Teks oleh Aslam Azis
Semoga ulasan ini tak menjadi uzur seperti kasus sianida di channel televisi nasional hanya karena waktu terjadinya telah lewat ber bulan – bulan lamanya, meski begitu saya tetap yakin konteks permasalahan ini tak akan menua dalam waktu dekat, bahkan beberapa forum yang sempat saya hadiri mulai “menjadikan”nya penting , ya dokumentasi sangatlah penting. Apalagi jika yang didokumentasikan adalah ide/gagasan yang kemudian dipublikasikan, mari menyebutnya “karya”. Baiklah, selanjutnya saya akan memulai dengan sedikit ber-kronolog atau bahasa bugisnya “mannoko’ – noko’ ” sendiri.
2 Mei 2016 di simpang Adipura arus menuju selatan kota nampak lengang, kendaraan sepi berlenggang, tampak beberapa polisi berjaga mengantisipasi macet yang mungkin telah terprediksi. Kala itu saya duduk di emperan bengkel yang tertutup sambil berbicara via handphone dengan ketua lembaga tempat saya bernaung. Saya menghubunginya untuk menanyakan sikap terhadap aksi massa hari ini.
Tak lama berselang teriakan riuh dari arah kiri menyapa telinga, sementara pembicaraan dengannya belum usai, saya mengeraskan suara bermaksud melakukan penyesuaian. Mobil patwal terlebih dahulu melintas pelan, disusul pickup yang ditumpangi jenderal lapangan dengan tentengan toa serta bendera Unhas berkibar tegar di atasnya. Barisan orang – orang berjas merah mengikut setelahnya, beratributkan spanduk dengan tulisan “Tolak liberalisasi pendidikan” di garis depan, sementara massa aksi berbondong ramai di badan dan ekor barisan.
Saya masih duduk menyimak, sambungan telefon baru saja putus bersamaan dengan gradasi barisan yang semakin ke belakang semakin menyepi. Setelah pembicaraan tadi, saya memutuskan ikut tanpa stelan almamater di badan, lipatannya tetap terjaga di dalam tas kamera berselempang satu yang kukenakan.
Pada waktu itu saya ikut serta tak mengatasnamakan lembaga, tetapi membawa identitas sebagai Mahasiswa yang ingin mendokumentasikan banyak hal tentang kampus, belakangan saya memang merasakan “kegemesan” terhadap pergerakan Mahasiswa hari ini. Gemesnya karena seringkali pendokumentasian itu dianggap remeh, padahal dokumentasi adalah akses untuk menembus batasan waktu. Pertanyaannya adalah jika kita hari ini tidak membuat akses tersebut, bagaimana generasi 20-30 tahun kedepan merefleksikan pergerakan hari ini? Mungkin bisa dengan menemui pelaku sejarahnya (jika masih ada), tetapi bukankah bijak jika kita bisa bermurah hati dengan membuka akses seluas – luasnya?
Selanjutnya ulasan ini tak akan bercerita lebih jauh tentang detail kronologi aksi massa tersebut, tapi tentang bagaimana memahami bahwa hari ini pendokumentasian (karya) dan publikasi adalah bagian dari tradisi literasi yang wajib tumbuh subur di Kampus.
Di dunia kemahasiswaan pemanfaatan sosial media seperti official line, facebook, twitter dan instagram bergantung pada ragam orientasi, mulai dari berbagi info kegiatan hingga review kejuruaan menyuarakan isu sosial sampai pencarian modal, me-resensi pemikiran tokoh hingga promosi beasiswa. Seperti yang terjadi pada hari sebelum aksi, ragam rupa ajakan berpartisipasi menjadi Viral di Sosial media dalam bentuk Pamflet undangan , artikel dan video pendek dishare lalu direproduksi berulang kali oleh akun – akun lembaga kemahasiwaan mulai dari tingkatan HMJ, BEM FAKULTAS, akun buzzer mengatasnamakan Universitas hingga akun – akun pergerakan yang “ekstern” dari struktur . Informasi terkait Momentum hari pendidikan teruntai panjang di dinding timeline.
Misalnya saja video berjudul “Undangan Aksi Hari Pendidikan Nasional” yang diposting di akun youtube dan dishare link secara viral (skala kampus) ke beberapa ke sosmed, dapat menembus 1.700 viewers dalam waktu kurang dari 24 Jam. Ini bukan soal capaian kuantitas ataupun rating seperti yang diburu oleh media – media mainstream, tapi lebih dari itu. Ini memberikan gambaran bahwa ada pilihan warna lain dari sekian banyak warna yang dapat digunakan dalam mewarnai gerak Mahasiswa. Era digital sifatnya sangat terbuka dan melampaui batasan – batasan geografis, penting untuk melakukan pemanfaatan saluran media sebagai corong kreativitas Mahasiswa dengan lebih efisien.
