Makassar, Baruga – Jum’at, 26 Maret 2004 merupakan hari dimana Gunung Bulu Bawakaraeng mengalami debris slide/debris flow. Peristiwa mengharukan ini mengakibatkan lenyapnya beberapa titik pinggiran dan pemukiman kaki gunung serta menimbulkan korban jiwa.
Sejak 2015, 26 Maret kemudian diperingati sebagai Hari Gunung Bulu Bawakaraeng untuk mengingatkan kembali pada peristiwa besar yang pernah terjadi. Peristiwa ini juga dikenal dengan sebutan tanah yang runtuh (lepas) dan akrab disebut longsor.
Bertepatan dengan Hari Gunung Bulu Bawakaraeng 26 Maret 2019 kemarin, Organisasi Nitro Pencinta Alam (NPA) “Afiliasi” STIM Nitro Makassar kemudian menggelar Diskusi ‘Introspeksi’ Kepencintaalaman yang berlangsung selama lima hari dari tanggal 23 hingga 27 Maret 2019 di Lobby Gedung B STIM Nitro Makassar. Kegiatan ini digelar sebagai bagian dari bentuk pengawalan kepada seluruh pengguna identitas Mahasiswa Pencinta Alam (MPA) untuk menjaga kehormatan sejarahnya. Kelompok MPA sebagai bagian dari masyarakat yang akrab dengan Gunung Bulu Bawakaraeng dianggap belum cukup berperan dan memberikan kontribusi yang berarti menyoal persoalan tersebut.
Ketua Umum Nitro Pencinta Alam (NPA) Afiliasi Ummawati dalam sambutannya berharap segenap pengguna identitas MPA dapat proaktif serta kritis dalam menyikapi persoalan ini. Menurutnya, ketidakmampuan untuk menemukan sumber masalahnya adalah sebab dari lahirnya kebijakan yang tidak tepat.
“Persoalan Gunung Bulu Bawakaraeng adalah soal yang tidak bisa dituntaskan dengan pemahaman yang dangkal. Persoalannya bersifat sistemik dan kompleks, sehingga keliru besar jika hanya dilihat sebatas persoalan sampah atau kerusakan vegetasi saja. Untuk itu saya berharap, sebagai sesama pengguna identitas MPA, mari kita sama-sama menyikapinya secara kritis dan memerjuangkan solusi yang tepat,” Ungkapnya.
Ketua Umum NPA Afiliasi ini juga turut mengkritik kekeliruan pengambil kebijakan dalam menyikapi masalah yang ada. Menurutnya, pemerintah tingkat kabupaten maupun provinsi tidak cukup menguasai dengan baik persoalan dan sama sekali belum menunjukkan kesungguhan serta tindakan nyata untuk memperjelas status hukum Gunung Bulu Bawakaraeng yang secara historis merupakan saksi awal peradaban di selatan sulawesi.
“Letak dari permasalahan utamanya adalah manusia yang hidup di atasnya (gunung), bukan sedangkal seperti hilangnya vegetasi atau berserakannya sampah. Jadi, solusi yang paling mendasar adalah pendidikan manusianya sambil menyegerakan payung hukum pada gunungnya untuk menekan laju perilaku destruktif. Sayangnya, pemerintah terkait belum paham dan nampaknya tidak bersungguh-sungguh mengupayakannya. Dalam hal ini tentunya organ MPA tak boleh diam melihat persoalan ini,” Ungkapnya.
Senada dengan penuturan Ummawati mengenai kekeliruan pengambil kebijakan dalam menyikapi masalah ini, Ega, Ketua Panitia Diskusi “Introspeksi” Kepencintaalaman juga menyayangkan dan mengecam sikap pemerintah yang terkesan tidak objektif dengan mendiskreditkan istilah pendaki sebagai penyebab kerusakan di Gunung Bulu Bawakaraeng, “Sebagai suatu profesi (keilmuan), tentu saja keliru besar jika istilah pendaki yang mesti dijatuhkan atau dikambinghitamkan atas persoalan ini,” ucapnya.
