Oleh: Widya Juniaty
Krieeeeettt.. Klakk! Pintu terbuka. Ada seseorang yang keluar dari salah satu kamar pasien. Tampak seorang laki-laki berbadan tinggi dengan sebuah medali kelulusan tergantung di lehernya. Ia berjalan di koridor rumah sakit. Langkahnya tertatih, seperti tidak memiliki arah. Sedang di tangan kirinya, terdapat sebuah kertas. Matanya terlihat sembab dan pandangannya kosong.
Ia terus berjalan. Anehnya, ia tidak menambrak apapun meski pandangannya ke bawah. Padahal hanya remang-remang. Kakinya seolah dituntun oleh cahaya bulan. Begitu dilihatnya bahwa tempatnya menapak sudah berubah, ia langsung menyadari tempat itu.
“Taman ya.. tidak banyak yang berubah ternyata”
Tidak jauh dari tempatnya berdiri, ada sebuah bangku yang diatasnya duduk seorang perempuan dengan rambut panjang berwarna coklat. Ia berjalan menuju bangku itu. Karena matanya yang sembab ia tidak dapat melihat jelas wajah perempuan itu.Kulitnya putih, seolah bersinar terkena sinar bulan. Dari pakaiannya, sepertinya ia salah satu pasien. Ketika dilihatnya perempuan itu, perasaannya terasa nyaman. Ia lalu duduk di sampingnya. Tiba-tiba perempuan itu berbicara.
“Bulannya cantik ya?” Katanya sambil menatap langit.
“Ya, hanya dia yang bersinar di tengah gelap. Dia berbeda karena itu dia cantik”.
“Apa kau tahu? Ungkapan ‘bulan cantik’ atau tsuki ga kirei adalah ungkapan yang digunakan untuk menyatakan perasaan di Jepang. Sangat romantis, bukan?” ucapnya sambil tersenyum menatapnya.
“Ya aku tahu dan aku jadi tahu kau adalah gadis yang cerewet…”
Perempuan itu tertawa lepas.
“Hahaha.. kau ini blak-blakan sekali. Asal tahu saja, aku adalah gadis yang periang bukan gadis yang cerewet. Lihat dirimu! Dibanding aku, kau adalah laki-laki paling pemurung yang pernah aku temui. Apa yang terjadi padamu?”
Awalnya laki-laki itu enggan bercerita pada siapapun tentang kesedihannya. Namun, entah mengapa suara perempuan itu seakan tak dapat ia tolak. Seperti ada kehangatan yang menyelubungi hatinya. Walau begitu, ia masih ragu untuk bercerita. Lalu ia bertanya pada perempuan itu.
“Apa yang kau pikirkan ketika merasakan sukacita dan dukacita di waktu yang sama?”
Sejenak perempuan itu berpikir lalu menjawab.
“Hm.. itu sulit. Tapi aku akan memilih salah satunya”
“Memilih salah satunya? Bagaimana itu?”
“Menempatkan mereka di saatnya masing-masing”
Laki-laki itu semakin heran dengan jawaban perempuan itu.
“Aku tidak mengerti maksudmu. Mereka muncul di saat yang sama. Hari ini aku menyelesaikan studiku dan mendapat gelar lulusan terbaik. Tetapi, di hari ini juga aku mendapat kabar bahwa nyawa orang yang kusayangi tidak terselamatkan. Aku tidak berada di sampingnya bahkan di saat-saat terakhirnya. Begitu sampai disini, bukannya mendapati dirinya.. yang kudapati malahan hanya ini sepucuk surat yang ia tulis tangan. Ia hanya menulis maaf dan terima kasih padahal bukan itu yang aku butuhkan”
Perempuan itu terdiam mendengarnya. Lalu mulai bertanya.
“Apa dia tidak mengabarimu tentang apa yang akan dia lalui hari ini?’
