Penulis : Muhammad Alfaridzi
Sebenarnya Aku berasal dari keluarga yang luar biasa. aku merupakan anak pertama yang memiliki tiga orang adik. Sedari kecil, aku menyadari bahwa akulah satu-satunya harapan keluarga. Meski latar belakang pendidikan orang tuaku rendah, mereka mampu membesarkan kami berempat dengan penghasilan mereka yang seadanya. Karena masalah kemiskinan yang dialami, maka satu-satunya hal yang bisa keluarga sombongkan adalah diriku.
Akulah satu-satunya yang bisa orang tuaku sombongkan dikala orang-orang hendak memandang rendah keberadaan kami. Aku pula yang menjadi harapan mereka untuk bisa mengeluarkan keluarga ini dari kemiskinan. Aku mengemban mimpi dan ekspektasi berat dari orang tuaku. Kalimat “anakku pasti akan menjadi hebat suatu hari nanti”, terpanjat menjadi tantangan besar untukku. Harapan yang berlebihan seperti itu memang sudah sewajarnya didambakan setiap orangtua di dunia ini.
Ekspektasi orang tuaku semakin lama semakin bertumbuh seiring dengan prestasi yang kuraih. Namun, tibalah saat dimana sebentar lagi aku akan menghadapi seleksi ketat untuk masuk ke Perguruan Tinggi Negeri. Rasa khawatir, cemas, bimbang, panik, ketar-ketir, dan semacamnya menghantui pikiranku. Hampir setiap malam ku mengurung diri dalam kamar, belajar sambil selalu merenung dan nethink tak berujung.
Bukan tanpa alasan aku senantiasa berperilaku demikian. Pesaing untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) jauh berbeda levelnya dari seleksi sebelum-sebelumnya telah kujalani. Saat seleksi masuk sekolah menengah yang kuhadapi adalah anak-anak sepantaranku dan berada dalam radius satu kecamatan. Sedangkan, seleksi masuk PTN Aku sudah harus bersaing dengan pelajar dari berbagai wilayah di Indonesia. Saingan yang akan kuhadapi adalah lulusan-lulusan yang juga berasal dari sekolah menengah atas unggulan dan pastinya sudah tersaring memiliki kecerdasan intelektual tinggi. Adapun pelajar-pelajar gapyear yang sudah mengetahui gambaran soal seleksinya, anak-anak dari keluarga biasa yang berambisi super kuat untuk bisa mengangkat derajat kedua orang tuanya. Belum lagi anak-anak orang kaya yang sudah difasilitasi guru-guru les terbaik dan buku-buku mahal sehingga bisa menyokong wawasan mereka untuk seleksi masuk. “Arghh! Aku pasti takkan bisa menyaingi mereka! Mustahil aku bisa mengejar mereka! Bemanami ini di’, awwa matemija!”. Begitulah pikirku kala itu.
Begitu tiba hari pengumuman peserta-peserta seleksi yang lolos, kesempatan emas datang menghampiriku. Terdapat namaku yang dinyatakan lolos seleksi. Senang bukan kepalang, aku berhasil lulus di Universitas Hasanuddin, prodi Ilmu Komunikasi. Kampus berpredikat unggul, salah satu yang terbaik se-Indonesia. Dosen-dosen berpengalaman, jurusan yang diimpi-impikan banyak pelajar, dan lingkungan yang luar biasa. Bisa mendapatkan hal seperti ini rasanya semuanya berjalan sempurna! Nikmat Tuhan mana lagi yang mau kudustakan? Kini muncul hal-hal yang membuatku semakin termotivasi, yang perlu kulakukan hanyalah terus melangkah maju mengejar tanggung jawabku.
Di tempat ini, aku menyadari sesuatu yang penting. Anak memang sumber rezeki orang tua dan akan menjadi pedang bermata dua bagi mereka. Meskipun semakin jauh melangkah, semakin berat tantangan dan semakin melelahkan pula jalan yang disusuri, tiada jalan untuk kembali. Aku sudah sejauh ini, aku tidak boleh berhenti sekarang. Aku harus tetap melanjutkannya hingga aku mencapai garis akhir. Jangan sampai kubiarkan diriku serupa dengan orang-orang yang pernah membuatku putus asa. Aku juga punya kesadaran sebagai seorang anak, apabila aku sampai menelantarkan tanggung jawabku karena meladeni egoku, itu malah terkesan membuatku melupakan jasa kedua orang tua yang berusaha semaksimal mungkin agar aku hidup berkecukupan dan tidak kekurangan apapun. Lagipula, kita tidak akan tau bagaimana masa depan akan bergeser karena suatu perubahan. Aku ingin percaya kalau di masa depan ada banyak hal yang menunggu.
Kosmik 22