Teks oleh Salsabila Putri Widyadhana
Ilustrasi oleh Aliza Faradila
Kejora berjalan pelan menelusuri kamarnya yang dindingnya telah dihiasi dengan beberapa lembar polaroid foto-fotonya bersama sahabatnya, Arkha. Hari ini tanggal 13 Juni 2018, hari yang paling dinanti-nantikan oleh Kejora. Ulang tahun Arkha!
Sejak dulu, Kejora memang mempunyai kebiasaan untuk memberikan kejutan untuk Arkha ketika hari ulangtahunnya. Ia memeluk erat sebuah kotak berukuran sedang dengan pita besar bewarna biru. Ia menyapukan debu-debu pada kotak itu dengan tangannya. Kenapa kotak yang ingin Kejora berikan ke Arkha pada hari ulang tahunnya selalu saja berdebu? Mengganggu saja! Tapi, mungkin salahnya juga karena meletakkan kotak itu di meja dekat jendela yang terbuka. Apalagi, udara di sekitar rumah Kejora tidak begitu bagus.
Kejora menatap cermin di depannya. Astaga! Kenapa kantung matanya sebesar itu? Ah, sepertinya karena terlalu bahagia dan tidak sabar menunggu hari ini. Tadi malam ia tidak bisa tidur! Apa yang harus dia lakukan? Bagaimana bisa Kejora bertemu Arkha dengan keadaan yang kacau seperti itu?
Dengan buru-buru, Kejora segera mandi dan mencuci wajahnya. Setelah segar kembali, ia mengaplikasikan bermacam-macam make up ke wajahnya yang kata Arkha tidak terlalu cantik. Kejora tertawa mengingat ejekan Arkha kala itu. Pokoknya, setelah make up ini menghiasi wajahnya, Arkha pasti akan menarik ucapannya itu!
Kejora mengecek handphone-nya dan membuka chat-nya dengan Arkha. Ia menghela napas. Tak ada balasan dari Arkha. Padahal Kejora sudah mengirimkan begitu banyak pesan. Ah sudahlah, Arkha itu tukang tidur. Mungkin saat ini ia masih meringkuk di kasur kesayangannya.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Kejora dengan cepat melihat nama yang tertera di sana, berharap panggilan tersebut dari Arkha. Namun senyum yang tadinya tersungging di wajahnya kini berubah mengerucut. Rupanya itu dari Dirgi. Ia adalah teman dekat Kejora dan Arkha, tetapi Kejora tidak menyukainya, dan ia juga tak tahu mengapa. Dengan malas, Kejora menerima panggilan itu.
“Apa?” ujar Kejora ketus. Entah kenapa, Dirgi membuat mood-nya yang tadinya bagus, menjadi berantakan.
“Kau tidak sedang bersiap-siap untuk memberi hadiah untuk Arkha, kan?” tanya Dirgi di telepon.
“Kenapa kau bisa tahu?” Kejora bertanya balik. Ia terkejut dan berpikir apakah Dirgi seorang peramal, atau jangan-jangan Dirgi meletakkan kamera pengintai di kamarnya?!
“Bodoh. Kau melakukan itu setiap tahun!” ujar Dirgi dengan suara lantang. “Jangan lakukan itu lagi, Kejora.”
Kejora mengepalkan tangan kirinya. Ia marah. “Memangnya kau siapa?”
“Hentikan, Kejora! Yang kau lakukan itu hanya sia-sia! Dia tidak akan pernah menerima hadiahmu itu!” bentak Dirgi.
“Apa maksudmu dia tidak akan menerima hadiahku? Aku dan dia bersahabat sejak kecil!” terang Kejora tak kalah lantang dari suara Dirgi, dengan mata yang kini berkaca-kaca.
“Arkha itu sahabatku. Dia akan datang dan menerima hadiah ini!” Tanpa sadar, matanya berkaca-kaca. Tanpa menunggu Dirgi membalas perkataannya, Kejora sudah lebih dulu mematikan panggilannya.
