Penulis : Nurul Izzah M
Foto : Comgastra Kosmik/ Moh.Kemal P dan Muh. Asry Badawi
Sunyi yang begitu menenangkan, aku isi dengan dentingan piano yang terdengar begitu nyaring di dalam rumah. Lambat laun terdengar suara gemuruh di luar sana. Aku menengok dari jendela, ternyata hujan turun malam ini. Kantuk tiba-tiba menghampiri tapi entah mengapa jari-jemariku seakan enggan untuk mengakhiri melodi yang mereka ciptakan.
Suara bel membuat aku sedikit terkejut. Aku melihat jam dinding yang kini menunjukkan pukul sembilan malam. Aku mengernyit. Kira-kira siapa yang bertamu malam-malam begini?
Aku memberanikan diri untuk membuka pintu. Dalam hati berdoa semoga di balik pintu ini bukan orang yang beniat jahat kepadaku.
Saat membuka pintu, aku terkejut ketika seorang pria berbaju hitam tiba-tiba memelukku.
Aku hampir memukulnya karena sudah bersikap seenaknya. Untung saja aku cepat sadar siapa yang kini sedang memelukku.
“Anataga inakute sabishi (Aku merindukanmu),” ucap pria berbaju hitam itu. Dia adalah Koharu Fabian, kekasihku. Sudah hampir setahun aku tidak bertemu dengannya, tentu aku juga merindukannya.
Fabian memang pria berdarah campuran Jepang dan Indonesia. Sudah hampir setahun dia menetap di Jepang, jadi selama itu juga aku menjalani hubungan jarak jauh dengannya.
“Mengapa tidak memberi kabar dulu?” Aku kemudian melepas pelukan kami. “Aku kan bisa menjemputmu di bandara
Dia tersenyum dan menekan hidungku. “Aku ingin memberi kejutan.”
Aku mengerucutkan bibirku kesal lalu mengajaknya masuk ke dalam rumah. Dia melangkahkan kaki sambil melihat suasana rumah yang begitu sepi. “Di mana Ayah dan Ibumu?” tanyanya heran.
“Sedang di luar kota,” jawabku singkat. Fabian hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Tiba-tiba pandangannya tertuju kepada piano di ruangan itu.
“Kau memainkannya?” Fabian bertanya lagi dan aku hanya menganggukkan kepalaku sembari tersenyum.
Dia mengusap rambutku dengan lembut. “Anak pintar. Teruslah berlatih.”
Fabian memang merupakan seorang pianis yang hebat. Dulu, dia merupakan guru privatku. Dari situ juga kisah cinta kami dimulai. Fabian mengajariku dengan begitu sabar dan lembut sampai aku akhirnya jatuh hati padanya.
“Apa kau sudah makan?”
Fabian berbalik ke arahku dengan ekspresi terkejutnya. “Wahh.. Aku sampai lupa kapan terakhir kali aku makan.” Dia kemudian menampakkan senyumnya. “Aku yang akan masak makan malam untuk kita,” lanjutnya.
Sebenarnya aku berencana makan malam di luar sekaligus ingin jalan dengannya. Rasanya sudah sangat lama sejak terakhir kali aku melakukan itu bersama Fabian. Namun karena dia terlihat bersemangat ingin memasak, aku hanya bisa mengangguk untuk mengiyakan.
Tepat pukul 10 malam, Fabian akhirnya menyajikan masakannya di meja makan. Aromanya begitu lezat sampai aku tidak bisa menunggu untuk segera mencicipinya.
Dia memandangku dengan penuh cinta. “Makan yang banyak, kau terlihat kurus.”
Aku tersenyum manis padanya dan lanjut memakan makananku. Setelah makan malam, aku ke dapur berniat mencuci piring-piring yang kotor. Fabian entah kemana, aku memilih untuk melakukan tugas ini sendirian.
Tiba-tiba aku mendengar denting yang begitu indah. Itu lagu Goodbye, aku yakin Fabian yang sedang memainkannya. Itu lagu yang pertama kali Fabian ajarkan kepadaku. Dulu dia mengatakan notes lagu itu cukup mudah untuk aku pelajari, sampai akhirnya itu menjadi lagu favorit kami.
