Categories: Opini

Merdeka Secara Mandiri

Teks oleh Jabal Rachmat

Ilustrasi oleh Comgastra 

 

 

Pagi itu, 17 agustus 1945, dengan kondisi tubuh menggigil karena dilanda demam, Ir. Soekarno berjalan keluar dari sebuah rumah yang terletak di Jl. Pegangsaan Timur no. 56. Dengan suara tegas, Bung Karno, sapaan akrab bapak proklamator kita membacakan teks proklamasi yang menandakan kemerdekaan Indonesia. Dengan bantuan beberapa pihak, Indonesia memilih untuk merdeka secara mandiri pada hari yang sakral tersebut. Secara mandiri, tanpa perlu menunggu 24 Agustus untuk Jepang memberikan kemerdekaan. Hingga kini, telah 73 kali hari kemerdekaan telah diperingati. Namun, sudahkah kita merdeka?

Sejauh mata memandang, entah dalam dunia nyata maupun jagat maya, Indonesia masih jauh dari kata merdeka yang sesungguhnya. Pelayanan kesehatan yang morat marit, sistem pendidikan yang carut marut, kondisi infrastruktur yang mengkhawatirkan, kebijakan yang kadang membingungkan, hingga masih ada demikian banyak masalah yang penulis rasa akan mampu memenuhi tulisan ini dengan segala keluhan masyarakat kita tentang betapa tidak merdekanya bangsa yang kini memiliki 261,1 juta penduduk ini.
Demikian banyak penindasan yang terjadi, telah banyak aksi yang digalakan. Namun hingga kini, masalah–masalah yang menerpa negeri seakan malah beranak pinak. Miris rasanya melihat bangsa yang katanya kaya ini, harus mengemis kepada negara lain. Hingga pada akhirnya, kita sampai pada satu kesimpulan yang banyak diamini oleh banyak dari masyarakat kita, pemerintah tidak benar – benar memperhatikan negeri ini.

Pemerintah adalah pihak yang selalu dalam berada dalam keniscayaan untuk dijadikan sebagai kambing hitam atas rancunya pengelolaan negeri nan indah ini. Telah 7 orang pemimpin yang berusaha menghadirkan kesejahteraan, namun cap gagal selalu dialamatkan kepada mereka. Entah apa yang harus dilakukan oleh mereka, para pemimpin bangsa akan selalu mendapatkan gelar sebagai pemerintahan yang gagal dalam menjamin kesejahteraan masyarakatnya.

Beberapa waktu lalu, Kabupaten Polewali Mandar mengadakan hajatan besar. Polewali International Folk Art Festival tajuknya. Di balik riuhnya acara yang menghadirkan seniman dari seluruh dunia tersebut, jagat maya kawasan Polman panas oleh isu gizi buruk yang menerpa beberapa masyakaratnya. Para warganet menyimpulkan, pemerintah tidak benar – benar memperhatikan kondisi masyarakatnya sehingga lebih mementingkan mengadakan event akbar tersebut ketimbang membuat program untuk kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnya.

Dalam psikologi mentalitas, hal ini disebut sebagai ekstra – punitif (Kecenderungan untuk menyalahkan pihak lain). Hal ini bersumber pada pusat kendali eksternal (external locus of control). Hal inilah yang menjadi acuan kita dalam menentukan sikap, segala hal buruk terjadi karena pihak lain. Kebanjiran, menyalahkan pemerintah. Begitu seterusnya. Kita cenderung mudah untuk menyalahkan orang lain. Utamanya pihak pemerintah terkait kesejahteraan negeri ini. Karena menurut kita, hal tersebut sudah jadi kewajiban para pengampu kebijakan. Padahal, pemerintah bukan Tuhan yang maha tahu tentang apa yang dipikirkan masyarakatnya, tentang apa yang dilakukan masyarakatnya, atau sudahkah masyarakatnya makan.

Pernahkah kita berpikir untuk berusaha secara mandiri untuk mewujudkan kesejahteraan sosial di sekitar kita? Kita lebih cenderung untuk menyalahkan pemerintah terhadap kemalangan yang menimpa masyarakat ketimbang berpikir untuk bergerak turun tangan. Kita masih terlalu bergantung pada pemerintah untuk turut serta berjuang demi kebaikan bersama, seakan negara ini bukan milik kita. Sebab, selayaknya ketika kita memiliki sesuatu, kita punya rasa memiliki sehingga tanpa dorongan pihak lain, kita akan bergerak untuk menjaganya.

Kita begitu gemar menyalahkan pihak lain tanpa pernah bercermin pada diri kita sendiri. Apa yang telah kita lakukan untuk negeri ini? Ketika Jepang yang kalah perang, negerinya porak poranda oleh bom atom, serta harus membayar rampasan perang, setelah 73 tahun kita tetap tak mampu mengimbangi mereka. Lantas, siapakah yang salah? Berhentilah menyalahkan, mulailah melakukan.

Kosmik

Recent Posts

Mahasiswa Komunikasi Unhas Raih Juara Tiga KTI di PENA 2024 dengan Inovasi Pencegahan Deforestasi

Oleh : Satriulandari Foto : Dokumentasi Pribadi Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fisip Unhas raih juara tiga…

1 week ago

Light Behind The Loss

Oleh: Putri Aliqa Umayyah Ilustrasi: Pinterest Di sebuah rumah yang sederhana, terdapat seorang wanita yang…

4 weeks ago

Meraba Jati Diri dalam Proses Mencari Rumah

Oleh: Muh. Cahyo Dherian Ilustrasi: Widya Juniaty Dikeramaian yang memekakkan telinga, terdapat seorang anak yang…

1 month ago

Case Cracker Hadirkan Pengalaman Praktis PR di Basic Public Relations Class

Tulisan : Muhammad Alfaridzi Foto : Muhammad Alfaridzi Kegiatan Basic Public Relations (PR) Class yang digelar di…

1 month ago

Praktik PR yang Perlu Diketahui dalam Dunia Pekerjaan

Penulis: Jessy Marty R. Loardi Editor: Satriulandari Foto : KIFO KOSMIK Basic PR Class kembali diadakan…

1 month ago