“Dirgi bodoh, apa maksudnya yang ia lakukan ini hanya sia-sia? Maksudnya, Arkha akan menolak pemberiannya, begitu? Hah, bodoh sekali. Itu tidak mungkin.” Kejora membatin.
Ia lalu menyeka air matanya dan segera bergegas meninggalkan rumah. Ia berlari ke arah taman, tempat yang biasa ia kunjungi bersama Arkha. Kejora duduk di sebuah bangku panjang dan memeluk erat kotak hadiah yang akan diberikannya pada Arkha. Sekali lagi, Kejora membuka chat-nya, dan tak kunjung mendapatkan balasan dari Arkha. Tapi, ia tak mau memikirkan perkataan Dirgi di telepon tadi. Kejora yakin, saat ini Arkha sedang bersiap-siap untuk menemuinya.
“Arkha. Kau akan datang, kan? Ayolah, ini hari spesialmu. Kau pernah berjanji untuk selalu ada saat aku membutuhkanmu. Aku tahu kau adalah tipikal orang yang selalu menepati janji. Aku yakin kau tidak akan membuatku menunggu lama!” batin Kejora.
Selang beberapa jam kemudian, begitu banyak orang berlalu-lalang di depan Kejora. Namun, ia tak menemukan sosok Arkha. Kejora tetap menunggu, walaupun kini derasnya hujan telah membasahi seluruh tubuhnya. Ia masih sangat yakin bahwa Arkha akan datang, menerima kotak hadiahnya, dan mereka berdua akan saling bercanda dan tertawa bersama, seperti yang mereka lakukan setiap waktu. Kira-kira seperti itulah skenario yang ada di kepala Kejora.
Walaupun gigil menusuk jantungnya, Kejora tetap teguh pada pendiriannya. Ia menelepon Arkha berulang-ulang kali, namun ia tak mendengar suara Arkha. Arkha, sebenarnya dimana kau?
Tiba-tiba, Kejora yang saat ini kepalanya sedang menunduk ke bawah, melihat sepasang kaki berdiri tegak di hadapannya. Dengan senyum sumringah, Kejora menengadahkan kepalanya ke atas untuk memastikan orang itu benar-benar Arkha. Namun sekali lagi, senyum itu luntur seketika. Sosok di hadapannya ini bukanlah Arkha, melainkan Dirgi.
Dirgi mencengkeram kedua bahu Kejora. “Apa yang kau lakukan?! Kau bisa sakit, Kejora!!!” bentak Dirgi.
Kejora menepis tangan Dirgi dari bahunya. “Aku akan tetap menunggu disini sampai Arkha datang! Bagaimana kalau dia datang saat aku sudah pulang?!”
Dirgi mengacak rambutnya yang kini basah oleh hujan. “Kumohon sadarlah, Kejora. Arkha tidak akan pernah datang. Selama apapun kau menunggu, dia tak akan pernah menerima kotak hadiah yang pernah akan kau berikan kepadanya tiga tahun yang lalu!”
Kejora terdiam, mencoba mencerna maksud dari ucapan Dirgi. “Apa maksudmu, hah? Apa maksudmu kotak hadiah ini sama dengan kotak hadiah tiga tahun yang lalu?!”
Karena sudah tak tahan lagi, Dirgi merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya. Ia membuka galeri dan menunjukkan foto Kejora yang sedang memegang kotak hadiah yang persis ia bawa saat ini.
“Ka-kapan kau mengambil foto itu?” tanya Kejora kaki.
“Tiga tahun yang lalu. Tepat setelah upacara penerimaan siswa baru.” ujar Dirgi.
Kejora meremas kotak hadiah yang ia pegang. Kenapa kotak itu bisa sama persis dengan tiga tahun yang lalu? Ada apa dengan tiga tahun yang lalu? Kenapa Kejora tidak mengingatnya?!
Sekilas memori dalam ingatan Kejora muncul kembali. Waktunya seakan mundur kembali dan ia merasa masih ada disana. Tiga tahun yang lalu. Kejadian itu.
