gelas plastik ya, biar kita bisa jual buat beli sarapan,” ajakku.

Hasil dari jerih payah kami pagi itu hanya cukup untuk membeli dua potong roti. Memang sedikit, tapi setidaknya bisa mengganjal perut. Selama setengah hari, kami berkelana tanpa arah, mencari sudut teduh yang sesuai untuk bernaung.

Malam pun datang, disertai hujan yang mengguyur dengan derasnya. Pakaian basah kuyup, tubuh kami mulai menggigil, dan rasa lapar mendera kembali. Adikku, yang sejak tadi berusaha kuat, akhirnya tak kuasa lagi menahan diri. “Kak, adek lapar. Adek udah gak tahan lagi, perut adek sakit” gumamnya pelan, bibirnya bergetar. Kata-katanya tersebut menggugah rasa sesak di dadaku.

Aku memeluknya, mengusap lembut kepalanya. Air mataku mengalir membaur dengan butiran hujan. “Yaudah, dek. Kita coba cari warung makan ya. Siapa tahu ada yang mau kasih kita makan” hanya itu yang bisa kukatakan. Dengan langkah gontai, aku menggendongnya mencari warung makan terdekat.

Kami kemudian menemukan sebuah warung makan. Aku pun memberanikan diri untuk mendekati pemiliknya, “Pak, bolehkah kami minta makan sedikit saja? Adik saya belum makan nasi dari pagi, cukup untuk adik saya saja juga gak apa Pak” pintaku dengan memelas. Alih-alih merespons dengan baik, bapak itu justru membentak. “Tidak ada makanan untuk kalian. Basah-basahan begini, ganggu saja orang yang lagi makan. Pergi sana!”

Aku lantas beranjak pergi. “Maaf ya dek, Kakak belum bisa kasih makan. Jangan marah sama bapak yang tadi ya, itu haknya beliau kok. Kita coba cari tempat lain lagi, ya” ucapku dengan suara lirih sambil memaksakan senyuman.

Hujan yang belum kunjung reda, alunan bunyinya mengiringi gemuruh perut yang keroncongan. Dengan penuh harap, kami memanjatkan doa kepada Sang Razzaq. Memohon semoga ada hal-hal baik yang datangnya belakangan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here