Seluruh persoalan ini perlu disikapi dengan melihatnya secara keseluruhan, bukan hanya dari satu aspek saja. Kerusakan Gunung Bulu Bawakaraeng telah didahului oleh krisis moral manusia akibat kesalahan cara pandangnya dalam memosikan gunung. Sebagian orang menganggap permasalahan sampah sesederhana membersihkannya, kerusakan pada pohon juga sebatas melakukan penghijauan ulang. Semua itu tidak berarti apabila tidak dibarengi dengan cara pandang kita melihat Gunung Bulu Bawakaraeng.
Akhir kegiatan Diskusi “Instrospeksi” Kepencintaalaman ini menghasilkan pernyataan sikap (Position of Standing) sebagai berikut,
Pernyataan Sikap (Position of Standing)
“Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, ketundukan manusia sebagai makhluk mulia dan sempurna menghadirkan kemaslahatan dan menghilangkan kemudaratan merupakan wujud kepedulian, amanah, dan penghambaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Gunung Bulu Bawakaraeng adalah Firdaus Allah di muka bumi dan Kalam Allah yang terpatri pada hak makhluk. Serta Mahasiswa Pencinta Alam (MPA) berkewajiban mengantarkan hak yang bersemayam pada fakultas-fakultas alam semesta menuju Hak Tuhan Yang Maha Esa.
Gunung Bulu Bawakaraeng merupakan saksi awal peradaban manusia di Selatan Sulawesi. Ia-lah semaian identitas ajaran mangkasarak dan menjadi akar kerajaan Gowa serta kerajaan-kerajaan lain. Ketidaktahuan dan minimnya pemahaman sejarah menjadi sebab utama perubahan cara berpikir masyarakat menjadi meterialistis, ditambah lagi pengambilan kebijakan pemerintah yang ikut memandang Gunung Bulu Bawakaraeng sebagai objek sumber penghasilan. Pada posisi inilah gunung Bulu Bawakaraeng menjadi objek pemuas- pemuas nafsu keduniawian.
Isu sampah dan kerusakan vegetasi yang diwacanakan oleh pemerintah merupakan pemahaman yang sangat dangkal dan terbaca sangat politis untuk dijadikan alasan lahirnya kebijakan. Begitu juga dengan tuduhan pemerintah terhadap istilah “pendaki” sangatlah berpotensi politis, tidak akademis, dan tendensius. Terhadap persoalan ini sebaiknya menggunakan sebutan perilaku dan aktivitas pengunjung.
Pengguna sebutan konsepsi mahasiswa pencinta alam sebagai salah satu aktor kritis lapisan terakhir idealisme mahasiswa juga tengah mengalami krisis nilai diatasi rusak terzaliminya Gunung Bulu Bawakaraeng. Oleh karena itu, mengingatkan kepada seluruh pengguna sebutan konsepsi Mahasiswa Pencinta Alam pencinta alam untuk menghormati kemuliaan sejarah Mahasiswa Pencinta Alam (MPA) dan tidak menjerumuskan konsepsi Mahasiswa Pencinta Alam ke dalam ranah politik praktis. Kemudian, kepada pemerintah serta seluruh elemen dan golongan masyarakat untuk menyadari dan mendorong cultural landscape heritage menjadi status hukum Gunung Bulu Bawakaraeng sebagai solusi ril dari seluruh permasalahan yang mengakar dan akan mengembalikan fungsi dan kedudukan Gunung Bulu’ Bawakaraeng (poterangngi Bulu Bawakaraeng ri memangnganna)
Pernyataan ini kami sampaikan secara terbuka pada Tanggal 26 Maret 2019, yang bertepatan dengan peringatan Hari Gunung Bulu Bawakaraeng sebagai momentum untuk mengingatkan semua orang tentang ni’mat Allah dan peristiwa bencana alam debris slide / debris flow di Gunung Bulu Bawakaraeng pada 26 Maret 2004.
Lobby kampus STIM Nitro makassar, 26 Maret 2019.
Forum Diskusi ‘Introspeksi’ Kepencintaalaman”. (Andy Marko)