Penulis: Muhaimin Syadzali & Zhafirah Amalia | Kolase: Teguh Ardiansyah Sabir
“Itu azab buat mereka, daerah itu kan daerah maksiat.”
“Salah manusia itu sendiri buang sampah sembarangan.”
“Ini karena kebijakan pemerintah yang salah.”
Sering sekali kita melihat atau mendengar narasi-narasi tersebut muncul di sekitar kita. Dunia maya yang masif tak terkendali pun tidak lepas dari parade kicauan masyarat online. Hal ini tidak terlepas dari maraknya bencana alam yang terjadi di Indonesia. Sudibyakto dalam Menuju Masyarakat Tangguh Bencana: Tinjauan dari Fenomena Multibencana di Indonesia (2012) menjelaskan bagaimana Indonesia berdiri sebagai negara yang berada dalam kondisi rentan bencana. Dari aspek geologis, kepulauan Indonesia termasuk dalam wilayah Pacific Ring of Fire (Deretan Gunung Berapi Pasifik), yang bentuknya melengkung dari Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, hingga Sulawesi Utara. Selain itu, Indonesia juga terletak di pertemuan dua lempeng tektonik dunia dan dipengaruhi oleh tiga gerakan, yaitu Gerakan Sistem Sunda di bagian barat, Gerakan Sistem Pinggiran Asia Timur dan Gerakan Sirkum Australia. Faktor geologis tersebut menyebabkan Indonesia rentan terhadap letusan gunung berapi, gempa bumi, dan tsunami. Dari aspek iklim, sebagai negara tropis, Indonesia memiliki kerentanan tinggi karena ancaman banjir, tanah longsor, dan wabah penyakit. Dengan begini kita tau bahwa bencana alam di Indonesia memang sudah tidak terelakan. Namun perkara kapan dan dimana menjadi sebuah tanda tanya.
Isu lingkungan menjadi hangat dibicarakan akhir-akhir ini, apalagi sepanjang tahun 2019 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 3.814 bencana alam terjadi di Indonesia. Salah satunya banjir yang terjadi di ibukota Jakarta pada awal pergantian Tahun 2019. Khalayakpun ramai membicarakan dan mengemukakann pandangannya, Tak jarang dialog berkepanjangan terjadi atas wacana yang dibawa oleh media mainstream ataupun media sosial. Supremasi agama turut mendominasi narasi publik. Azab diposisikan sebagai dalih terjadinya bencana , bahkan tiap kali ada bencana melanda, kata “azab” seringkali muncul sebagai pandangan bahwa bencana bagian dari hukuman manusia atas perilakunya.
Pro dan kontra terjadi ketika kaum rasional nan berpengetahuan menolak dan menertawakan intuisi agama. Pandangan mereka menyoal bencana adalah hal yang bisa dijelaskan secara ilmiah melalui kerangka ilmu pengetahuan. Kita mengambil contoh cuitan yang di lalukan Coki Pardede pada akun twiternya 1 januari 2020. Coki membuat lolucon mengenai banjir dan maksiat yang menargetkan korban banjir. Ia menganggap bahwa bencana yang terjadi karena azab. Pasca Coki memposting leluconnya, sontak khalayak maya ramai menanggapi cuitan tersebut. Kebanyakan masyarakat tidak terima akan apa yang dilontarkan standup comedian ini.
Hal tersebut bisa menandakan bahwa dominasi perspektif agama sangat melekat di tengah masyarakat. Sehingga narasi kontradiktif yang muncul akan sangat ditentang olehnya. Pandangan ini muncul karena latar belakang kehidupan yang melekat pada manusia itu sendri. Sedari kecil kita sudah dikenalkan dengan kisah-kisah atau dongeng kerusakan yang terjadi akibat dari tingkah laku manusia yang membuat alam marah dan murka. Seperti kisah banjir besar yang menenggelamkan manusia akibat kemaksiatan dalam cerita Nabi Nuh atau cerita Malin Kundang yang di kutuk akibat ulahnya durhaka dengan orang tua. Pun sejak dahulu hingga saat ini media mainstream seperti televisi banyak menayangkan sinetron, film dan bentuk lainnya dalam kisah manusia yang terkena hukuman oleh karena perilakunya sendiri. Hal inilah yang memengaruhi pandangan kita hari ini jika dihadapkan dengan bencana alam. Apakah pandangan tersebut salah?
