Teks oleh Huda Furqana
Foto: okezone.com
Selama pergerakan kita masih di jalan yang lurus, memercayai dan meyakini Tuhan yang Maha Esa dengan melaksanakan perintah dan ajaran-Nya secara kuat dan berani niscaya hal apapun tak akan ada yang bisa menghalanginya.
Landasan tulisan ini saya buat adalah semoga ini bisa menjadi:
1. Nilai Ibadah
2. Nilai Sosial
Geografis Gunung Bulu Bawakaraeng dikelilingi oleh 6 kabupaten yang di antarannya adalah: Malino, Gowa, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, dan Makassar. Setelah kalimat itu terdengar ke peserta dan saya sendiri. Tiba-tiba saya memikirkan perkataan mengenai Makassar, ada apa dengan kota Makassar? Ada apa dengan orang yang tinggal di Makassar? Apakah orang Makassar ikut terlibat dan berperan penting untuk Gunung Bulu’ Bawakaraeng? Entahlah itu semua hanya pikiran liar saya sendiri.
Gunung Bulu’ Bawakaraeng adalah sumber kehidupan seperti tower yang sangat besar dan bermanfaat untuk 6 kabupaten tersebut. Jika tower (menara) sumber kehidupan kita rusak, maka apa yang terjadi dengan 6 kabupaten yang sebagai wadah untuk tempat tinggal kita? Tempat belajar kita? Tempat kerja kita? Tempat bertemu teman dan keluarga kita? Air yang kita minum? Air yang kita pakai untuk masak? Air yang kita pakai untuk mandi? Air yang kita pakai untuk menyiram tanaman? Pernahkah dalam setiap ibadah kita, terutama orang yang sering mendaki ke Gunung Bulu’ Bawakaraeng menyelipkan doa untuk Gunung Bulu’ Bawakaraeng?
“Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan, dan gunung-gunung sebagai pasak?” (An-Naba, 78: 6-7)
“Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk” (Surat An-Nahl: 15)
“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (An-Naml: 88)
Ilmu Pengetahuan abad ke-20 menemukan bahwa gunung memiliki akar yang dalamnya berkali lipat dari tinggi gunung tersebut seperti akar yang menghujam ke dalam bumi sehingga menyerupai pasak atau paku besar. Itu merupakan benda yang menancap ke dalam sehingga kepala yang tampak di luar selalu lebih pendek dari panjang pasak yang menghujam ke dalam.
Gunung Senantiasa Bergerak, meski menjadi pasak, namun gunung tidak diam tapi senantiasa selalu bergerak dan mengikuti pergerakan lempeng benua diatas lapisan magma seolah awan yang bergerak di atas langit. Permukaan bumi menyatu pada masa-masa awal bumi, namun kemudian bergeser ke arah yang berbeda-beda sehingga terpisah ketika mereka bergerak saling menjauhi. Lempengan-lempengan tersebut terus-menerus bergerak, dan menghasilkan perubahan pada geografi bumi secara perlahan.
Sebelum memulai materi kepada peserta, ada video/film dokumenter yang diputar dan berdurasi lebih dari 30 menit tentang Gunung Bulu’ Bawakaraeng, membuat wawasan orang yang menontonnya bertambah, mengingat dan sadar karena hal-hal yang ada di dalam dokumenter itu. Bang Nevy juga mengatakan ada ilmu, aturan, adab dan etika yang harus dipelajari/dipahami sebelum mendaki ke Gunung Bulu’Bawakaraeng. Kurangnya pemahaman seperti itu dipaparkan dengan lengkap oleh Bang Nevy Jamest, Keynote Speaker. Bang Nevy Jamest juga memberikan materi kepada peserta mengenai nama Gunung Bulu Bawakaraeng dalam perspektif etimologi, sejarahnya, dan fungsi serta kedudukan Gunung Bulu’Bawakaraeng.
Ada isu yang berkembang di ruang sosial kita sampai hari ini, mengapa ada kegiatan aktifitas keagamaan di Gunung Bulu’Bawakaraeng dan Haji Gunung Bulu’ Bawakaraeng? Bang Nevy Jamest menjelaskannya secara terperinci dan jujur. Ada mimbar “suci” yang diciptakan oleh beberapa oknum dan menjustifkasi orang-orang yang melakukan aktifitas keagamaan di Gunung Bulu’Bawakaraeng. Tanpa data dan fakta jugalah yang kemudian menciptakan Gelar Haji Gunung Bulu’ Bawakaraeng.
