Kilas Balik Kisah R. A. Kartini, Sang Emansipator Wanita Indonesia

0
728
Foto: ugm.ac.id

Penulis: Maike Lusiana Tarukallo

Hari Kartini diperingati setiap tanggal 21 April di Indonesia untuk menghormati perjuangan R. A. Kartini dalam mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam bidang pendidikan. Atas jasa-jasanya, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 Tahun 1964.

R. A. Kartini yang memiliki nama lengkap Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat lahir di Jepara, Jawa Timur, pada tanggal 21 April 1879. Ayahnya bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV yang dikenal pada abad ke-19 sebagai salah satu bupati pertama yang memberikan pendidikan Barat kepada anak-anaknya.

R. A. Kartini tumbuh besar di lingkungan yang melakukan tindakan diskriminasi terhadap perempuan. Pada masa itu, perempuan sama sekali tidak diperbolehkan untuk mengenyam pendidikan. Akan tetapi, R. A. Kartini yang terlahir dalam sebuah keluarga bangsawan yang berpikiran maju membuatnya memperoleh kesempatan untuk menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School, sebuah Sekolah Dasar zaman kolonial Hindia Belanda di Indonesia yang hanya diperuntukkan bagi keturunan Eropa, keturunan Timur Asing, dan pribumi dari tokoh terkemuka. Meski demikian, R. A. Kartini hanya diperbolehkan menempuh pendidikan sampai usia 12 tahun karena harus menjalani masa pingitan, suatu tradisi yang kental dalam adat-istiadat Jawa pada saat itu.

Potret studio Raden Ajeng Kartini dengan orangtuanya, saudara perempuan, dan saudara laki-lakinya. Foto tahun 1890-1904. Repro Negatif.
Sumber : ugm.ac.id

Semasa hidupnya, R. A. Kartini banyak membaca buku, majalah, dan koran berbahasa Belanda. Di antaranya adalah koran De Locomotief, majalah Leestrommel dan De Hollandsche Lelie, dan buku De Stille Kraacht karya Louis Coperus dan Die Waffen Nieder karya Berta von Suttner. Bacaan-bacaan tersebutlah yang membuat pikiran R. A. Kartini semakin maju dan terbuka sebagaimana pemikiran perempuan Eropa (Belanda) pada waktu itu.

Berdasarkan situs Kemdikbud Jateng, ketertarikan R. A. Kartini terhadap pola pikir perempuan Eropa menimbulkan keinginan dalam dirinya untuk memajukan kehidupan perempuan Indonesia yang pada saat itu masih dipandang rendah dalam status sosial karena kurangnya pendidikan. Bagi R. A. Kartini, perempuan tidak hanya bertugas di dapur, sumur, dan kasur, tetapi juga harus mempunyai ilmu.

Sebagai perempuan yang berpikiran maju, R. A. Kartini ingin melanjutkan pendidikan, tetapi terhalang karena adanya tradisi pingitan yang harus ia jalani setelah berumur 12 tahun. Akan tetapi, tradisi itu tidak menyurutkan semangat R. A. Kartini untuk menuntut ilmu. Selama dipingit, R. A. Kartini menghabiskan waktunya untuk belajar sendiri dan menulis surat-surat kepada teman korespondesinya yang kebanyakan berasal dari Belanda, seperti Estelle “Stella” Zeehandelaar dan Rosa Abendanon yang juga sangat mendukung pemikiran-pemikiran R. A. Kartini.

Melalui surat-surat tersebut, R. A. Kartini menceritakan keadaan yang dialami oleh perempuan di Indonesia, khususnya di Jawa yang harus menjalani pingit, pernikahan paksa, dipoligami, tidak bisa bebas berpendapat, dan tidak dapat mengenyam pendidikan. R. A. Kartini juga menuliskan harapannya untuk memajukan pendidikan bagi kaum perempuan.

“Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Akan tetapi, karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunnatullah) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” Surat R. A. Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1901.

Perjuangan R. A. Kartini tidak hanya sebatas surat-menyurat untuk mendapatkan dukungan dari teman-teman korespondensinya, tetapi juga diwujudkan melalui aksi dan tindakan nyata dengan mendirikan sekolah wanita yang terletak di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang atas izin suaminya, K. R. M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Di sekolah tersebut, mereka diajarkan cara membaca, menulis, menjahit, menyulam, membuat kerajinan tangan, dan memasak.

Meski demikian, R. A. Kartini belum merasakan hasil dari perjuangannya ketika ia harus menghembuskan napas di usia 25 tahun pada tanggal 17 September 1904, empat hari setelah ia melahirkan anak semata wayangnya, R. M. Soesalit Djojoadhiningrat.

Setelah kematian Kartini, seorang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda, Mr. Jacques Henry Abendanon, mulai membukukan surat menyurat R. A. Kartini dengan teman-temannya di Eropa dengan judul “Door Duisternis Tot Licht” yang jika diartikan secara harfiah berarti “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh seorang sastrawan bernama Armijn Pane menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.

R. A. Kartini memang bukanlah pahlawan yang pernah mengangkat senjata melawan penjajah kolonial seperti yang dilakukan pahlawan wanita lainnya. Akan tetapi, buah pemikirannyalah yang memiliki sumbangsih besar terhadap kedudukan kaum perempuan di Indonesia. Hasilnya dapat kita lihat saat ini, perempuan sudah boleh menempuh pendidikan sampai ke jenjang yang lebih tinggi, bebas mengutarakan pendapatnya, dan memiliki kesempatan berkarir di berbagai bidang.

Selamat Hari Kartini untuk Kartini-Kartini muda Indonesia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here