•••
13 Juni 2015, hari ulang tahun Arkha. Hari itu juga, Kejora, Arkha, dan Dirgi resmi menjadi murid SMA. Setelah upacara penerimaan siswa baru, Dirgi menghampiri Kejora dan berbisik, “Apa kau sudah menyiapkan kejutannya?”
Kejora tersenyum lebar dan menunjukkan kotak hadiah berukuran sedang dengan pita besar berwarna biru. Kejora juga meminta Dirgi untuk memotretnya dengan kotak hadiah itu.
“Ngomong-ngomong, dimana Arkha?” tanya Dirgi. Kejora hanya mengangkat kedua bahunya tanda tak tahu. Ia pun mengajak Dirgi untuk bersama-sama mencari Arkha. Saat itu, Kejora merasa bahagia dan tak sabar melihat reaksi Arkha saat menerima hadiahnya. Ia tidak tahu, hari itu juga telah terjadi sebuah tragedi menyedihkan yang mengubah hidupnya.
“Kenapa disana ramai sekali? Mengganggu sekali. Memangnya ada boyband Korea?” tanya Kejora pada Dirgi. Ia menunjuk ke arah kerumunan siswa di jalan raya depan sekolah mereka.
“Entahlah, sepertinya ada kecelakaan. Mau lihat?” tanya Dirgi.
Kejora menggeleng, “Kita harus mencari Arkha dulu.”
Kejora dan Dirgi pun tidak memedulikan kerumunan itu dan melanjutkan mencari Arkha. Namun, sebuah obrolan terdengar dari segerombolan siswa yang baru saja kembali dari kerumunan saat kecelakaan tadi. Obrolan yang membuat hari itu seakan menjadi hari terakhir bagi Kejora.
“Kasihan sekali, ya. Padahal baru saja masuk di sini.”
“Dia masih ada harapan untuk hidup nggak, sih?”
“Dilihat dari lukanya, sih, cukup parah. Aku tidak yakin.”
“Ngomong-ngomong, siapa namanya?”
“Arkharega Bintang Saputra.”
Detak jantung Kejora terhenti seketika saat nama Arkha didengarnya. Tanpa basa-basi, Kejora segera berlari menuju segerombolan itu dan menarik kerah baju salah seorang siswa disana.
“Tadi kau bilang siapa?” tanya Kejora pucat pasi.
“A-Arkharega Bintang Saputra.”
“APA MAKSUDMU?! KALIAN BERBOHONG, KAN?” teriak Kejora histeris. Tidak, tidak mungkin! Tidak mungkin Arkha yang menjadi korban kecelakaan yang dilihatnya tadi. Mungkin saja itu seseorang yang mirip dengan Arkha! Ia tidak percaya sebelum melihatnya langsung!
“Benar, kok! Dia ditabrak sebuah truk saat menyeberang di jalan raya. Kami semua juga melihat papan nama di seragamnya!”
Tubuh Kejora mematung. Suaranya tak bisa keluar lagi. Badannya bergetar. Melihat hal itu, Dirgi segera bergerak cepat merangkul Kejora dan bertanya kepada gerombolan siswa itu. “Dibawa ke rumah sakit mana?”
“Rumah Sakit Bima Sakti.”
Sesampainya di rumah sakit, Kejora masih saja terdiam. Ia masih tidak memercayai bahwa korban kecelakaan yang ia dan Dirgi lihat waktu itu adalah sahabatnya, Arkha. Dirgi juga berkali-kali meyakinkan Kejora kalau Dirgi pasti masih hidup dan bisa selamat. Tapi meskipun ia terus berpikir optimis, kenyataan tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya. Disana, ia melihat dengan jelas tubuh Arkha yang terbaring kaku. Dan kata dokter sudah tidak ada harapan. Arkha tidak dapat diselamatkan lagi.
