Teks oleh Jabal RH
Ilustrasi oleh Nurul Izzah
Lekat lekat petir menyahuti telingaku di malam gelap itu. Lutut dan segala persendianku ngilu kelu. Petir demi petir menyambari tubuhku satu persatu, inci demi inci, senti demi senti menjalari tiap nadiku. Dengan dentuman keras hantamannya, tanpa gosongkan tubuh ini. Seorang wanita tua berdiri menggenggam tongkat kuasanya. Merapal segala mantranya, lalu mendentumkan petir petirnya padaku. Apalah aku tak sanggup melawan, tak boleh maksudku. Kuhisap nafasku di ujung hidung. Kubetulkan dudukku di hadapannya. Mendengar kata per kata mantra yang keluar dari mulutnya dan mencabiki telingaku yang berdarah-darah. Tanpa lelah dibacanya mantra pengubah miliknya terhadapku. Sementara aku hanya mendengar rapalan mantra sembari menunduk memandang lantai.
Telinga kakakku berdarah pun malam itu, kakinya juga diikat dengan rantai, untung aku tidak. Usiaku belum jua menunjukkan kepala. Aku masih asyik menekuni tebu tebu yang menguning hingga tiba-tiba sekelebat petir menyambarku sekali lagi. Kali ini aku berlari bersembunyi di bawah ketiak lelaki. Lelaki yang mampu membuat si wanita petir tak berkata. Tetap saja kena mantra penunduk kepala oleh sang lelaki. Tapi tanpa petir petir. Hanya sekadar mantra kosong yang akupun tak mengerti maksudnya.
Aku kembali menuju bilik bilik berlubang menganga dengan kondisi telinga dan kepala penuh paku. Kututup lubang dengan sepotong kayu. Aku kembali menekuni pikiranku yang terlayang layang dalam bayangku. Saban hari kuungsikan diriku dari rongrongan petir wanita itu. Dari celah bilik kulihat kampungku membara merah. Sepotong nama tanpa lelah setia dikumandangkan. Beramai-ramai orang membongkar sudut sudut kegelapan. Nihil hasil. Kali ini terdengar suara guntur menggelegar menyusuri senti demi senti tanah. Lututku bergerak ditiup angin mendengar gelegar petir. Hujan datang membasahi tubuhku, aku gemetar. Guntur menemukan kilatnya.
Wanita tua itu tak membawa tongkat kuasanya, ia hanya membawa cahaya. Aku bingung bukan kepalang – dia yang selalu menyambarkan petir andalan dan rapalan mantranya yang begitu sangar menggigiti tubuh mungilku kini membawa cahaya. Aku dipeluk amat erat, sedangkan aku masih kaku dan kelu. Aku tak percaya paradoks nyata yang terjadi pada wanita tua itu. Aku diculik dari persembunyian amanku menuju penjara berdinding kayu kami. Aku dipeluk lagi setelah semua suara suara pencari kembali kepada sang pemilik suara.
Suatu waktu, petir itu kehilangan kilatnya. Petir itu tiba-tiba kehilangan gunturnya pula. Aku ikut meneteskan air mata tatkala hujan membantu tangisanku. Bukan hanya rumah kami yang tertetesi air hujan. Sebuah kabar dari koran membawa berita itu. Hampir satu kampung kami ditetesi air hujan, hujan lebat. Kulihat ia begitu menunduk hingga bungkuk. Aku kasihan pun padanya walau bercampur takut disambarinya lagi. Tapi kusingkirkan rasa takut, kurangkul petir, aku ikut memanggil hujan dari diriku.
Setelah berita tenggelamnya kabar pengangkut kilat kami, petirku makin jarang menggelegarkan mantranya. Dia sibuk menjadi tulang punggung, setelah sebelumnya menjadi tulang rusuk. Tak sanggup aku melihat susahnya, aku berniat berhenti duduk lama di bangunan tua. Mendengar niatanku, petir itu menggelegar lagi setelah sekian lama membisu. Aku disambarnya. Sedangkan kakakku sudah jauh ada disana sedang beradu dengan kertas dan tinta.
Kuurungkan niatanku, petir itu memancarkan hangatnya hujan lebat. Daging badanku kian membanyak. Kian membesar menyesaki kulitku. Aku hanya mampu menuruti daging-daging ini. Mungkin akhir- akhir ini aku terlalu sering makan angin, jadi badanku seperti ban angin, makin besar dan berisi, berisi angin. Kini, tak peduli seberapa sering petir itu menggelegariku, aku tetap menemaninya. Makin aku akan meninggalkan bangku seragam, makin aku paham arti gelegar gelegarnya tempo hari kala aku masih mengelap ingusku dengan jari.