Pendakwah, Ahmad Fajri yang juga aktif sebagai Pembina Komunitas Pecinta Al-Quran menjelaskan pandangannya terhadap bencana dari perspektif agama islam. Ia mengatakan bahwa bencana tidak dapat dipandang sebagai sebatas azab, namun juga bisa berarti sebagai ujian untuk menambah keimanan. Pria yang juga tergabung sebagai Anggota Asosiasi Ruqyah Syar’iyyah Indonesia (ARSYI) ini menegaskan bahwa mengaitkan bencana dengan azab perlu memperhatikan orang-orang yang terdampak. “Jika ada bencana kita kaitkan dengan azab diperhatikan siapa yang kena, tapi kita tidak boleh memvonis,” jelasnya.
Nadhira Putri Kalinda (19) sebagai salah seorang korban banjir Jakarta menganggap bahwa pandangan bencana alam sebagai bagian dari azab adalah hal yang sah-sah saja karena pola pikir, latar belakang, dan pengalaman seseorang itu berbeda beda. Namun dia cenderung menganggap bahwa banjir yang terjadi karena cuaca ekstrim, drainase yang kurang baik, pembangunan yang mengalih fungsikan lahan pepohonan yang fungsinya sebagai daerah resapan air, atau ulah manusia yang membuang sampah sembarangan. Posisi korban menjadi sensitif akan parade narasi berbagai kalangan. Politisasi menjadi tidak asing ditengahnya, ketika korban mengkiritisi kebijakan pemerintah dalam mengatasi banjir dan muncul sebagian kalangan berspekulasi bahwa pemimpin hari ini tidak lebih baik dari pemimpin yang lainnya. Padahal esensi dari kritik korban adalah pemerintah berekfleksi atas kebijakan yang telah dikeluarkan.
Hal sensitif lainnya juga terjadi ketika para korban dihapadapkan dengan narasi yang cenderung menghakimi menyoal azab arahnya menintimidasi psikologis korban. Hal ini mungkin akan baik ketika diporsir dan diposisikan tempatnya. Misalnya memunculkan narasi pasca bencana terjadi sehingga menjadi bahan refleksi seserorang. Jika narasi muncul di tengah korban saat mengalami bencana sedikit tidaknya akan mempengaruhi kondisi psikologis seseorang yang pada saat itu jiwanya sedang terguncang. Hal ini cenderung dilihat penghakiman atas dirinya.
Tidak ada yang salah dengan narasi azab, hal ini bisa menjadi bahan introspeksi korban atas apa yang dilakukan sebelumnya. Tidak bisa dipungkiri banyak bencana yang memang terjadi akibat manusia itu sendiri. Asnal sudirman (22) sebagai salah seorang mahiswa yang aktif di organisasi pencinta alam berpendapat bahwa alam atau lingkungan sebenarnya tidak bisa menyesuaikan dengan manusia. Harusnya manusia yang menyesuaikan, karena manusia yang diberikan pengetahuan. Sehingga manusia menjadikan pengetahuan itu sebagai kebebasan untuk bertindak, maka dia yang harus menyesuaikan diri terhadap kondisi alam.
Fenomena bencana alam mengajarkan kita semua akan refeleksi diri dengan mencoba memosisikan diri ketika ditimpa masalah. Selain itu juga mengedepankan empati dengan tidak otomatis menghakimi,. Sejatinya mudah sekali berempati atas fenomena bencana alam yang terjadi, pasalnya setiap orang pasti mengalami masalah dengan bentuk yang berbeda-beda.