“ARKHAAAAAAAAAAAA!!!!!” Kejora menangis sejadi-jadinya, dan berteriak sekencang-kencangnya. Hatinya sangat hancur mengetahui kenyataan bahwa Arkha telah pergi. Selamanya. Ia tidak akan melihat Arkha lagi di sisa hidupnya. Tangisnya tak berhenti. Kejora terus memeluk erat jenazah Arkha, berharap Arkha akan hidup kembali. Ia juga tak henti-hentinya melukai dirinya sendiri, berharap dia akan terbangun dan semua ini hanyalah mimpi buruknya. Namun sekali lagi, kenyataan tidak sesuai dengan ekspektasinya.
Dirgi juga ikut terluka melihat Kejora yang seperti itu. Baru kali ini ia melihat Kejora serapuh itu, padahal Kejora yang ia kenal adalah sosok ceria yang menyenangkan. Ia membayangkan betapa tersiksanya batin Kejora yang ditinggal oleh sahabat dari kecilnya. Apalagi, hari ini hari ulang tahun Arkha. Kejora juga telah menyiapkan kejutan untuknya. Namun, hari ini juga merupakan hari terakhir bagi Kejora untuk melihat Arkha.
Dirgi membiarkan Kejora meluapkan semua kesedihannya. Sungguh, ia ingin sekali memeluk Kejora dan menenangkannya, juga menasihatinya untuk mengikhlaskan Arkha. Tapi Dirgi tahu, hal itu akan membuat Kejora membencinya. Namun siapa sangka, semenjak hari itu, Kejora berubah. Ia tak pernah tertawa lagi. Ia menangis setiap hari dan masih menolak kenyataan bahwa Arkha telah pergi. Karena khawatir, Dirgi meminta seorang psikiater untuk memeriksa keadaan Kejora. Dan firasat buruk Dirgi benar adanya.
Kejora depresi.
Kekhawatiran Dirgi memuncak saat setahun telah berlalu. Pada tanggal 13 Juni 2016, satu tahun setelah kejadian itu, Kejora yang kini kejiwaannya telah terganggu terus menganggap Arkha masih hidup. Tepat di hari ulangtahun Arkha, Kejora tak hentinya mengirim pesan kepada Arkha, tidak peduli Arkha tak membalasnya. Ia terus menganggap bahwa Arkha mungkin saja sedang tertidur. Lalu, ia akan mengambil kotak hadiah yang tak sempat ia berikan kepada Arkha, bertanya-tanya kenapa kotak hadiah itu bisa berdebu, lalu menunggu Arkha di taman.
Hal itu terus menerus dilakukan Kejora selama tiga tahun terakhir. Saat hari ulang tahun Arkha, ia melupakan segalanya. Ia lupa kenapa kotak hadiah itu selalu berdebu saat ingin memberikannya pada Arkha, padahal kotak itu berdebu karena sudah disimpan terlalu lama. Bukan karena ia meletakkan kotak itu di dekat jendela. Ia lupa kenapa kantung matanya membesar dan berpikir ia mungkin tidak bisa tidur karena terlalu bahagia, padahal matanya bengkak karena setiap hari menangisi Arkha. Ia lupa kenapa Arkha tidak membalas pesannya dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa Arkha masih tertidur pulas di kasurnya, padahal Arkha telah tertidur untuk selamanya.
Dirgi mengira hal itu hanya terjadi satu kali saja. Ternyata, Kejora melakukan hal yang sama setiap tahunnya, setiap tanggal 13 Juni. Itulah sebabnya Dirgi mengetahui Kejora akan memberikan kotak hadiah pada Arkha yang jelas-jelas telah meninggal dunia tiga tahun yang lalu. Bukan karena Dirgi seorang peramal, atau ada kamera pengintai di kamar Kejora.