Ia merasa bahwa perempuan itu tidak juga paham dengan apa yang ia rasakan. Ia memutuskan untuk menjelaskan semuanya agar perempuan itu dapat mengerti maksudnya.
“Namanya Arunika, panggilannya Ika. Ika bukan tipe seperti itu. Ika selalu mengabariku segala hal, apa yang dia lakukan, apa yang dia rasakan. Dia gadis yang penuh semangat, energinya seakan tak ada habisnya. Aku dan Ika sebelumnya satu sekolah tetapi kami baru dekat di perkuliahan. Dia tampak berbeda dari banyak perempuan yang kutemui jadi aku jatuh hati lalu berpacaran dengannya. Setelah kami berpacaran, Ika mulai banyak cerita tentang dirinya termasuk gagal ginjal kronis yang dideritanya. Namun, hal itu justru tidak mengurangi perasaanku. Aku semakin mencintainya dan ingin menjaganya. Aku keluar dari jurusan sastra dan mulai kuliah kedokteran. Jadi, aku berada setahun di bawah Ika. Ketika dia tahu itu kulakukan untuk dirinya, dia begitu marah. Aku juga marah padanya, dia selalu memikirkan orang lain tapi tidak memikirkan dirinya”
“Aku tidak bisa marah terlalu lama padanya jadi kami berbaikan. Di tahun ketiga perkuliahannya, Ika mulai jarang masuk kelas karena penyakitnya yang semakin parah. Berbulan-bulan hidupnya ia lalui di dalam sebuah kamar. Minum obat, cuci darah telah menjadi rutinitas tak terhindarkan. Yang membuatku kagum, Ika tidak pernah mengeluh dengan apa yang dialaminya. Dia selalu punya cara. Dia merasa bebas dengan melukis, dia merasa bebas berimajinasi dengan membaca banyak novel, kadang dia terlihat asyik bermain bersama anak-anak di taman ini. Menurutnya, obat dari segala penyakit adalah hati yang gembira. Aku senang melihatnya tersenyum melakukan semuanya,” lanjutnya.
“Lalu apa hubungannya dengan apa yang terjadi di hari ini?”
Perasaannya berubah jadi kesal ketika pertanyaan itu sampai di telinganya. Perasaan laki-laki itu seakan berkecamuk dalam dirinya. Jauh di lubuk hati yang sebenarnya hanya ada kesedihan. Baginya, segala kata yang keluar dari mulutnya hanyalah elegi yang tak kan habis. Namun, lagi-lagi ia tak dapat menolak suara perempuan itu dan menjawab pertayaannya.
“Ika menjalani operasi dini hari tadi dan hari ini aku diwisuda. Karena sibuk, aku baru sempat kesini di sore hari. Begitu sampai aku hanya mendapati kamar yang kosong. Dengan kebingungan, aku memeriksa semua kamar pasien, aku tidak mendapati Ika. Hingga aku bertemu suster yang biasa merawat Ika, ia lalu memberitahuku bahwa operasinya gagal dan Ika langsung dimakamkan oleh keluarganya. Seketika tubuhku seakan telah didera.. aku bertanya mengapa suster tidak menghubungiku dengan nada yang marah. Ternyata pihak rumah sakit sudah mencoba menghubungiku tapi handphone-ku saat itu dalam keadaan non-aktif. Semalaman aku berada di kamarnya, membaca suratnya.. mengingat kata-kata terakhir yang ia ucapkan padaku: ‘aku akan berjuang jadi tunggu aku’. Berpikir bahwa semua akan baik-baik saja rupanya mengantarku pada penyesalan. Haha.. padahal aku seorang dokter tapi menjaga satu nyawa pun tak bisa. Jika saja aku cepat kesini.. aku sangat menantikan senyum hangat darinya.. aku sangat menyesal.. maaf karena terlambat.. Ika…”
Sejak awal ia bercerita, mata laki-laki itu sudah berkaca-kaca. Tangisnya seketika pecah begitu ia berkata maaf. Di hari ia kehilangan Arunika, rasanya ia kehilangan segalanya. Setelah terdiam mendengar semuanya, perempuan itu mulai mengelus pundak laki-laki itu.
