Darurat Literasi Melucuti Ibu Pertiwi

0
1140

Penulis: Gilang Ramadhan

Foto: Kifo Kosmik/Khairil Amri

Pernahkah kita berpikir tentang suatu masa yang memperlihatkan keadaan Indonesia hampir tidak mengenali kertas, pena, dan sejenisnya? Menulis bukan lagi aktivitas yang menarik untuk dilakukan. Membaca bukan lagi hal yang perlu untuk digencar-gencarkan. Umat manusia mutlak menuju kepada sebuah peradaban baru. Teknologi yang semakin merajai jagat alam raya sampai mereka lupa tentang betapa pentingnya literasi. Sebuah kata yang tidak sesederhana pengucapannya. Kata yang mewakili revolusi perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan hingga memajukan sebuah kehidupan yang lebih terarah. Mengantarkan para pemikir, penemu, dan pencipta sehingga lahirnya sebuah era dimana teknologi itu ada. Lucunya literasi yang mengandung ilmu pengetahuan lambat laun dinilai sebagai hal yang sudah sangat tertinggal, tidak relevan dengan kondisi apa yang dunia sebenar-benarnya perlukan.

Indonesia sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi era besar, bonus demografi. Sebuah era dimana para pemuda dituntut untuk lebih berpikir dan bertindak secara produktif guna meningkatkan kualitas bangsa dan negaranya. Pada bagian ini, penulis ingin mempertanyakan satu hal yang diyakini akan berkembang menjadi pertanyaan-pertanyaan yang perlu dicekoki akan kebenaran dari sebuah jawaban. Pantaskah pemuda menghadapi era produktif itu? Setelah menyaksikan berbagai realitas yang menggelitik perut ibu pertiwi. Anak bangsa yang dipercaya mampu memberikan inovasi baru kepada wajah dunia terbelenggu akan stigma malas membaca buku. Lalu perubahan apalagi yang bisa diperoleh dari manusia yang lebih sering berkeluh kesah dibandingkan menorehkan karya?

Jika polemik buta aksara atau buta huruf pernah melucuti Indonesia maka yang berkembang saat ini adalah polemik darurat aksara atau darurat literasi. Membaca dan menulis diartikan sebagai aktivitas formal yang hanya dilakukan dalam penerapan sistem pendidikan. Sementara ketika ditanya mengapa hal tersebut bisa terjadi, beberapa di antaranya berdalih membaca dan menulis bukanlah hobi ataupun sebuah keahlian khusus yang perlu untuk dilakukan oleh setiap individu. Zaman semakin canggih. Pengetahuan semakin berkembang diikuti dengan pemikiran apatis yang terlalu mengambang.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang gemar berbenah. Gemar memetakan makna. Salah satu di antara mencari makna alam semesta tersebut adalah dengan meningkatkan frekuensi untuk memperdalam literasi. Disamping fakta yang terlalu rumit untuk ditertawakan itu, timbul peristiwa-peristiwa baru. Seperti penyitaan buku yang menganut “ilmu pengetahuan kiri” atau pelarangan buku yang katanya tidak komprehensif lagi. Hal-hal ini mengantarkan kita kembali kepada sebuah era penculikan hingga pembunuhan bagi orang-orang yang bersikeras menganut pemikiran berbeda dengan penguasa. Jika penyakit darutat literasi dan penyitaan buku terjadi secara bersamaan dan terus berkesinambungan, akan seperti apa bangsa ini kedepannya? Bukankah teramat mengguncangkan akal sehat tatkala ingin menjadi negara maju menembus era bonus demografi, revolusi industri 4.0 tapi untuk menaruh minat dan perhatian pada literasi saja tidak bisa? lupakan sejenak bayang-bayang masa depan tentang hologram yang bisa muncul dari udara. Memori kecil yang bisa menyalin dan merampungkan catatan secara kilat yang di dalamnya berisi tentang ilmu pengetahuan yang ada di alam semesta. Lupakan, sekali lagi lupakan.

Keberhasilan suatu anak bangsa dalam meningkatkan kualitas negaranya tidak luput dari pemaksimalan diri terhadap peningkatan literasi hingga mereka menjadi bangsa yang besar. Findlandia, Perancis, dan Jepang menjadi tiga negara yang sedang digadagang-gadang mampu mengantarkan masyarakat dunia untuk lebih memperdalam ilmu pengetahuan. Negara yang memberikan sumbangsi besar terhadap laju perkembangan teknologi saja tetap mempertahankan budaya membaca, budaya menulis. Lalu kita sebagai negara dengan anak bangsa selaku penikmat teknologi yang masuk dalam jajaran pengguna terbesar tidak mengindahkan fakta dan realitas tersebut.

Sebagai generasi penerus yang akan melanjutkan pembangunan bangsa, sepatutnya perlu lebih memahami hakikat dari ilmu pengetahuan. Penulispun percaya bahwa setiap era memiliki tantangannya tersendiri. Justru negara yang tidak memiliki masalah bisa dikatakan sebagai negara yang tidak baik-baik saja bukan? Pemikiran dan tindakan harus selalu simetris. Jangan sampai gemar menuntut keadilan terhadap carut-marutnya pendidikan lalu lupa menjalankan kewajiban sebagai manusia terpelajar. Jika menjadi terpelajar masih sangat tinggi untuk tergapai, paling tidak jangan menjadi pemuda apatis yang tidak mengerti tentang permasalahan yang membutuhkan analisis. Tumbuh dan berkembang serta menjadi generasi yang gemar berbenah sudah sangat cukup menjadi bekal dalam mengantarkan bangsa dan negara kepada kesejahteraan.

Mari selamatkan ibu pertiwi dengan menaruh kepedulian terhadap pentingnya berliterasi. Salam Indonesia cerdas!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here