Setelah aku selesai dengan urusanku, dentingan pianonya masih terdengar. Aku melangkahkan kakiku mengikuti sumber dari dentingan indah tersebut.
“Goodbye brown eyes, goodbye for now…” Aku nyanyikan syair lagu dengan iringan melodi piano dari Fabian. Aku melihatnya kagum. Dia terlihat begitu manis saat memainkan piano.
Fabian melirik ke arahku dan tersenyum. “Goodbye, sunshine. Take care of yourself, ” Fabian melanjutkan syair dari lagu itu.
“Mengapa melihatku seperti itu? Duduklah.” Dia kemudian menepuk tempat di sampingnya.
Aku mengangguk mengikuti keinginannya. Dentingan piano itu tercipta lagi dari jari jemarinya yang indah, membuat hatiku merasa begitu hangat. Aku menyandarkan kepalaku di pundaknya dan menikmati setiap melodi yang dia mainkan.
Tiba-tiba Fabian berhenti bermain. Dia menarik tanganku mengarahkan jariku ke tuts piano. “Cobalah mainkan satu lagu saja untukku.”
“Aku sedang tidak ingin bermain piano,” jawabku singkat.
Dia memandangku dengan tatapan kecewa. “Jika nanti kau merindukanku, kau harus memainkan piano ini.”
“Memangnya kapan kau akan kembali ke Jepang lagi?”
“Belum tahu,” jawab Fabian pelan. Dia kemudian menatap kedua mataku dengan pandangan yang sulit aku artikan. Detik selanjutnya tangannya terulur untuk mengelus pipiku. “Aku mencintaimu.”
Aku yakin pipiku kini sudah berwarna merah seperti kepiting rebus. Walaupun ini bukan kali pertama Fabian mengatakan cinta padaku, tapi entah mengapa jantungku tetap berdetak dua kali lebih cepat dan seperti ada jutaan kupu-kupu yang terbang dari perutku. “Aku juga mencintaimu, Fabian.”
—
Suara bel yang terdengar begitu nyaring membuatku terbangun. Aku membuka mataku perlahan. Sayup-sayup aku melihat sekitar, ini tidak nampak seperti kamarku. Aku membuka mataku lebih lebar. Ternyata aku ketiduran saat memainkan piano semalam. Aku melihat sekitar, tidak ada Fabian. Ternyata benar, itu hanya mimpi.
Aku menghembuskan nafas panjang. Merasa kecewa karena semalam hanya sebuah mimpi. Dia jauh berada di Negeri Sakura dan aku sangat merindukannya. Mungkin karena itu aku jadi tiba-tiba memimpikannya.
Teng tong...
Suara bel itu kembali terdengar, membuat aku tersadar dari pikiranku. Aku buru-buru bangkit kemudian berjalan menuju pintu utama. Saat aku membuka pintu, sinar matahari menghalangi penglihatanku. Samar-samar aku melihatnya. Mataku mengernyit perlahan. Ternyata itu Rey, sepupu Fabian.
“Oh, Rey. Masuklah, ” ucapku mempersilahkannya masuk ke dalam rumah.
Dia duduk di sofa dan hanya terdiam membuatku bingung. Aku bertanya pun, Rey tidak mengeluarkan sepatah kata. Dia hanya memberikanku sebuah surat.
“Bacalah,” pintanya.
Aku mengernyit. Sebenarnya aku ingin bertanya lebih lanjut tentang surat ini tapi aku yakin kalau Ray tidak akan menjawab pertanyaan apapun sekarang.
Aku membuka surat dan mendapati tulisan Fabian yang berada di sana. Tiba-tiba perasaanku menjadi tidak enak. Walaupun begitu, aku pada akhirnya tetap membaca surat itu.
Butuh waktu lama untuk mencerna setiap kata yang Fabian tulis. Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku baca. Rasanya tidak masuk akal.
“Maafkan aku, Yasmin.” suara Rey yang terdengar begitu lemah membuatku merasa semakin hancur. Aku tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun. Nafasku tercekat dan tiba-tiba saja kakiku menjadi lemas. Aku bahkan hampir jatuh kalau saja Ray tidak memegangku.
Setelah itu Rey membawaku ke Jepang untuk bertemu dengan Fabian. Rasanya sangat sesak mengingat apa yang telah terjadi. Bahkan sampai sekarang aku tidak percaya dengan apa yang telah aku alami dan berharap ini bagian dari mimpi buruk.
