Penulis: Miftahul Jannah dan Nurul Izzah | Foto oleh: M. Alfayed
Tidak pernah terbesit sedikitpun dibenaknya untuk menjadi jurnalis. Dilatih untuk menjadi anak yang mandiri oleh pamannya, ia sudah berkelana dengan bus milik sepupunya saat bekerja sebagai kernet mobil, menjajakan es lilin di bangku sekolah, hingga akhirnya berjualan koran yang menjadi titik awalnya mengenal media. Begitulah kisah Nurdin Amir, Ketua Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Makassar 2019-2022, sebelum kini menjadi pegiat pers.
Pria yang akrab disapa Nuru ini bahkan pernah diremehkan karena berjualan koran. Seorang pejabat yang menjadi langgan pembeli korannya kaget ketika menemuinya bertahun-tahun kemudian di Universitas Hasanuddin. Pejabat tersebut datang mengantar anaknya ke kampus. Sembari terheran-heran, ia bertanya apakah benar ia adalah loper koran yang dulunya sering membawakannya koran. “Dia bilang ‘Oh kamu kuliah di sini. Oh ternyata kamu juga bisa kuliah di sini’. Ternyata masih ada pikiran orang bahwa ‘Oh orang ini tidak bisa kuliah di kampus besar’ itu rejeki bukan soal pintar atau apa,” ujarnya.
Ia menceritakan bagaimana pengalamannya tersebut menjadi hal yang berharga untuknya. “Pelajaran hidup itu ternyata seperti itu, baru saya rasa sekarang. Belajar susahnya cari uang, tidak gengsi jualan koran,” kenangnya.
Adapun perjalanannya mengenal dunia jurnalistik dimulai saat mengikuti pendidikan dan pelatihan jurnalistik yang diadakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pers dan AJI Makassar pada tahun 2001. “Ketika saya melihat ada pemilihan di UKM Pers di tempel di dinding – dinding kampus, saya ikut pelatihan, tapi tidak ada niatan utama untuk menjadi jurnalis. Saya ikutlah berproses disitu,” ungkapnya.
Meskipun saat itu UKM Pers sering dicap sebagai organisasi yang suka demo, Nuru sama sekali tidak mengurungkan niatnya untuk berorganisasi di UKM tersebut. Baginya, kampus adalah dunia intelektual, ruang berekspresi dan membangun budaya kritis. “Kalau kampus menutup ruang, berarti itu bukan kampus, tapi sekolah,” kilahnya.
Selain UKM Pers yang menjembataninya menjadi wartawan, pesan dari seorang dosen yang ia anggap sebagai panutan mahasiswa saat itu juga terus ia ingat hingga saat ini, Alm. Mansyur Semma. “Pak Mansyur Semma bilang kalau kamu mau jadi orang kaya tidak usah jadi jurnalis, jadilah pengusaha. Kalau jurnalis itu adalah pembawa pesan kebaikan. Jadi, kalau mengejar uang jangan jadi jurnalis, kalau kamu mau jadi menyambung lidah masyarakat, pembawa amanah yang baik maka jadilah jurnalis yang baik. Yang kita kejar bukan duit tapi bagaimana kita menjadi pembawa kabar yang baik,” jelasnya.
Setelah melepaskan status mahasiswa, Nuru tidak langsung melakoni pekerjaan menjadi juru berita, melainkan pekerja sosial di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Berposisi sebagai media campaign, banyak kasus yang dihadapinya. Yang paling membekas adalah konflik Luwu Timur dan PT. Inco yang kini dikenal dengan nama PT.Vale. Tantangannya adalah bertatap muka dengan salah satu kawannya yang berposisi sebagai Public Relations di perusahaan tersebut, Kak Zulfi. “Kadang kita berhadapan dengan kawan sendiri di luar. Ada orang yang jadi politisi, ada orang yang jadi pejabat A, yah kita berhadapan,” tuturnya.
Dari Walhi, pria kelahiran Pinrang ini bekerja di salah satu media mainstream ternama di Indonesia, Trans TV, pada akhir tahun 2008. Adapun liputan pertamanya di televisi swasta tersebut adalah aksi demonstrasi antikorupsi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu, berbagai peristiwa lainnya telah ia liput, beberapa diantaranya berkaitan dengan kriminal, human interest, hingga berita feature seperti budaya dan wisata.
