Teks oleh Wilda Yanti Salam dan Chaeriyah Rafidah
Gambar oleh kuliahkomunikasi.blogspot.com
Dalam buku berjudul Radio Goes to War; The Cultural Politics of Propaganda During World War II yang ditulis oleh Gerd Horten, Ia mengatakan bahwa pada awal dekade 1940an radio telah menjadi sumber berita utama. Di Indonesia, radio konvensional telah eksis semenjak Belanda masih berkuasa sampai kemudian Jepang menggantikannya. Selain sebagai media penyebaran informasi dan media hiburan, para penjajah kala itu juga menjadikan radio konvensional sebagai alat propaganda dan kontrol politik.
Rosihan Anwar dalam karyanya berjudul Mengenang Sjahrir: Seorang Tokoh Perjuang Kemerdekaan Yang Tersisihkan dan Terlupakan, dikatakan bahwa pada saat Indonesia masih dijajah oleh Jepang, Sutan Sjahrir mendengar di radio miliknya bahwa Jepang telah kalah pada perang dunia II. Ia segera pergi memberitahu Soekarno dan Hatta karena pada saat itu mereka telah diberi janji bahwa Jepang akan memberikan kemerdekaan untuk Indonesia. Melalui informasi itulah Sjahrir mengatakan: lupakan janji Jepang, karena Jepang sendiri sudah keok, dan segeralah nyatakan kemerdekaan tanpa embel-embel Jepang. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa radio pernah menjadi sumber informasi utama kala itu.
Di era digital saat ini, sudah tersedia berbagai media alternatif yang membuat orang-orang tidak lagi memilih radio konvensional sebagai sumber informasi utama. Contohnya, dengan kehadiran berbagai portal berita yang menyediakan berbagai informasi yang mudah diakses lewat gawai atau perangkat yang kita miliki. Selain itu, para pembaca juga diberi kesempatan untuk memilih informasi yang ingin mereka ketahui. Berbeda dengan radio konvensional yang tidak memberikan kesempatan itu.
Selain itu, radio sangat identik dengan musik. Saat ini telah tersedia berbagai radio streaming online dan aplikasi musik seperti Joox dan Spotify yang menyediakan pilihan lagu dari berbagai genre dan musisi dari berbagai negara yang membuat kita bebas memilih lagu apa yang ingin kita dengarkan. Berbeda dengan saat kita mendengarkan musik lewat radio konvensional.
Lantas, dari beberapa contoh media alternatif tersebut apa yang menjadikan radio konvensional tetap eksis hingga saat ini? Walaupun menurut survei yang diadakan oleh AC. Nielsen pada tahun 2014 terjadi penurunan jumlah pendengar radio konvensional hingga 3% pertahun, penurunan jumlah ini mengindikasikan bahwa eksistensi radio konvensional semakin tergerus di era digital ini.
Wahyudi Abu Bakar, seorang praktisi dan akademisi media di Makassar memandang bahwa memang saat ini sudah banyak media-media alternatif seperti radio streaming. Tapi radio konvensional akan tetap berkembang karena radio konvensional memiliki nilai lokalitas yang tetap dijaga, lokalitas yang dimaksud adalah radio konvensional memiliki segmentasi masyarakat tertentu dengan menyajikan berbagai informasi terkait dengan nilai-nilai lokal ataupun yang terkait dengan berita setempat. Berbeda dengan aplikasi-aplikasi musik atau portal-portal berita yang menyajikan hal-hal yang segmentasinya masyarakat global ataupun masyarakat secara umum.
Selain itu, radio punya keunikan tersendiri. Radio mampu memikat hati pendengarnya dengan cara-cara yang kreatif, mengajak pendengarnya saling berinteraksi. Contohnya pendengar radio bisa menelpon langsung announcernya untuk merequest lagu yang ingin dia dengarkan, menyapa pendengar lainnya atau bahkan berbagi pengalaman.
Wahyudi Abu Bakar juga berpendapat bahwa dibandingkan dengan televisi, radio pun lebih mampu mengintervensi pendengarnya dengan menciptakan emosi tersendiri. Contohnya, saat kita sedang mengendarai mobil seorang diri, sambil mendengarkan musik di radio, kita tidak akan merasa sendirian karena announcernya akan menceritakan latar belakang lagu tersebut disertai dengan candaanya.
Selain itu, tantangan utama radio konvensional terletak pada konten-konten yang hanya disajikan dalam bentuk audio. Maka dari itu, radio konvensional harus memiliki target, segmentasi, dan posisi yang jelas. Orang-orang yang mengoperasikan radio-radio konvensional ini juga harus peka dan mengetahui perkembangan keinginan dan kebutuhan para pendengarnya. Dengan kata lain, mereka harus mengetahui perkembangan denyut nadi para pendengarnya. Oleh karena itu, industri radio khususnya radio konvensional harus menciptakan relasi yang baik dengan lembaga pendidikan karena orang-orang dari lembaga pendidikan inilah yang kelak akan bekerja di industri radio dan yang akan menjaga eksistensi radio.
Terakhir, Pada momentum peringatan Hari Radio Republik Indonesia (RRI) yang ke 72 tahun, RRI sebagai bagian dari radio Indonesia bisa menjadi sebuah radio yang amat diminati. Mengingat RRI adalah satu-satunya radio yang didanai oleh pemerintah, itu artinya RRI memiliki tanggung jawab yang lebih kepada masyarakat Indonesia. Selain itu, Wahyudi Abu Bakar juga berharap, kedepannya radio-radio konvensional tetap bisa eksis dengan terus mempertahankan lokalitas sembari terus beinovasi untuk bisa menjadi media yang diminati masyarakat.
Oleh : Satriulandari Foto : Dokumentasi Pribadi Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fisip Unhas raih juara tiga…
Oleh: Putri Aliqa Umayyah Ilustrasi: Pinterest Di sebuah rumah yang sederhana, terdapat seorang wanita yang…
Oleh: Muh. Cahyo Dherian Ilustrasi: Widya Juniaty Dikeramaian yang memekakkan telinga, terdapat seorang anak yang…
Tulisan : Muhammad Alfaridzi Foto : Muhammad Alfaridzi Kegiatan Basic Public Relations (PR) Class yang digelar di…
Penulis: Jessy Marty R. Loardi Editor: Satriulandari Foto : KIFO KOSMIK Basic PR Class kembali diadakan…