“Goodbye, sunshine. Take care of yourself…”
Aku memainkan lagu Goodbye. Sudah satu bulan kejadian itu berlalu dan setiap kali aku merindukan Fabian aku akan memainkan lagu ini.
“I have to go, I have to go, I have to go and-“
Aku tidak sanggup melanjutkan permainanku. Air mata jatuh membasahi pipiku untuk kesekian kalinya. Mengapa setiap melodi dan liriknya seakan menjadi tanda perpisahan antara aku dan Fabian?
“Apa yang harus aku lakukan sekarang, Fabian? Bahkan ketika aku memainkan piano ini, aku masih tetap merindukanmu.”
Aku menepuk-nepuk dada berharap meredahkan rasa sesak yang aku rasakan karena kehilangan. Tidak berhenti mempertanyakan alasan Tuhan mempertemukanku dengan Fabian seperti mimpi indah dan membuatnya pergi seperti mimpi buruk yang membawaku dalam kesedihan ini.
—
Halo Yasminku, bagaimana kabarmu? Sedikit canggung menulis surat ini untukmu. Yang pertama aku ingin mengatakan aku benar-benar mencitaimu. Haish… ini memalukan. Seperti yang kau tahu aku bukan orang yang puitis dan aku harap kamu paham seberapa besar cintaku ini. Di Jepang aku bertemu dengan banyak wanita cantik, tapi tidak ada yang memiliki hidung tomat yang lucu sepertimu. Apa kau merindukanku? Karena aku benar-benar merindukanmu.
Maaf aku jarang mengirim pesan untukmu bahkan meneleponku dan tiba-tiba aku muncul dengan surat ini. Aku ingin minta maaf karena tidak memberitahu alasanku pindah ke Jepang. Aku sakit keras dan aku pikir akan lebih mudah menyembuhkannya jika aku berada di Jepang. Di Jepang alatnya sangat canggih, aku melakukan pengobatan secara rutin. Kanker yang aku derita benar-benar membuat badanku sakit, aku membutuhkanmu tapi tak bisa aku sampaikan.
Aku semakin melemah setiap harinya dan aku memikirkanmu. Apa aku masih memiliki kesempatan untuk melihat wajahmu? Apa aku masih punya kesempatan untuk memencet hidung tomatmu itu? Saat aku merindukanmu, aku akan bermain piano. Apa kau masih sering berlatih? Aku harap iya.
Yasmin, jika surat ini telah kau baca itu tandanya aku telah tiada. Sangat berat untuk menulis surat seperti ini, apakah ini terlihat seperti surat wasiat? Harusnya aku memberimu harta bukan malah surat bodoh ini. Haha.
Gadis manisku, aku mungkin terlihat seperti pengecut untukmu. Aku tidak memberitahumu tentang penyakitku bukan karena kau tidak berhak untuk tahu tapi aku tidak ingin menjadi beban untukmu. Makanlah yang banyak, istirahat yang cukup, tolong jaga dirimu. Suatu saat nanti jika kau merindukanku, kau hanya perlu memainkan piano dan bernyanyi untukku.
Maafkan aku karena melakukan semua ini dan membuatmu sedih.
Aku sangat mencintaimu.
Koharu Fabian
Oleh: Putri Aliqa Umayyah Ilustrasi: Pinterest Di sebuah rumah yang sederhana, terdapat seorang wanita yang…
Oleh: Muh. Cahyo Dherian Ilustrasi: Widya Juniaty Dikeramaian yang memekakkan telinga, terdapat seorang anak yang…
Tulisan : Muhammad Alfaridzi Foto : Muhammad Alfaridzi Kegiatan Basic Public Relations (PR) Class yang digelar di…
Penulis: Jessy Marty R. Loardi Editor: Satriulandari Foto : KIFO KOSMIK Basic PR Class kembali diadakan…
Penulis: Kayla Aulia Djibran Editor: Satriulandari Foto : KIFO KOSMIK Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Kosmik) melalui…
Oleh: Radian Dwi Imam Ar'rafi Ilustrasi: Summer Bloom Manhua Sejak hari pertama kita bertemu, kamu…