Hingga 2014, Nuru memutuskan bergabung dengan televisi lokal Makassar, Ve Channel. Selain makin bertumbuhnya televisi lokal kala itu, ia juga ingin belajar lebih jauh tentang manajerial di industri media. Awal kedatangannya di media ini, ia ditunjuk sebagai produser news dan ditempatkan di program sore Ve Channel. Enam bulan berselang, ia dipindahkan ke program pagi, dimana ia tidak lagi menangani berita-berita hard news, melainkan berita inspiratif dengan konsep talkshow.
Terakhir, ia didapuk sebagai koordinator liputan (korlip). Nuru mengatakan bahwa posisi ini sangat vital di industri televisi. “Tapi dari situ ada banyak proses yang bisa saya dapat, bagaimana manajerial, bagaimana proses belajar saya di ruang redaksi, bagaimana belajar mengatur tim, bagaimana membangun isu di lapangan, bagaimana menjaga emosi menjadi pemimpin di ruang redaksi disalah satu tim. Itu proses belajar yang panjang, tidak mudah, dan itu pilihan,” ungkap Nuru.
Adapun keputusannya untuk menjadi seorang freelance dimulai saat ia menjalani tahun terakhirnya di Ve Channel. Bekerja sama dengan media Jerman, ia ditugaskan untuk meliput berita bencana Palu. Dari pengalamannya itu, Nuru banyak belajar tentang cara media luar negeri untuk meliput berita. “Konteksnyakan nilai dari berita itu, bukan eksploitasi,” terangnya.
Berprofesi sebagai wartawan, tentunya banyak rintangan yang dihadapi di lapangan. Terkadang tantangan tersebut menguji profesionalitas seseorang sebagai jurnalis. Nuru pun mengalami hal tersebut saat berada dilapangan. Ia menceritakan bagaimana ia hampir disogok oleh segelintir orang saat meliput aksi demonstrasi menolak pengambilan lahan. Tujuan dari adanya sogokan itu agar berita yang ia liput tidak disiarkan. “Saya ingat ada amplop tebal warna cokelat. Saya punya taktik, pura – pura dapat telepon, supaya saya bisa lari.”
Tidak satu kali saja, saat meliput kasus penyelundupan cakar lewat pelabuhan tradisional pun, ia menolak amplop yang diberikan oleh pihak tertentu. Baginya, sejumlah tunai yang ada dalam amplop itu tidak ada artinya dibandingkan harga diri. Ia mengatakan, “Balik lagi ke prinsip dasarnya kita, bagaimana kita hadir untuk siapa. Kalau saya tidak punya dasar mungkin saya ambil uang itu tapi yang harus kita ingat itu menjadi jurnalis bukan mencari uang.”
Masih tentang profesionalisme wartawan, Nuru mengingatkan bahwa wartawan harus menjunjung tinggi kode etik dan memahami Undang-Undang Pers secara detail. Lebih lanjut, Nuru menjelaskan tentang kode etik lain yang berlaku di lembaga yang menaunginya saat ini, AJI. “Kalau di AJI lebih keras lagi karena ada kode etik sendirinya, itu lebih rinci. Ada namanya kode perilaku, di kode perilaku sudah jelas bahwa jurnalis tidak boleh begini begitu,” terangnya. Ia berujar, bahwa pada prinsipnya, menjadi jurnalis itu mengedepankan prinsip. Prinsip dasar itu adalah kemanusiaan dan hati nurani.
Banyak hal yang telah didapatkan Nuru selama menjalani profesinya ini. “Selama saya jadi jurnalis, saya banyak belajar tentang hidup, bagaimana saya berinteraksi sama orang, bagaimana memahami setiap karakter orang, karakter setiap wilayah, kalau jalan – jalan sudah pasti, tapi yang terpenting adalah bagaimana kita melihat masalah disekeliling kita, bagaimana membangun kepekaan kita terhadap persoalan yang ada,” kata Nuru.
Nuru berpesan agar jurnalis muda memahami betul bahwa pekerjaan ini hadir untuk kepentingan publik. “Jadi jurnalis itu tidak gampang. Punya tanggung jawab moral yang berat, punya tanggung jawab kemanusiaan,” terang Nuru. Dan yang terpenting, tidak memanfaatkan profesi ini untuk kepentingan tertentu.