Dirgi jugalah yang selalu menyadarkan Kejora, kalau Arkha telah pergi. Namun, setelah Kejora sadar, ia akan mengingat kejadian tiga tahun yang lalu. Mengingat kembali tragedi yang merenggut nyawa sahabatnya. Selama ini, Dirgi hanya membiarkan Kejora. Ia berkali-kali menyarankan Kejora untuk mengikhlaskan Arkha, tetapi semuanya sia-sia. Kejora semakin membencinya, itu sebabnya Kejora selalu merasa kesal saat melihat Dirgi. Tapi tahun ini, Dirgi tidak ingin lagi melihat Kejora seperti itu setiap tahun. Dia benar-benar ingin membuat Kejora melupakan Arkha sepenuhnya. Ia ingin membuat Kejora tahu bahwa Dirgi masih ada di sampingnya. Ia tak akan pernah meninggalkan Kejora.
•••
“Ini mimpi kan, Dirgi?” tanya Kejora setelah mengingat kejadian tiga tahun yang lalu. “ARKHA MASIH HIDUP KAN, DIRGI?!”
Hari sudah sore. Matahari yang sebentar lagi akan terbenam mulai menampakkan semburat berwarna jingganya. Hujan telah reda, yang artinya pelangi telah muncul dengan tujuh warna indahnya yang kini menghiasi langit. Kejora dan Dirgi masih ada disana, di taman itu. Dirgi menggenggam erat tangan Kejora. “Arkha sudah pergi, Kejora. Kau tahu itu. Tapi kau terus saja menolak kenyataan itu dan membuat dirimu sendiri menjadi depresi seperti ini!”
“Kumohon berhentilah, Kejora. Tolong pikirkan masa depanmu. Mau sampai kapan kau terus-terusan hidup dalam skenario yang kau buat sendiri?!” bentak Dirgi. Ia sudah mencapai batasnya.
Air mata Kejora bercucuran deras. “KAU TAK MENGERTI, DIRGI! BAGIKU, ARKHA ADALAH MASA DEPANKU. SEKARANG IA SUDAH TIADA, UNTUK APA LAGI AKU MEMIKIRKAN MASA DEPAN?”
“Kau pikir Arkha akan bahagia, jika melihat keadaanmu yang seperti ini?” tanya Dirgi yang sukses membuat Kejora merenungkan semuanya. Benar kata Dirgi. Arkha pernah bilang padanya, “Kejora tidak boleh sakit, sebab ia juga akan merasa sakit. Kejora tidak boleh sedih, karena ia pasti akan lebih sedih lagi.”
Kejora memandangi langit dengan tatapan kosong. Apa ia harus melupakan Arkha? Bagaimana bisa? Harus mulai dari mana? Apapun yang dilakukan Kejora pasti membuatnya terus teringat akan Arkha.
“Kau sudah memikirkannya?” tanya Dirgi yang membuat Kejora tersadar dari lamunannya.
Kejora mengangguk pelan, “Tapi, aku harus bagaimana? Aku tidak tahu.”
Dirgi tersenyum lega. Akhirnya Kejora mau mendengarkannya. Kini, Kejora sudah memutuskan ingin melupakan Arkha.
“Bagaimana jika dimulai dari kotak itu?” saran Dirgi seraya menunjuk kotak hadiah yang ada di pangkuan Kejora.
Kejora menunduk menatap kotak itu. “Apa ya, isi kotak ini?” pikirnya. Karena tiga tahun telah berlalu, Kejora bahkan sampai melupakan isi kotak hadiah itu. Dengan gemetar, Kejora melepaskan pita besar berwarna biru di kotak tersebut, lalu membukanya.
Di dalam kotak itu, terdapat beberapa lembar foto Arkha yang dipotretnya diam-diam, beberapa kartu-kartu kecil berisi ucapan, sebuah buku puisi karya penulis kesukaan Arkha, dan sebuah alat perekam suara.
Dengan ragu, Kejora mengambil alat perekam suara tersebut dan menekan tombol play.