Waktu ke waktu setelah isu itu tersebar melalui beberapa perangkat, ada oknum lain yang mendapatkan isu berita tersebut, kemudian berpendapat melalui perangkat juga bahwa Gelar Haji Gunung Bulu’ Bawakaraeng itu “sesat” tanpa ada kroscek kebenaran beritanya dahulu; Apakah betul gelar itu ada? Siapa yang mempunyai gelar itu? Darimana asal gelar itu? Kapan gelar itu muncul pertama kali? Kenapa bisa ada gelar itu? Bagaimana gelar itu bisa dimiliki? Jadi ini resensi.
Analoginya sepertinya ini: Ketika orang muslim Sholat Ied dan Sholat Idhul Adha, dimanakah orang muslim sholat? Di lapangan tentunya, Dan lapangan tempat sholat itu sifatnya adalah tanah. Begitu juga di Gunung Bulu’Bawakaraeng mempunyai sifat yang sama, salah satunya ialah tanah. Tempat semua orang muslim untuk beribadah; Sholat Ied dan Sholat Idhul Adha itu di tanah. Jadi semua orang muslim punya hak dimana mereka mau beribadah. (Resensi)
Menurut penulis, berita tersebut adalah fitnah. bukan Gunung Bulu’Bawakaraengnya serta orang-orang yang melakukan aktifitas keagamaan di Gunung Bulu’Bawakaraeng yang sesat dan adanya Haji Gunung Bulu’ Bawakaraeng itu tidak benar. (Resensi)
Pemateri kedua yaitu oleh Dr. Andi Tonggiroh ST, MT. Pemateri juga menerangkan apa efek sebab-akibat manusia yang mendaki ke Gunung Bulu’Bawakaraeng, Apa sebab-akibat yang terjadi dalam aktifitas manusia di Gunung Bulu’Bawakaraeng dan bagaimana dampak sebab-akibat dari jenis cuaca, gejala, bencana dan fenomena Alam di Gunung Bulu Bawakaraeng melalui sudut pandang Geologi.
Pemateri ketiga yaitu Prof. Dr. Ir. Dorothea Agnes Rampesela M.Sc, memaparkan hasil penelitiannya tentang air Di Gunung Bulu’Bawakaraeng dan sekitarnya. Memberikan pelatihan dan bekerja sama kepada warga-warga di daerah pengunungan, membuat posko-posko penjagaan di setiap titik dengan memberikan alat sebagai fungsi untuk mendeteksi kekuatan dan kecepatan; air hujan, air waduk, air di bili-bili dan lain-lain. Juga dalam hal-hal mengenai keilmuan tentang air, dan mengajarkan langkah pintarnya untuk menyelamatkan diri ketika suatu waktu bencana alam tidak diminta-minta akan tiba. bersama-sama dengan warga belajar; pembacaan peta, membuat jembatan penghubung untuk aktifitas warga yang melibatkan kerja sama dengan warga. Prof. Dr. Ir. Dorothea Agnes Rampesela M.Sc sangat menyukai hal-hal tentang air, dan dalam penelitiannya menemukan bahwa beberapa tempat wadah-wadah air yang tergenang di tanah setiap waktu akan habis dengan waktu tersendirinya karena ada jalur-jalur kecil di bawah air itu yang mengalir ke sungai/ke laut.
Belajar dari Peristiwa Gunung Bulu’ Bawakaraeng
Pernah terjadi longsor beberapa kali, banyak korban yang meninggal, rata-rata dari warga sekitar. Karena akibat dari alam yang sedang memperbaiki dan mengobati dirinya, sebabnya masih mengawang-mengawang di diri penulis. (maaf tidak ada datanya tapi ini dari sumber warga yang anaknya jadi almarhum karena longsor) Kejadiannya di Gunung Bulu’ Bawakareang, sudah beberapa kali juga terjadi kebakaran dimana-mana, di beberapa area Gunung Lompobattang dan Gunung Bulu’ Bawakaraeng, sebab dari Hukum Alam dan mungkin dari sebab aktifitas manusia/pendaki di gunung-gunung tersebut. Penebangan pohon dimana-mana dan salah satunya di Gunung Bulu’ Bawakaraeng di pos 9 yang sangat memprihatinkan, tujuannya masih tanda tanya. Ada beberapa pos di Gunung Bulu’Bawakaraeng yang air sungainya berhenti mengalir dan kotor. Oleh karena itu bukan lagi saatnya mempermasalahkan siapa oknum dibalik semua itu. Tapi bagaimana cara kita menjaga dan mencintai tower (menara) sumber kehidupan untuk tempat tinggal kita. bukan cuma Pemerhati Lingkungan saja yang wajib mencintai alam. Jadi kita sebagai manusia wajib mencintai Tuhan Yang Maha Esa dengan melaksanakan ajaran dan perintahnya juga mencintai ciptaan-Nya (melindungi, merawat dan bisa di tambahkan sendiri)
Ada Perbedaan Manusia dan Pemerhati Lingkungan. Manusia bergerak karena kesadaran & hatinya. Pemerhati Lingkungan menunggu uang dari orang atas lalu bergerak. Mengenai tentang pemerhati lingkungan jangan dipersempit seperti merawat pohon, menanam biji/pohon dan melestarikan lingkungan. Bukan hanya itu, ketika kita mengingatkan dan mendidik/mengajarkan orang-orang, kita juga sudah termasuk sebagai pemerhati lingkungan.
