Belajar Melihat dengan Si Buta Kecil, Muhammed

0
1400

Teks oleh Aziziah Diah Aprilya

Gambar oleh kritikanstvo.ur/wordpress.com

 

 

Judul : The Color of Paradise
Tanggal rilis : 9 Februari 1999
Sutradara : Majid Majidi
Durasi : 90 Menit
Pemeran : Hossein Mahjoub, Mohsen Ramezani, Salameh Feyzi, dll

Saya ingat hubungan saya dan ayah saya bukanlah hubungan yang bisa dikatakan “relationship goals” kalau memacu pada standar ideal orang-orang di social media sekarang. Walaupun saya sama sekali tidak memiliki foto selfie berdua dengan beliau, tapi saya tahu kami saling menyayangi. Dia sering mengingatkan buku-buku yang harus saya baca dan saya memberitahunya buku apa yang sedang saya baca. Saya bahagia dengan cara mencintai seperti ini.

Hubungan orang tua dan anak mungkin memang bukan hubungan yang bisa didefinisikan begitu saja atau dicap sebagai “relationship goals”. Entah bagaimana bisa menjelaskan hubungan Nabi Ibrahim dan anaknya, Nabi Ismail. Pengorbanan yang dilakukan Nabi Ibrahim ketika diperintahkan untuk menyembelih anaknya sendiri yang sangat dia cintai. Tapi dengan cinta itu pula, Tuhan menggantinya menjadi domba.

Mungkin hubungan ayah dan anak itulah yang coba diceritakan oleh Majid Majidi dalam The Color of Paradise. Lebih jauh lagi mungkin hubungan manusia dengan manusia lainnya yang berasal dari satu pencipta. Sebuah film yang membuat kita ikut merasa dekat sekali dengan sesuatu yang kadang jauh, yang kadang kita sendiri mungkin buta untuk melihatnya, yaitu rasa syukur.

Mohammed digambarkan sebagai seorang anak kecil yang cerdas, peduli, dan penuh kasih sayang kepada keluarganya, walaupun dia seorang tuna netra. Sedangkan ayahnya digambarkan sebagai seseorang yang tidak bisa melihat kasih sayang itu. Mohammed memang tidak bisa melihat secara fisik, tapi dia “melihat” rasa syukur itu. Sedangkan ayahnya yang mampu melihat secara fisik justru tidak bisa “melihat” kebahagiaan di depannya.

Adegan ketika Mohammed menyelamatkan bayi burung yang jatuh dari sangkarnya di atas pohon dan dengan meraba dia lalu memanjat untuk mengembalikan bayi burung itu ke sangkar adalah cara Majid untuk memberitahukan bahwa Mohammed juga “melihat”. Sedangkan Majid menggambarkan karakter ayahnya dengan penuh makna, ketika dia berkaca di tepi sungai untuk bercukur lalu tanpa sengaja kaca itu jatuh dan dia melihat refleksi dirinya di pecahan-pecahan kaca itu.

Ayah Mohammed mungkin adalah tokoh yang akan paling tidak kita sukai , tapi dia adalah satu-satunya tokoh yang mengalami transformasi di film ini. Majid memberikan kesempatan itu kepada Ayah Mohammed untuk ikut menyadari betapa berharganya Mohammed dan keluarganya, walaupun hal tersebut digambarkan di akhir film. Majid menutup filmnya dengan hubungan cinta ayah dan anak, Walau saya yakin Ayah Mohammed juga mencintai anaknya dari awal tapi dia hanya tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya.

Majid Majidi tidak sedang membuat film yang menceramahi penontonnya, tapi dia mengingatkan kita atas pesan-pesan sederhana dengan gambar-gambarnya yang indah dan tidak “ribut”. Close up tangan yang sering sekali ditunjukkan di film ini selain memperlihatkan tuna netra yang sangat memanfaatkan indra perabanya, juga membawa pesan yang telah disampaikan oleh Mohammad sendiri dengan sangat indah.

Our teacher says that God loves the blind more
because they can’t see.
But I told him if it was so,
He would not make us blind
so that we can’t see Him.
He answered
“God is not visible.
He is everywhere.
You can feel Him.
You see Him through your fingertips.”
Now I reach out everywhere for God
till the day my hands touch Him
and tell Him everything,
even all the secrets in my heart.”

The Color of Paradise mungkin hanya menyampaikan beberapa pesan sederhana, pesan yang memiliki nilai universal untuk semua manusia di bumi ini. Tapi pesan itulah mungkin yang terpenting.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here