Kehendak Bebas dan Bebas Berkehendak

0
1012

Penulis : Irfan Ashar Pratama | Foto : KIFO

Sebelum memulai tulisan ini, saya terinspirasi dengan sebuah kalimat.Kembali/tergantung ke diri masing-masing”.

Banyak dari kita mungkin berasumsi, bahwa kalimat tersebut merupakan kalimat tanpa “standing point”. Namun secara mendasar, kalimat tersebut akan mengantarmu pada konsep “kehendak bebas” yang secara alami dimiliki oleh setiap individu. Pakar komunikasi, Judee K. Burgoon, Lesa Stern, dan Lesaa Dillman juga mengatakan bahwa kondisi biologis, memengaruhi perilaku yang dilakukan oleh individu dalam hubungannya dengan komunikasi (Burgoon, et al, 1995 : 29).

Secara tersirat, asumsi yang dikemukakan oleh pakar komunikasi tersebut tidak secara tegas mengemukakan konsep kehendak bebas. Namun, pernyataan yang diajukan dapat mengarah pada pengaruh kehendak bebas yang sering kita saksikan dalam aspek komunikasi dan interaksi sosial. Bahkan mungkin saja kita juga tidak asing dengan “konsep ideal”. Bagi saya, kehendak bebas menjadi muara dari segala bentuk konsep ideal yang ada dalam pemikiran kita masing-masing.

Analogi sederhananya, setiap manusia berhak memilih dan menerapkan berbagai bentuk tindakan yang akan berdampak pada manusia lainnya. Seperti berusaha memengaruhi, mengatur, bahkan menciptakan sebuah habitus atau kebiasaan. Penting untuk menyadari suatu hal, ketika kita mempercayai premis bahwa setiap manusia punya potensinya masing-masing maka tidak ada lagi bentuk intervensi yang boleh kita lontarkan kepada individu lain. Namun terkadang kita akan diperhadapkan pada beberapa konflik, apalagi ketika ekspektasi dari konsep ideal yang kita anut kemudian tidak sesuai dengan realita yang terjadi.

Sederhananya, konflik hadir karena kita menghendaki konflik tersebut, unik bukan? Ternyata pengaruh kehendak bebas juga termuat dalam konflik yang kita kehendaki. Bahkan kita juga dianugerahi kehendak bebas untuk menyelesaikan konflik kita masing-masing. Mulai dari konflik berdasarkan sifat hingga berdasarkan posisi pelaku yang berkonflik. Namun, untuk apa terus menerus mempertahankan kondisi konflik ketika tujuan dari setiap komunikasi adalah mencapai kesepahaman? Memang sulit untuk sepaham, masing-masing dari kita punya kepentingan yang menjadi keniscayaan dari setiap orientasi yang ingin kita kejar.

Parahnya, perbedaan orientasi kadang memenjarakan kita pada kesimpulan oposisi biner. Jika saja kau tidak sepaham denganku maka pandanganmu akan berseberangan denganku, ekstrimnya lagi kau akan selalu salah di “mata”ku. Situasi yang mungkin saja sering kita jumpai bukan? Ketika kejadian tersebut berlangsung pada keseharian kita, maka saatnya bekal kehendak bebas yang kita miliki berperan. Kita masih punya kehendak bebas untuk menyelesaikannya dengan mencoba untuk saling memahami maksud masing-masing. Kehendak bebas yang kita miliki tentu saja tidak mengantarkan diri kita pada kondisi yang sebebas-bebasnya.

Secara tidak sadar, konflik dan kehendak bebas akan selalu mengarah pada tiga aspek struktural yaitu penyebab, eskalasi konflik, hingga penyelesaian. Lalu, ketika kita masih memiliki kesempatan berkehendak bebas untuk menyelesaikan sebuah konflik, untuk apa kondisi tersebut terus kita biarkan?

Kehendak bebas memang memiliki peranan penting dalam berbagai bentuk interaksi, termasuk saat kau bebas berkehendak untuk menyelesaikan konflik dengan berusaha memahami terlebih dahulu sebelum terus menjawab.

“Kembali dan tergantung diri masing-masing”.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here