Jika gunung adalah tempat wisata untuk semua orang, kapan gunung itu bisa menyembuhkan/memperbaiki dirinya sendiri? Karena kegiatan pendakian serentak (banyak orang) sangat berpengaruh besar buat Gunung. efek negatifnya adalah merusak ekosistemnya, contoh air-air yang mengalir di sungai, digunakan langsung saja di air sungai yang mengalir dengan menggunakan bahan kimia; sabun badan, sabun wajah, odol gigi, shampo, sabunnya alat-alat SOP dan cara mencuci alatnya yang kotor, tidak digunakan dengan bijak. Pernahkah terpikir kalau kita melakukan hal-hal seperti itu, bagaimana dampaknya bagi orang-orang yang dibawah kaki Gunung Bulu Bawakaraeng? Kita juga menggunakan air yang mengalir itu sebagai kebutuhan sehari-hari kita.
Menghancur; karena sebab banyaknya pendaki yang mengisi Gunung Bulu’ Bawakaraeng dengan kegiatan pendakian serentak yang menyebabkan hewan-hewan yang ada di Gunung Bulu’Bawakaraeng tidak bisa mencari kebutuhannya karena ketakutan dan biasa juga rumput-rumput tinggi dipotong-potong. Sekarang Gunung Bulu’Bawakaraeng dan Gunung-Gunung lainnya sangat sesak. Bagi pendaki-pendaki yang terhormat, kita selalu mengadakan pendakian yang sangat banyak untuk pergi serentak mendaki ke Gunung Bulu’ Bawakaraeng hanya karena kepentingan sesuatu (?) apakah itu untuk aktualisasi diri? tidak masalah..
Walaupun kegiatan pendakian serentak itu tujuannya untuk mencari pengalaman, berolahraga, bersilaturahmi antara sesama dan berbagi cinta. Tapi kenapa harus Gunung Bulu’ Bawakaraeng yang menjadi ruang-ruang tersebut? Apakah kita sadar kegiatan pendakian serentak yang kita lakukan membuat tanah-tanah di Gunung Bulu’ Bawakaraeng menjadi turun? Setiap langkah beribu kaki yang menginjak rumput disana, membuatnya tidak bisa memperbaiki dirinya lagi karena kegiatan pendakian serentak kita, belum lagi dengan polusi nafas kita, (suhu tubuh) kita, suara kita, dan ampas dari kita.
Anehnya kegiatan pendakian serentak di Gunung Bulu’ Bawakaraeng yang entah kapan pertamanya terjadi berlanjut setiap tahun sampai tahun sekarang, 2017, asal muasal kegiatannya mungkin dari Sulawesi Selatan. Pertanyaan besar dari benak saya sendiri walaupun mereka orang-orang tertentu yang kerjaannya selalu mengadakan kegiatan pendakian serentak sadar bahwa yang mereka lakukan sangat merusak Gunung Bulu’ Bawakaraeng tapi kenapa mereka tetap mengadakan kegiatan pendakian serentaknya?
Mungkin ini jawaban salahnya, manusia belajar untuk menemukan kesalahannya dan memperbaiki kesalahannya. Untuk bisa mengikuti kegiatan pendakian serentak itu, pendaki harus mengisi formulir dan membayar dahulu sebagai transportasi pergi-pulang, beberapa ransum dan dapat baju eh ada juga sertifikatnya kalau tidak salah ingat.
