Pelangi Di Langit Kelabu (Refleksi International Women’s Day 2018)

0
679

Teks oleh Meike Lusye Karolus (Kosmik 2009)

 

Ada suatu masa dimana perempuan tidak boleh mendapatkan pendidikan. Ada suatu masa dimana perempuan tidak memiliki hak suara dalam pesta demokrasi. Ada suatu masa dimana perempuan tidak mendapat upah yang layak (dan hal ini masih berlanjut di beberapa tempat). Ada suatu masa dimana suara perempuan tidak didengarkan dan dibungkam. Jika sekarang kau melihat keadaan perlahan berubah, sudah seharusnya kau takjub.

Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day yang diperingati oleh dunia internasional setiap tanggal 8 Maret menandai jejak panjang dari gerakan perempuan untuk mencapai kesetaraan di ranah ekonomi, politik, dan sosial. Pada 8 Maret 1914, terjadi gerakan buruh perempuan secara masif di Eropa yang diantaranya menuntut upah yang layak dan hak suara dalam pemilu. Gerakan yang dipelopori oleh kelompok sosialis dan suffragette ini menjadi peletak dasar bagi dibukanya gerbang ranah publik kepada perempuan. Kini, seratus tahun telah berlalu sejak gerakan buruh perempuan menggoyang Eropa, bagaimana dengan hari ini? Apakah perempuan masih tertindas?

Perjuangan perempuan sejatinya adalah perjuangan melawan sistem besar yang sudah ada bahkan mungkin sejak homo sapiens masih berburu di hutan. Sistem ini membentuk dan mempercayai bahwa sejak lahir laki-laki sudah mendominasi dan memegang kontrol atas makhluk lainnya, termasuk perempuan, minoritas seksual/LGBT, binatang-binatang, dan alam. Sistem ini masuk ke dalam segala bidang: budaya, agama, ekonomi, sosial, pendidikan, bahkan politik. Sistem yang dikenal dengan sebutan patriarki ini sudah mendarah daging dalam masyarakat di hampir semua kebudayaan di dunia. Meskipun zaman berganti, ia tetap hidup dan bertransformasi melanggengkan penindasan. Penindasan tersebut sekarang lebih subtil sehingga kita tidak pernah merasa atau bahkan malah merasa bahagia dalam penindasan tersebut. Untuk itulah perjuangan perempuan sekarang tidak hanya terbatas untuk memajukan perempuan semata, tetapi juga memajukan kelompok lain yang tertindas dalam sistem patriarki, termasuk laki-laki sendiri.

Sejak PBB melalui rencana UN Sustainable Development Goals (SDGs) mendorong kesetaraan gender, isu-isu kesetaraan gender mulai mencuri perhatian publik. Kesetaraan gender tidak hanya berbicara antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga kesetaraan gender untuk kelompok minoritas seksual atau LGBTIQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseksual, dan Queer). Masyarakat luas mulai aware terhadap gerakan-gerakan politis perempuan dan LGBTIQ sebagai bagian dari upaya menuju kesetaraan dan keadilan gender. Meskipun masih mendapat tantangan, upaya perjuangan mereka mulai menjadi diskursus publik yang perlahan-lahan mulai masuk dalam perumusan kebijakan publik. Di Indonesia, Pengarusutamaan Gender (PUG) mulai diperkenalkan saat pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. PUG merupakan strategi yang sistematis untuk mencapai dan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dengan memperhatikan aspek kehidupan manusia (rumah tangga, masyarakat, dan negara) seperti pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam rencana dan kebijakan pembangunan. Salah satu hasilnya adalah implementasi analisis gender dalam perumusan kebijakan publik.

