Teks oleh Muh. Haeril
Senja kala itu matahari mulai memudar menanggalkan ranahnya. Aku duduk sembari menikmati secangkir kopi bersama dengan alunan musik dan suara hiruk pikuk kehidupan kampus. Bias-bias cahaya dari bilik pohon serta kicauan burung membuat suasana saat itu sedikit melankolis.
Banyak hal yang tersempatkan di kantin ini. Membicarakan ilmu, merasakan cinta, berfilsafat, romantisme keseharian, serta beradu dadu mengenai kondisi bangsa yang sedang tidak baik-baik saja.
Aku menyebutnya sebagai salah satu destinasi wisata favorit bagi mahasiswa dalam beraduh visi, aksi, dan hati. Bukan hanya mahasiswa, sering pula dijumpai dosen-dosen yang meluangkan waktu sejenak bersantai dan bercengkrama dari kepenatan bangku kuliah. Jajanan khas dan harganya relatif murah serta ke ramah tamahan pedagang dalam konsepsi melayani tamu membuat daya tarik tersendiri bagi siapapun yang pernah berkunjung.
Desain bangunan yang sedikit mirip dengan halte bus atau angkutan umum membentuk pola gerak tubuh tak leluasa ke sana dan kemari. Mace, panggilan akrab bagi ibu-ibu pemilik kantin. Entah mengapa dan sejak kapan banyak yang memanggilnya seperti itu?. Senyum manis, kasih sayang, dan ketulusannya perihal melayani seperti ibu kandung sendiri. Memulai aktivitas pada pagi sampai malam hari.
Peristiwa sore itu aku tercengang melihat seekor merpati tengah bertengger di sebuah genteng. Kupandangi dengan tatapan tajam, kelihatanya merpati itu sedang kebingungan mencari arah kemana dia akan menapakkan tubuhnya. Kaki berjingkrak ke sana ke mari seperti arah jarum jam yang tak hentinya berputar. Tatapan tajam penuh tanya menjadi beku dan lebur ingin fikiran ini memahami keadaan merpati tersebut.
Cocoklogi atau menghubung-hubungkan dengan pertanda seekor merpati tadi. Hari ini realitas kampus mengalami hal yang serupa dengan merpati, tak tahu arah dan tujuan kemana ia akan bermazhab. Hanya sibuk membangun citra dan mempercantik tampakan infrastruktur saja, serta lupa akan maknawi sebuah pemberian gelar nama. Kemajuan perkembangan serta produktivitas di ukur dari segi materi semata. Kualitas bernomor dua. Lantas untuk apa kita berada di sini?. Menghabiskan waktu bertahun-tahun lamanya, sementara pijakan itu sendiri sedang tidak sehat.
Pembuatan replika-replika perbudakan manusia, karikatur-karikatur berisikan kritikan, coretan-coretan pada dinding-dinding tembok, lalu berbagai kampanye aksi melalui ruang media massa dan media sosial sebagai alternatif merupakan ragam bentuk ekspresi kegilisan terhadap sebuah sistem yang dianggap tak etis pada penerapannya. Semua dilakukan demi penyampaian pesan yang tak tersampaikan. Kampus hari ini hanyalah rel persinggahan sementara waktu saja. “Miskin nilai makna dan ide. “Kampus merupakan pertemuan interaksi ilmu pengetahuan dan budaya,” kata seorang guru. Bisa dikatakan kampus representatif dari sebuah tempat dimana cikal bakal kampus itu berada. Memahami kondisi masyarakat lihat pada kampusnya.
Sedikit berefleksi, mengingat bait perbait kisah juang para pendahulu ketika sebuah iklim intelektual telah tercipta, habitus-habitus yang sifatnya sangat primordia lahir di setiap pojok-pojok kampus (diskusi rutin). Pembacaan terhadap perkembangan zaman menjadi metode yang semestinya dijaga. Hal ini pula semestinya menjadi instrumen pembelajaran untuk selalu mengedepankan tanggung jawab sosial. Sebab mahasiswa merupakan inheren dari masyarakat itu sendiri. Lalu, bagaimana kondisi mahasiswa hari ini?.
Ada yang hanya mengejar gelar semata, memiliki banyak ilmu tapi tak melakukan apa-apa, berjuang demi kepentingan kelompok, munggunjing sana-sini, senggol menyenggol kedirian. Tetapi, tak tahu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Apakah yang membedakan diri ini dan diri yang lainnya?.
Sebagai pengemban tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa mestilah banyak berbenah diri. Tak lagi mempermasalahkan genre musik dan style, tapi bagaimana menciptakan sebuah ruang-ruang yang bermuatan pengetahuan dan melahirkan gagasan-gagasan baru untuk terpenuhinya harapan sebagaimana mestinya mahasiswa. Realitas hari ini penggambaran kedepannya dan kita mengetahui hal itu. Nuansa dialektis perbedaan disiplin ilmu memberi makna pemenuhan-pemenuhan harapan esok harinya. Semoga suatu saat iklim baru telah tercipta. Kampusku ini menjadi tempat yang bebas dari politik-politik praktis dan golongan-golongan.