“Selamat ulang tahun, Arkha Bintang Saputra! Hari ini, umurmu bertambah satu tahun. Selamat, ya! Aku harap kau panjang umur, selalu sehat, semakin pintar, dan yang terpenting, semoga kita selalu bersama sampai tua nanti! Terima kasih karena kau selalu ada saat aku membutuhkanmu, menghiburku saat aku sedang bersedih, mendukungku saat aku sedang putus asa, dan menasihatiku saat aku melakukan kesalahan. Jika benar bahagiaku adalah bahagiamu juga, aku berjanji akan terus bahagia. Aku berjanji apapun yang terjadi, aku tidak akan bersedih. Aku akan selalu tersenyum. Jadi kapanpun dan di manapun, aku akan menjadi seorang Alysha Kejora Griselda yang paling bahagia sedunia! Sekali lagi, selamat ulang tahun, Arkha! You’re my precious best friend ever!”
Kejora kembali menitikkan air mata saat mendengar suara miliknya berputar dari balik alat perekam itu. Ternyata ia pernah berjanji seperti itu kepada Arkha? Bisa-bisanya ia melupakan janji itu? Kejora merutuki dirinya sendiri. Selama ini, apa yang ia lakukan? Ia terus-menerus menolak kepergian Arkhadan menangisinya setiap hari. Padahal sebagai sahabat, seharusnya Kejora segera mengikhlaskan Arkha dan mendoakannya agar bahagia dan tenang di alam sana.
“Maaf. Maafkan aku, Arkha. Aku tidak menepati janjiku. Aku bukan sahabat yang baik. Maafkan aku. Tolong maafkan Kejora-mu yang bodoh ini,” isak Kejora. Ia melipat kedua tangannya di atas lutut dan menenggelamkan wajahnya disana. Dirgi duduk di samping Kejora, kemudian mengelus kepala gadis itu dengan lembut.
“Tak perlu menyalahkan dirimu sendiri seperti itu, Kejora. Aku yakin, Arkha pasti mengerti keadaanmu,” ucap Dirgi lembut. Kejora menatap Dirgi seraya tersenyum. Senyum yang sudah lama tidak ditunjukkannya kepada dunia. “Aku sangat berterima kasih padamu, Dirgi.” Dirgi mengangguk, dan mengacak pelan rambut Kejora.
“Tapi apa yang harus kulakukan pada kotak ini?” tanya Kejora bimbang. Apakah ia harus membuangnya? Tidak rela rasanya. Tapi menurutnya, kotak hadiah inilah yang menyebabkan Kejora tidak bisa melupakan Arkha.
“Kau bisa menyimpannya di tempat yang tidak dapat terlihat olehmu.” ujar Dirgi.
“Maksudmu?”
“Sebaiknya kau mengubur kotak itu. Jadi, kotak itu akan tetap tersimpan disana selamanya,” kata Dirgi menyarankan. Kejora menjentikkan jarinya. “Brilliant, Dirgi!”
Dirgi pun mengantar Kejora pulang ke rumahnya. Rencananya, Kejora akan mengubur kotak hadiah itu di halaman belakang rumahnya, di bawah pohon mangga yang sewaktu kecil dulu selalu ia panjat bersama Arkha. Sesampainya di rumah, Kejora segera mengambil sekop, lalu Dirgi pun membantunya menggali tanah. Dengan hati-hati, Kejora meletakkan kotak tersebut, kemudian menguburnya.
Kejora tersenyum puas. “Kali ini, aku benar-benar berjanji untuk selalu bahagia, Arkha. Kini, aku telah merelakan kepergianmu. Dalam doaku, aku akan terus menyebut namamu. Aku tidak akan pernah melupakan semua kenangan dan memori indah yang pernah kita ukir bersama. Selamat jalan, Arkha Bintang Saputra,” batin Kejora sambil menatap awan yang indah di atas sana. Awan yang bentuknya tak beraturan dan membentuk barisan yang terlihat artistik. Terkadang bagi Kejora, awan itu terlihat seperti makanan, hewan, atau abstrak. Tetapi senja ini, awan itu terlihat seperti sosok Arkha yang sedang tersenyum kepadanya.