Meskipun PUG berjalan sesuai dengan yang diharapkan, namun penindasan terhadap perempuan masih terus berlanjut dari waktu ke waktu dan dari berbagai aspek kehidupan. Sistem patriarki yang berkelindan dengan sistem kapitalisme tidak hanya melakukan penindasan dalam wujud fisik, namun juga secara simbolik melalui media massa. Tubuh perempuan dipecah-pecah menjadi sebuah konstruksi kecantikan yang berujung pada konsumsi industri kosmetik. Hal ini juga terjadi pada laki-laki yang tubuhnya dikonstruksi untuk memenuhi standar kemaskulinitas versi industri. Di bidang sosial, angka kekerasan baik fisik, psikologis, dan seksual terhadap perempuan, anak, dan minoritas seksual meningkat setiap tahunnya. Di bidang hukum, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKHUP) yang telah dibahas sejak tahun 1963 tampaknya masih akan terus menuai kontroversi, terutama beberapa pasal yang justru dianggap merugikan perempuan, anak, minoritas seksual, dan masyarakat adat seperti pasal tentang aborsi dan perzinahan. Di bidang ekonomi, pembangunan yang tidak ramah alam telah memunculkan konflik agraria yang pada akhirnya mendorong perempuan untuk menjadi buruh migran. Hasilnya, kekerasan dan kematian buruh migran Indonesia karena tak ada lagi tanah yang digarap di negeri sendiri.

Di titik krusial inilah gerakan perempuan harus menyatu dengan dengan gerakan perubahan sosial lainnya. Gerakan interseksional ini percaya bahwa penindasan tidak serta-merta terjadi dalam satu kelompok saja, tetapi juga pengaruh identitas sosial dan wilayah turut membentuk seseorang mengalami irisan-irisan penindasan. Oleh sebab itu, gerakan politis perempuan perlu memperhatikan irisan-irisan penindasan tersebut dan menggalang kerjasama untuk mewujudkan perubahan dan keadilan. Misalnya dalam ranah gender, seksisme tidak hanya dialami perempuan tetapi juga laki-laki. Pandangan feminisme terkini melihat laki-laki sebagai korban sistem. Seorang laki-laki tidak serta-merta menjadi pemerkosa, tetapi ia dibentuk oleh sistem di luar dirinya yang membuatnya percaya bahwa perempuan adalah obyek seksualnya. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan serta kelompok minoritas seksual harus bergandengan tangan bila ingin mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.

Peringatan hari Perempuan Internasional biasanya membawa isu dan tema tertentu. Namun, kita perlu mengkritisi bahwa gerakan perempuan internasional yang umumnya dipelopori oleh gerakan perempuan dari negara maju memiliki kepentingan terhadap perempuan dari negara-negara berkembang. Kecenderungan gerakan perempuan dari negara maju adalah memaksakan agenda mereka yang melihat perempuan dari negara berkembang sebagai ‘korban’. Selain itu, agenda yang diusung lebih menitikberatkan pada perjuangan di ranah publik (ekonomi, sosial, dan politik). Padahal, gerakan perempuan di negara-negara berkembang masih berjuang untuk mencapai kesetaraan di ranah privat. Masih banyak perempuan melihat wilayah domestik sebagai takdir yang harus dijalani, bukan pilihan atas dasar potensi. Maka, bagi gerakan perempuan dari negara berkembang, perjuangan di ranah publik tentu harus dibarengi dengan perjuangan di ranah privat.

Pada akhirnya, gerakan perempuan sejatinya haruslah menyerupai pelangi. Pengalaman perempuan yang beraneka ragam dapat diwakili seperti warna-warni pelangi yang justru memberikan keindahan dalam perjuangan tersebut. Pengalaman setiap perempuan adalah otentik dan memiliki kadar penindasannya sendiri. Perempuan kota dengan pendidikan modern tentu tidak bisa disamakan pengalamannya dengan perempuan desa yang memiliki keterampilan dan pengetahuannya sendiri untuk mengelola sumber daya alam. Maka, biarkanlah gerakan perempuan bersinar dengan warnanya masing-masing. Warna-warni pelangi merupakan wujud dari interseksional yang dialami perempuan (dan juga laki-laki dan minoritas seksual). Tantangan yang akan dihadapi memang tak mudah, maka biarkanlah pelangi itu bersinar walaupun langitnya kelabu. Panjang umur perjuangan!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here