Teks oleh Ilvi Nurul Izzah
Foto oleh Kifo Kosmik/Aldo Chresna Pramana Anau
Media sosial merupakan media online yang sangat marak menjadi perbincangan belakangan ini. Sebuah media yang memudahkan penggunanya berpartisipasi dan berbagi informasi secara virtual. Dengan media ini kita dapat mengakses informasi, pengetahuan, dapat menjalankan bisnis, dan berkomunikasi. Bukan hanya itu, produk dari perkembangan teknologi ini memberi kemungkinan baru untuk manusia mendapatkan validasi dari orang lain bahkan dari orang yang tidak dikenal.
Sebagai manusia, kita tentunya membutuhkan validasi untuk dapat berarti. Meski banyak yang mengatakan validasi diri sendiri adalah hal terpenting, namun kita tidak dapat menafikkan bahwa validasi dari orang lain adalah hal yang sangat berpengaruh dalam kepercayaan diri seseorang.
Saat ini media sosial banyak digunakan sebagai sarana perlombaan dalam mencari validasi. Validasi atau kebutuhan untuk diakui oleh orang-orang menjadi tujuan nomor satu dalam mempertahankan keberadaan dalam hidup. Dulu, manusia juga melakukan pencarian validasi dengan cara lain, seperti meraih prestasi, membuat ambisi besar dan aktif dalam bidang kemanusiaan. Namun, kini validasi sudah dapat diraih dengan menembus ruang dan waktu lewat media sosial hanya dengan mengumpulkan likes, comments, dan views.
Sayangnya, kemudahan dalam mencari validasi di media ini dapat menjadi bumerang bagi kita. Jika unggahan kita tidak mendapatkan like ataupun comment dari orang lain, maka kita akan segera berfikir bahwa orang lain sudah tidak menyukai kita atau merasa bahwa diri kita tidak lagi berarti. Hal ini membuat kita merasa terbebani dan tertekan dengan tidak adanya like dan comment di unggahan kita. Begitu juga sebaliknya, jika kita mendapatkan like yang cukup banyak di postingan, maka kita merasa lebih percaya diri mengingat banyak orang yang menyukainya.
Narsisme merupakan salah satu cara pencarian validasi di media sosial. “Hubungan dengan media sosial dan smartphone melepaskan dopamine (rangsangan saraf). Itulah mengapa saat kamu mendapatkan pesan, kamu akan merasa puas,” jelas Simon Sinek, seorang TED speaker dan penulis terkenal. Studi Harvard tahun 2012 juga melaporkan, membicarakan tentang diri sendiri melalui media sosial mengaktifkan sensasi kenikmatan di otak terkait dengan makanan, uang dan seks.
Sensasi kenikmatan tersebut sangat adiktif, orang-orang berlomba mendapatkan “pengakuan” satu sama lain. Membuat unggahan sebagus mungkin dengan berbagi cara adalah upaya yang dilakukan orang banyak agar dapat “diakui” keberadaannya. Sering kali orang memeriksa kembali unggahan yang telah mereka buat lebih dari lima kali dalam sehari, membayangkan reaksi orang lain terhadap unggahan miliknya dan menghapusnya jika tidak mendapatkan like yang banyak.
Masalah lain yang tidak kalah mengganggu adalah kita mulai membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Ketika teman menggunggah status atau foto tentang betapa bahagianya hidup mereka, secara tidak sadar kita mulai membandingkan situasi kita saat ini dengannya. Hal inilah yang terkadang dapat membuat kita merasa depresi. Para peneliti di Universitas Pennsylvania merancang sebuah studi yang memusatkan perhatian pada Facebook, Snapchat, dan Instagram. “Setiap orang lebih keren, lebih sering bersenang-senang dan ini membuat anda merasa ditinggalkan dan terkucilkan,” ujar Hunt, salah satu peneliti. “Secara umum, saya ingin mengatakan, lupakan telepon anda dan habiskan lebih banyak waktu dengan orang-orang,” lanjutnya.
Ini tentu mengkhawatirkan. Semua pengguna media sosial seolah-olah membutuhkan validasi saat mengunggah apapun tentang dirinya. Mendapatkan perhatian khalayak memang merupakan hal yang adiktif namun dapat merusak. Tanyakan pada diri sendiri ketika ingin mengunggah sesuatu, sebab terlalu banyak mengekspos semua kegiatan justru akan mengurangi privasi yang seharusnya kita miliki.
Media sosial merupakan keajaiban teknologi yang dapat memudahkan manusia dalam berbagai hal, namun segala sesuatu pasti memiliki dampak buruk apabila digunakan secara berlebihan. Terlebih jika hanya digunakan untuk mencari validasi lewat media online, alih-alih mendapatkan “pengakuan” dari orang lain, ini dapat menjadi bumerang untuk mental kita.
Untuk itu, mulai lah berpikir ke depan dalam menggunakan media sosial. Mungkin kita membutuhkan waktu agar rehat sejenak dari media sosial dan melakukan pencarian validasi tanpa perlu menyebarkan privasi diri ke khalayak. Kita juga dapat memulai dengan menggunakan media sosial sesuai porsi kebutuhan, dan membangun kepercayaan diri dalam berinteraksi di dunia nyata untuk mendapatkan “pengakuan” dari orang-orang di sekeliling kita.