“Tolong jangan menyalahkan dirimu atas semua yang terjadi. Ini bukan keinginan kita semua, tetapi keinginan yang di Atas. Inilah yang terbaik bagi Ika. Penyakit yang membelenggunya kini lepas darinya dan dia bisa tersenyum tanpa menahan sakitnya lagi. Hanya ada penderitaan di sepanjang hidupnya bila dia terus mencoba kuat. Aku yakin kau tahu itu.”
Mendengar ucapan perempuan itu, laki-laki itu mulai tenang.
“Aku pikir kau benar.. beberapa kali aku melihatnya menangis sendirian. Aku merasa sesak melihatnya. Kesepian dan tak berdaya. Jika memang begitu, aku akan sangat lega”
Sambil mengelus kepala laki-laki itu, perempuan itu berkata
“Tidak ada kata terlambat. Aku ingin kau terus hidup dan menyelamatkan banyak nyawa. Tidak ada yang abadi. Kebahagiaan dan kesedihan memiliki waktunya. Aku ingin kesedihanmu berakhir dan mulai ciptakan kebahagiaanmu sendiri”.
“Baik. Aku mengerti. Tapi benarkah aku tidak terlambat?”
“Aku selalu menunggumu datang ke sini. Aku selalu menunggu di saat aku akan mengucapkan selamat atas gelar Sarjana Kedokteranmu, dan selamat telah menjadi lulusan terbaik, aku bangga padamu, Adi. Terima kasih.”
“Tu-tunggu.. kau.. Siapa namamu?”
“Aku.. “
Pandangan Adi mulai terlihat jelas. Di saat yang sama ketika perempuan itu belum selesai bicara, tiba-tiba saja cahaya matahari yang terbit menusuk pandangannya. Perempuan yang di sampingnya tadi hilang tanpa jejak.
“Ternyata sudah pagi. Cahaya matahari terbit memang sehangat ini ya?”
Adi terdiam lalu tersadar satu hal.
“Oh begitu ya.. jadi kau menyempatkan diri mengobrol denganku. Bahkan di saat terakhir pun kau tidak ingin kehilangan waktu bersamaku.. Maaf Ika, kesedihan membuatku lupa dengan kebahagiaan yang kulalui bersamamu. Aku akan membuat kebahagiaanku sendiri. Selamat tinggal gadis cerewet.. terima kasih.” Katanya sambil tersenyum lega.
Adi berdiri lalu berjalan meninggalkan taman itu.
Adi kemudian melanjutkan studi kedokteran untuk mendapat gelar profesi. Ia berencana menjadi dokter di rumah sakit tempat Arunika dirawat dulu. Ia ingin memenuhi keinginan terakhir Arunika agar menyembuhkan banyak orang sakit. Kini ia punya tujuan hidup yang baru. Tidak ada gunanya terus melihat ke belakang karena hidup akan terus berjalan.
Oleh: Putri Aliqa Umayyah Ilustrasi: Pinterest Di sebuah rumah yang sederhana, terdapat seorang wanita yang…
Oleh: Muh. Cahyo Dherian Ilustrasi: Widya Juniaty Dikeramaian yang memekakkan telinga, terdapat seorang anak yang…
Tulisan : Muhammad Alfaridzi Foto : Muhammad Alfaridzi Kegiatan Basic Public Relations (PR) Class yang digelar di…
Penulis: Jessy Marty R. Loardi Editor: Satriulandari Foto : KIFO KOSMIK Basic PR Class kembali diadakan…
Penulis: Kayla Aulia Djibran Editor: Satriulandari Foto : KIFO KOSMIK Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Kosmik) melalui…