Kembali ke perayaan HARDIKNAS, saya yang datang dari belakang melangkah dengan tempo cepat, menyisir sisi kiri luar barisan agar mendapat angel kamera yang bagus, sampailah saya di mulut barisan terdepan, di samping mobil pickup hitam yang melaju hati-hati, dari sudut sini nampak ketua – ketua BEM membuat simpul dengan saling bergandengan tangan, sesekali saya berjalan mundur membidik lensa ke arah barisan, mengambil gambar ruang tajam luas agar bisa memberikan gambaran jelas apa yang terjadi di hari itu dengan petanda elemen – elemen padat yang ada di dalam frame.
Sesampainya di pelataran gedung DPR, saya masih setia dengan kamera di tangan, mengabadikan moment – moment yang terjadi, teriakan sumpah mahasiswa, menyanyikan lagu perjuangan, orasi , puisi, bakar ban, janji anggota dewan dll tidak luput dari sorot mata lensa, sampai akhirnya energy betereinya habis.
Tak lupa mengikuti perkembangan di sosmed, heboh penyebarluasan wacana masih berlanjut di dunia virtual waktu itu, beberapa media kampus melakukan live report pada saat aksi berlangsung, official akun BEM FISIP UH, Eksepsi FH dan akun Buzzer “Anak Unhas” mengorbit post secara berkala proses – proses yang terjadi mulai dari pemusatan massa di pelataran PB Unhas, Long March sepanjang Jl. Perintis – Uripsumiharjo hingga Flyover (Depan gedung DPR) yang menjadi titik aksi.
Menarik mengikuti serba – serbi wacana aksi di Lini masa sosial media, pilihan sifat “provokatif” paling laris digunakan pada untaian kalimat – kalimat berita. Hal ini menjadi wajar karena media memang adalah corong ideologi pemiliknya, tentu itu berlaku pula untuk media pada lingkup LEMA, Semangat resisten Mahasiswa tercermin pada diksi yang digunakan, penolakan terhadap sebuah sistem pendidikan yang mereduksi besar – besaran nilai kemanusiaan (baca : dehumanisasi) adalah sebuah sikap yang mesti dipahami oleh publik.
Selepas aksi massa, saya kembali ke kosan teman sekampus di daerah Tello, di sana saya masih disibukkan dengan gawai, scrolling lini masa di akun line, mengikuti updatean pasca aksi massa. Uforia perayaan hari lahir Ki Hajar Dewantara ini ternyata bukan hanya terjadi pada kampus – kampus di Makassar, beberapa kampus di Jawa pun menggelar aksi serupa, UGM (Universitas Gajah Mada) misalnya bahkan turun dengan jumlah massa yang lebih besar, ribuan massa memadati pelataran rektorat tampak pada beberapa unggahan video dari sudut berbeda.
Tetapi mengapa di media massa baik televisi atau portal berita online liputan aksi massa tersebut miskin pemberitaan bahkan bisa dibilang tidak ada ? Malah berita mengenai Mahasiswa (entah mengapa penekananya pada identitas ini) UMSU yang membunuh dosen karena skripsi diberitakan dan repetisi secara terus-menerus selama beberapa hari, disusul pemberitaan tentang pemerkosaan dan pembunah keji yang dilakukan pemuda, bahkan kasus ini terjadi di beberapa daerah.
Kecenderungan hanya memperhatikan gigi sakit dibanding gigi sehat kerap dijumpai pada pilihan berita media massa, pemuda negeri yang pesakitan lebih menarik perhatian dibanding ribuan pemuda bangsa yang rasional menyampaikan aspirasi (damai dan legal secara hukum) sebagai bentuk konsekuensi dari pengetahuan yang dimiliki. Bukan berarti bad news diatas tidak penting, itu merefleksikan bahwa degradasi moral dikalangan pemuda mesti segera ditindaki, tetapi bukankah dengan melakukan pengulangan secara berlebihan dapat mengakibatkan kondisi psikis negatif bagi masyarakat atau bahkan trauma berkepanjangan bagi si keluarga korban?
Meskipun tak seperti biasanya, kali ini agenda media massa tak membebek pada wacana sosial media, tetapi “Long March” di awal Mei bercerita banyak hal. Meski memahami ada untaian proses yang panjang dibaliknya, tetapi mari sedikit keluar dari frame proses tersebut dan kembali mempertanyakan “gerak” kita hari ini. Turun ke jalan adalah salah satu cara dari sekian banyak cara (bukan satu-satunya cara). Dengan hanya terus – terusan turun ke jalan tanpa dibarengi dengan tradisi literasi yang kuat akan bermuara pada gerak yang tak efektif. Tak ada Wiji tukul, Pram, Soe hok gie hari ini, tetapi gagasan – gagasannya hadir dan membuat kita sedikit tahu kondisi masa silam, bahkan menggaungkan cara berfikir mereka. Lalu siapa yang akan menjelaskan kondisi hari ini kepada mereka di masa depan jikalau kita hari ini miskin karya?