Teks oleh Andi Feninda Amalia
Judul : The Sixth Sense
Sutradara : M. Night Shyamalan
Tanggal Rilis : 2 Agustus 1999 (Philadelphia, Pennsylvania)
Produser : Frank Marshall, Kathleen Kennedy, Barry Mendel
Pemeran : Haley Joel Osment, Bruce Willis, Toni Collette, Donnie Wahlberg
Bercerita tentang indera keenam, Shyamalan yang merupakan sutradara sekaligus penulis skenario film ini memperlihatkan tentang perspektif kebanyakan orang yang pasti memfokuskan pada hal-hal yang bersifat aneh dan raib.
Keraiban itulah yang menjadi main case dalam film ini. Seorang anak kecil, Cole Sear (Haley Joel Osment) harus rela dianggap anak yang kurang waras karena mampu berinteraksi langsung dengan hantu. Hal ini Ia rahasiakan dari sang ibu (Toni Colette) dan karena indera keenamnya ini, ia harus melewati kehidupan yang suram; Bahkan bersembunyi di dalam gereja setiap hari dan mengambil patung-patung suci dari sana. Ia bahkan rela tidur di dalam kelambu merah yang dibuatnya sendiri dibanding di kamar tidurnya.
Atas kesepian dan kesuraman itu, Dr. Malcolm Crowe (Bruce Willis) sebagai psikiatris terbaik berusaha membantu Cole menghadapi masalahnya seperti salah satu pasiennya dahulu, Vincent Grey (Donnie Wahlberg). Namun, secara tidak sadar, Dr. Crowe juga menjadi pasien bagi Cole karena menurutnya, Cole pun mampu menjadi pendengar yang baik terkait dirinya dan istrinya yang sedang berada dalam masalah.
Film ini menjadi salah satu dari sekian film yang memiliki banyak nominasi oscar karena tiap-tiap pemeran mampu melakonkan dan merealisasikan kenyataan yang ada dengan baik. Dari Cole misalnya, Haley yang mampu membawakan karakternya sebagai anak ‘indigo’ yang terlihat aneh, penakut, dan benar-benar terisolasi dari kehidupan seperti biasanya. Haley, dengan mimik dan tutur katanya yang kuat, mampu membawa kita kepada pandangan bahwa anak-anak yang mempunyai indera keenam memang butuh perhatian lebih, butuh kasih sayang dan tempat berbagi. Nah, Dr. Crowe tersebut pun benar-benar melakoni perannya sebagai ‘tempat berbagi’ yang baik.
Berangkat dari pemeran, sumbangsih terbesar mengapa film ini layak diacungi jempol adalah ide ceritanya yang menggunakan alur plot twist. The Sixth Sense ini benar-benar akan ‘menampar’ kita habis-habisan di akhir cerita jika kita tidak cermat menontonnya sejak menit pertama film ini dimulai. Betapa tidak, bahwa orang yang menurut kita butuh bantuan lebih ternyata berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Jika sepanjang perjalanan film tersebut tampak Cole butuh perhatian, justru sebenarnya Dr. Crowe-lah yang membutuhkannya. Ia hanya tidak sadar, bahwa sebenarnya pertemuannya dengan Cole bukan sekadar kewajiban menyembuhkan anak yang dilabeli freak itu, justru Crowe lah yang sebenarnya butuh bantuan. Dari perspektif itupun dapat disimpulkan bahwa tidak selamanya orang-orang yang selalu menolong kita tidak mempunyai masalah. Bisa saja, masalah yang dihadapinya lebih berat dari apa yang kita lewati. Bisa saja, mereka yang selalu menolong kita belum tentu bisa menolong dan membantu dirinya sendiri.
Masih tentang ide cerita, walau mengangkat hal yang bersifat raib, sekali lagi Shyamalan tidak lupa mengangkat realitas-realitas sosial yang ada disekitar kita. Tentang anak kecil yang terasingkan karena dianggap aneh (Cole yang bisa melihat hantu dan dibully teman-temannya), tentang single mother dan rasa tertekannya mengurus anak seorang diri (ibu Cole yang punya dua pekerjaan setiap harinya), tentang perselisihan suami-istri (permasalahan Dr. Crowe dan istrinya), dan masih banyak lagi. Semua dibungkus dengan baik, pula pelakonannya.
The Sixth Sense mengajarkan hal penting tentang ‘hantu’ yang konon berada di sekitar kita. Walau terlihat menakutkan, secara tersirat Shyamalan menyampaikan melalui film ini bahwa apa yang kita pandang buruk belum tentu buruk adanya. Beliau memberikan kita paradigma bahwa keberadaan makhluk halus, hal-hal raib di sekeliling kita tidak serta-merta untuk mencelakai atau menjahati. Mungkin saja ia butuh bantuan, sebagaimana arwah-arwah yang selalu ditemui Cole setiap harinya, termasuk Dr. Crowe itu sendiri. Mungkin saja, ‘mereka’ ingin kita menjadi jembatan untuk menyampaikan hal yang tak dapat disampaikan sebelum direnggut nyawanya.
Selebihnya, film yang diadaptasi dari novel Stephen King ini benar-benar memukau. Latar waktu yang lampau—pun tanggal rilisnya tidak membuatnya kalah dari film-film masa kini. tentu saja karena kemasan ide ceritanya yang brilian dan bagaimana cerita tersebut digambarkan dengan baik. Hanya saja, beberapa adegan di film ini bersifat kekerasan dan tidak untuk dipertontonkan kepada anak-anak, sehingga segmentasinya terbatas. Selain itu, walau terlihat ‘ringan’, film ini benar-benar harus dicermati dengan baik sejak awal hingga akhir, dan akan membuat kita cukup berpikir keras ketika menontonnya.