Teks oleh Agustina Zakaria
Ilustrasi oleh Gradien Kosmik
Jika mendengar istilah sampah, yang terlintas di benak kita pasti adalah limbah atau barang yang tidak diinginkan. Secara harfiah, sampah sendiri merupakan sisa proses produksi manusia yang tidak digunakan lagi. Salah satu jenis sampah yang paling sering ditemukan di sekitar kita adalah plastik. Mulai dari peralatan makan dan minum, alat tulis kantor, perlengkapan rumah tangga dan masih banyak lagi. Hal ini membuat plastik tidak bisa lepas dari penggunan dalam kehidupan sehari-hari. Namun dibalik kemudahan yang ditawarkannya itu, plastik membutuhkan waktu yang lama untuk terurai.
Dikutip dari CNN Indonesia, kantong plastik biasa membutuhkan waktu 10 sampai 12 tahun untuk terurai. Dibanding kantong plastik, botol plastik membutuhkan waktu lebih lama lagi karena polimernya kompleks dan tebal. Botol plastik sendiri membutuhkan waktu 20 tahun untuk hancur. Selain itu, salah satu jenis plastik lainnya yakni polistirena atau yang akrab dikenal dengan nama stirofoam, membutuhkan waktu 500 tahun untuk bisa hancur sempurna.
Plastik memang sedang menjadi isu hangat yang diperbincangkan akhir-akhir ini. Terlebih ketika November 2018 lalu, ditemukan seekor paus mati terdampar di perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Para peneliti menemukan sampah plastik seberat 5,9 kilogram di dalam perut bangkai paus dengan panjang 9,5 meter tersebut. Dugaan sementara, penyebab kematian paus itu karena sampah plastik. Sebab, sampah plastik tak bisa dicerna oleh perut paus. Hal ini menjadi bukti nyata dari dampak buruk penggunaan plastik. Kasus di Wakatobi ini hanyalah salah satu contoh dari sejumlah peristiwa pencemaran akibat sampah plastik di lautan.
Penggunaan plastik yang terus meningkat setiap tahunnya tanpa diimbangi proses pengolahan yang baik menjadikan plastik salah satu momok dalam permasalahan lingkungan. Jumlah yang dihasilkan setiap tahunnya tidak sebanding dengan upaya daur ulangnya. Menurut data yang diperoleh dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS), sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton setiap tahun di mana sebanyak 3,2 juta ton merupakan sampah plastik yang dibuang ke laut.
Selain itu, berdasarkan studi yang dirilis oleh McKinsey and Co. dan Ocean Conservancy, Indonesia menjadi negara penghasil sampah plastik nomor dua di Asia setelah Cina. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia masih sangat boros dalam penggunaan plastik.
Berangkat dari permasalahan itu, berbagai usahapun digalakkan. Mulai dari recycle atau mendaur ulang sampah plastik. Hingga upaya-upaya dalam rangka mengurangi penggunannya. Misalnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti telah memberlakukan aturan tegas di kantornya soal penggunaan benda-benda yang terbuat dari plastik. Bahkan, ia telah menerapkan denda sebesar Rp500.000,00 bagi semua pegawainya yang membawa air mineral dalam botol plastik.
Contoh nyata dan sederhana yang dilakukan oleh Menteri Susi di kantornya ini juga bisa diterapkan oleh siapa saja dalam kehidupan sehari-hari. Seperti mulai berhenti menggunakan kantong plastik saat berbelanja dan menggantinya dengan tas jinjing. Sedotan plastik dapat digantikan dengan sedotan dari bahan aluminium atau bambu. Dan masih banyak lagi wujud alternatif barang kebutuhan sehari-hari lainnya yang dapat dipakai berulang kali.
Upaya secara sadar ini sesungguhnya adalah bentuk-bentuk proses bijak yang lahir dari diri sendiri pertanggungjawaban terhadap inovasi yang diciptakan dan akibatnya terhadap bumi. Sebab bumi adalah rumah kita semua, sudah sepatutnya kita bertanggung jawab menjaganya.