Suatu ketika datang seorang laki pada petirku, membawa benda berkilau kuning. Aku tak mengerti, aku disuruh meninggalkan bangku seragam. Aku akan dipasangkan, begitu katanya. Hingga akhirnya di atas panggung berukuran lima kali tiga meter aku duduk dengan pantat yang hampir hampir saja kehilangan daging. Semuanya datang dengan rekahan senyum. Tidak denganku, aku merasa akan dekat dengan perpisahan. Perpisahan dengan petir hangat yang dahulu aku salah tafsirkan. Aku rindu kilatan petir itu. Aku rindu gelegar demi gelegar yang mendekap hatiku.
Aku berpisah langit dengan wanita pemegang petir itu. Tak ada lagi gelegar darinya yang akan kurindukan. Aku sibuk menekuni kain dan beras tiap hari. Aku punya kehangatan sekarang. Hingga kenyataan pahit mengundang kembali hadirnya petir dalam kehidupanku. Bukan petir dari wanita di kampung. Bukan. Kali ini lebih pedih dari petir yang dulu akrab dengan kulitku. Telingaku hampir saja memecahkan gendangnya seiring seringnya ia ditabuhi oleh gelegar yang membabi buta menyerang tubuh lemah ini. Aku rindu petir dari wanita itu. Petir yang kurasakan kini jauh lebih pedih dan jaur lebih menyiksa tusuk rusuk hatiku. Aku disayati. Aku dicincang habis hingga ke tulangku. Aku ingin didekap petir hangat itu lagi. Aku rindu.
Hingga suatu waktu, aku menemui Tuhan dalam tidurku. Tidur yang sangat nyenyak hingga membuatku tak ingin bangun. Dalam mimpiku, kulihat wanita petir itu kembali mengiringi hujan lebat yang sangat deras menutupi rumah keluarga kami. Kulihat kakakku hanya bisa memegang bunga-bunga yang dahulu sering dipetiknya untukku. Sejujurnya aku tak mengerti situasi seperti apa yang sebenarnya sedang terjadi di rumah kecil kami. Hingga tiba pada meja-meja berpalu dengan orang-orang berjubah merah hitam sedang duduk menghadapi orang-orang yang terkantuk-kantuk dari balik meja.
Wanita petir itu mengeluarkan rapalan mantranya. Bukan hanya mantra saja, tapi juga kutukan-kutukan dan sumpah serapah pada lelaki yang saban hari membawa benda berkilau kuning ke rumah kami. Wanita petir itu selalu hadir. Di tiap hadirnya ia membawa selembar kertas dengan seorang gadis di dalamnya. Ia mirip denganku, sangat mirip.
Seketika saat palu itu dipukulkan lelaki berjubah merah hitam, wanita petir itu tersungkur kalah. Tak kuasa ia melawan lagi kini, walau tiada ia terlelap selama hamper seminggu karena mata yang sembab dirasuki tetes demi tetes air. Ia masih memandang lantai saat lelaki pemenang itu berdiri menertawainya. Seketika wanita tua itu berdiri melonjak menggenggam kerah si lelaki sembari merapalkan mantra andalannya.
Ia kalap dan tak sadar memuntahkan hujat, tak terima pada keadilan yang dirasa tak sepatutnya, entah kenapa aku juga ikut merasakannya. Kembali hujan deras turun di wajah wanita petir yang konon memperjuangkan apa yang sesungguhnya benar. Tapi siapa peduli padamu kini wahai orang yang termakan usia, ketika tak punya, maka keadilan bukan milikmu jua.
Tanpa peduli seberapa bencinya aku padanya dulu, ia akan selalu mengirimkan sepaket baris baris penyejuk hati padaku. Ia damaikan hatiku disini, dalam tidur lelapku. Hingga akhirnya aku bangun dari lelapku, wanita petir itu yang membangunkanku. Ia berlari masuk dalam sebuah taman hijau yang tak bisa kugambarkan indahnya, aku hanya ikut saja. Hingga tiba pada sebuah gerbang aku terbentur keras, aku gagal masuk. Aku belum menyerah, namun aku terbentur keras lagi. Aku masih keras kepala, tapi kali ini aku terpental lagi. Kini wanita petir itu membaca rapalan mantra klasiknya, hingga akhirnya aku bisa menyertainya di dalam taman.
Oleh: Putri Aliqa Umayyah Ilustrasi: Pinterest Di sebuah rumah yang sederhana, terdapat seorang wanita yang…
Oleh: Muh. Cahyo Dherian Ilustrasi: Widya Juniaty Dikeramaian yang memekakkan telinga, terdapat seorang anak yang…
Tulisan : Muhammad Alfaridzi Foto : Muhammad Alfaridzi Kegiatan Basic Public Relations (PR) Class yang digelar di…
Penulis: Jessy Marty R. Loardi Editor: Satriulandari Foto : KIFO KOSMIK Basic PR Class kembali diadakan…
Penulis: Kayla Aulia Djibran Editor: Satriulandari Foto : KIFO KOSMIK Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Kosmik) melalui…
Oleh: Radian Dwi Imam Ar'rafi Ilustrasi: Summer Bloom Manhua Sejak hari pertama kita bertemu, kamu…