Tahun 2013 lalu pendaki serentak yang ikut harus membayar kegiatan pendakian serentak di Makassar sebesar 250 ribu per/pendaki. Anggaplah 1 truk tentara biaya ppnya 2 jt dan 1 truk itu isinya ada 30 pendaki, dan ada 6 truk untuk kegiatan pendakian serentak. 30×6 =180 pendaki. Dan 250.000×180 = 45jt masuk di kantong mereka yang mengadakan kegiatan pendakian serentak. Biaya truk 6 = 12jt, ya biaya 1 baju kira-kira 50 ribuanlah, 50.000×180 = 9jt, 1 sertifikatnya 5.000×180 = 900ribu. Jadi sisa uangnya 45jt – 12jt – 9jt – 900 = 23jt + 100 ribu – 3,1jt untuk uang beberapa ransum; beras dan mie = sisa kotornya 20jt. Jadi sisa uang mereka sebesar 20jt dengan kepentingan kelompok orang-orang terhormat itu sendiri, keuntungan yang mereka dapatkan dari kegiatan pendakian serentak. Mereka sudah buta akan segala konsekuensi yang mereka lakukan hanya karena uang! Itu sudah membuktikan mereka pintar untuk mencari uang.
Gunung adalah rumah bagi hewan, rumput, tumbuhan, tanaman, pohon dan makhluk-makhluk lainnya, menurut saya, kita datang sebagai tamu yang belajar (permisi, tabe hanya tinggal sebentar) Bukan tempat untuk mencari uang. Bagaimana kita beradab, beretika, menjunjung nilai-nilai dan kesopanan pada suatu tempat yang kita datangi.
Analoginya begini; Ketika kita ada di rumah teman kita, lalu kita buang tai/sampah di sembarang tempat yang bukan pada tempatnya di sekitaran rumah teman kita. Apakah teman kita marah?
Namun Gunung Bulu’Bawakaraeng tidak pernah marah, malah mendoakan pendaki-pendaki yang lalai (pendaki yang berteriak tdk jelas dengan sengaja, maksudnya gila-gilaan untuk kesenangannya, selama sepanjang malam kadang tembus subuh, meninggalkan sampahnya, menggunakan air sungai tanpa aturan dan etika, tidak berkemanusiaan; pacaran, mabuk-mabukan dan mencuri.) Apa-apaan coba?
Gunung Bulu’Bawakaraeng punya cara sendiri untuk beribadah kepada sang Pencipta-Nya. Analogi lagi; Bagaimana perasaan dan pikiran kita yang berusaha fokus kepada Tuhan yang Maha Esa disaat yang bersamaan ada orang-orang yang menggangu kita sedang beribadah, Apakah kita bisa khusyu?
Gunung Bulu’ Bawakaraeng adalah tempat belajar bukan tempat wisata: lebih baiknya ada sesuatu yang kita bisa dapatkan disana apakah itu dengan pengalaman spritual, tulisan yang bermanfaat, foto & video yang berarti bagi diri dan orang lain. Dan bisa juga melakukan riset penelitian mengenai Gunung Bulu’ Bawakaraeng oleh penelitian kita dibawa turun sebagai manfaat bukan turun meninggalkan sampah disana! Yang selamat hanya fisiknya. tapi jiwa, hati dan pikirannya sudah mati!
Ada suatu cerita mengenai sejarah tembok china dibangun agar menghadang serangan musuh dari luar, tembok itu sangat tinggi, kuat, dan kokoh, bahan-bahan materialnya pun tidak sembarangan, maksudnya berkualitas dan cara membangun tembok itu sangat modern pada zaman itu mungkin hingga sampai sekarang. Tapi tembok itu bisa ditembusi dengan mudah, musuh cuma datang mengetuk pintu gerbangnya, setelah itu menyogok penjaga gerbang tembok China tersebut. – Nevy Jamest
Sangat mudah! Ada apa dengan kekuatan pembangunan fisik ini? Penulis masih percaya tidak ada sesuatu yang sia-sia tapi alangkah bijaknya kita membangun pembangunan manusianya dahulu, lalu membangun fisiknya.
Semoga tulisan ini bisa menjadi manfaat bagi kita semua, dan tulisan ini hanya sebagai bahan mengrekfleksikan diri dan juga perenungan diri. Penulis juga sangat terbuka untuk mendapat kritikan, saran dan masukan dari para pembaca. Terima kasih, Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatu.
Tulisan ini dibuat sebagai review Seminar Gunung Bulu’ Bawakaraeng yang diselenggarakan oleh SEMA FEB Unhas dan BE Kemahut Unhas pada 08 Mei 2017.