Mengenang ‘Si Binatang Jalang’ pada Hari Puisi Nasional

0
532

Penulis : Zhafirah Amalia | Pembuat Ilustrasi : Comgastra

Chairil Anwar dikenal sebagai penyair Angkatan 45. Angkatan 45 pertama kali dikemukakan oleh Rosihan Anwar dalam Majalah Siasat, 9 Januari 1949. Istilah tersebut diberikan kepada para sastrawan kesusastraan modern Indonesia yang berkarya di sekitar zaman penjajahan Jepang, masa kemerdekaan dan beberapa tahun sesudahnya. Penyair Chairil Anwar dinobatkan sebagai pelopor Angkatan 45 oleh H.B. Jassin.

Chairil Anwar lahir di Medan, Sumatera Utara pada tanggal 22 Juni 1922 dan wafat di Jakarta pada tanggal 28 April 1949 yang kini diperingati sebagai Hari Puisi Nasional. Chairil Anwar mengenyam pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Medan yang merupakan sekolah dasar kaum pribumi pada masa penjajahan Belanda. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Medan namun hanya sampai kelas satu. Ia pindah ke Jakarta dan masuk kembali ke MULO di Jakarta meskipun hanya sampai kelas dua. Setelah ia memutuskan untuk belajar sendiri (autodidak), akhirnya ia bisa membaca dan mempelajari karya sastra dunia yang ditulis dalam bahasa asing. Ia sempat menjadi redaktur majalah Gema Suasana sebelum bekerja sebagai redaktur di majalah Siasat sebagai penanggung jawab rubrik kebudayaan “Gelanggang” bersama Ida Nasution, Asrul Sani, dan Rivai Apin. 

Penyair yang diberi julukan “Si Binatang Jalang” ini memulai pengalaman menulisnya pada tahun 1942 dengan sebuah sajak yang berjudul “Nisan”. Pada tahun 1949 (tahun wafatnya Chairil Anwar) ia menghasilkan tujuh buah sajak yakni “Mirat Muda”, “Chairil Muda”, “Buat Nyonya N”, “Aku Berkisar Antara Mereka”, “Yang Terhempas dan Yang Luput”, “Derai-Derai Cemara”, dan “Aku Berada Kembali”. Karya Chairil Anwar yang terkenal berjudul “Aku” membuatnya dijuluki “Si Binatang Jalang” di kalangan teman-temannya. Menurut Chairil Anwar, menulis sebuah sajak tidak dapat sekali jadi. Setiap kata yang ditulis harus digali dan dikorek dengan sedalam-dalamnya. Semua kata harus dipertimbangkan, dipilih, dihapus, dan kadang-kadang dibuang, yang kemudian dikumpulkan lagi dengan wajah baru.

Berikut sajak karya Chairil Anwar yang berjudul “Aku”

Aku

Kalau sampai waktuku

Ku mau tak seorang kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here